Reina, seorang siswi yang meninggal karena menjadi korban buly dari teman temannya.
Di ujung nafasnya dia berdoa, memohon kepada Tuhan untuk memberikan dia kesempatan kedua, agar dia bisa membalas dendam pada orang orang yang telah berbuat jahat padanya.
Siapa sangka ternyata keinginan itu terkabul,
dan pembalasan pun di mulai.
Tetapi ternyata, membalas dendam tidak membuatnya merasa puas.
Tidak membuat hatinya merasa damai.
Lalu apa yang sebenarnya diinginkan oleh hatinya?
Ikuti kisahnya dalam
PEMBALASAN DI KEHIDUPAN KEDUA
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
07
Reina ragu untuk meneruskan ucapannya.
“Berapa…?!” Sena tidak sabar.
“Semua hutang ibu ada… 50 juta!” Reina menunduk malu.
“What…?! Sebanyak itu?! Untuk apa mencari pinjaman sebanyak itu?!” Sena sungguh tak percaya. Kehidupan Reina sangat sederhana, mana mungkin mengeluarkan biaya sebanyak itu.
“Itulah, Kak…!” Reina menghela napas kasar, sengaja tidak menghapus air matanya biar terlihat lebih dramatis.
“Menurut Ibu, dulu hutangnya tidak sebanyak itu. Tetapi karena tidak pernah bisa membayar, maka hutang itu semakin berbunga tiap bulan, apalagi Ibu mengambil pinjaman dari rentenir.”
Reina menjelaskan sesuatu yang sebenarnya adalah palsu. Karena walaupun miskin, ibunya tak pernah terlibat hutang. Kalau pun pernah menunggak membayar sewa kontrakan, itu pun juga tak sampai lebih dari satu bulan.
Sena mendesah kasar. Apa iya dia harus mengeluarkan uang sebanyak itu untuk Reina. Tapi kalau tidak,,,,
Kring… Suara bel berbunyi, memaksa mereka mengakhiri percakapan.
“Pergilah ke kelas, Kak. Reina akan pulang untuk mulai bekerja!” ucap Reina sambil menyambar tas sekolahnya yang tergeletak di bangku. Berdiri dan bersiap untyk pulang.
“Tunggu, jangan pulang! Tetaplah di sekolah. Kita akan bicara nanti di jam pulang, oke!” ucap Sena sambil memegang dua pundak Reina. Ada yang berdesir di dadanya kala memandang wajah Reina. Wajah itu sungguh, dari hari ke hari makin bertambah cantik menurutnya.
“Bicara apalagi, Kak? Hanya itu jalan satu-satunya bagi Reina!” Reina menatap Sena.
“Pokoknya jangan pulang dulu, oke!” Sena menekan tubuh Reina agar duduk di bangkunya. “Sekolah! Jangan pulang. Kita bicara nanti pas jam pulang, oke. Aku pergi ke kelasku!” ucap Sena, kemudian bergegas pergi. Dia tak ingin dihukum dengan berdiri di depan kelas lagi seperti kemarin, bisa jatuh reputasinya.
Reina memandangi kepergian Sena dengan tatapan datar, tak ada ekspresi sama sekali di sana.
Sudah lebih dari seperempat jam, guru mapel belum juga datang. Reina mengambil sebungkus roti isi dari dalam tasnya, bekal yang dibawakan oleh Ibunya tadi. Rupanya, bersandiwara juga bisa menghabiskan tenaga.
“Maaf sudah menggunakan namamu, Ibu. Tapi bajingan itu memang harus bertanggung jawab, dia harus membayar dengan setimpal atas apa yang telah kulalui!” gumam Reina dalam hati.
Sementara itu, di dalam kelas Sena…
Sena sama sekali tidak bisa fokus pada apa yang diterangkan oleh guru. Bayangan ketika dia beradu tatap dengan Reina terus saja berseliweran di otaknya.
“Sejak kapan dia berwajah cantik seperti itu? Kenapa aku baru menyadarinya?” gumam Sena, yang selama ini tampak dalam penglihatannya adalah wajah buruk dengan bau tak sedap, rambut dikepang dua, kotor, lepek, dekil, dan entah sebutan apalagi. Tanpa dia tahu itu semua adalah ulah Starla.
“Aku harus membayar lunas hutang ibunya, kalau tidak dia akan bekerja lalu berhenti sekolah. Dan itu artinya tak akan ada yang mengerjakan tugasku!” gumam Sena lagi.
Sungguh tak masuk akal. Bukannya mencari cara agar otaknya cerdas, dengan ikut bimbel misalnya, malah memilih mengeluarkan banyak uang. Tapi mungkin juga itu karena pengaruh perubahan pada diri Reina, yang perlahan membuatnya terpesona.
Sena adalah anak orang kaya raya. Uang jajannya seminggu saja bisa untuk beli sepeda motor. Tapi entah kenapa dia dulu begitu pelit pada Reina, membelikan makanan pun yang sudah tak layak.
Tapi sungguh, bukan hanya itu saja yang membuat Reina dendam. Tapi lebih pada penghinaan yang pernah Sena lakukan, dan berujung dia mendapatkan perundungan.
***
“Apa ini, Kak…?” tanya Reina bingung, saat tiba-tiba saja Sena sudah berada di hadapannya, dengan mengulurkan sebuah amplop yang terlihat tebal.
“Gunakan itu untuk melunasi hutang-hutang ibumu!” jawab Sena.
“Tapi, Kak… aku tidak mau, aku tak bisa menerima ini. Aku tidak mau memanfaatkan Kakak. Lagi pula, apa kata mereka nanti, jika mereka tahu? Mereka pasti berpikiran aku adalah cewek matre, yang ingin memoroti harta Kakak!” ucap Reina sambil menundukkan wajahnya sendu.
“Tidak akan ada dari mereka yang tahu, jika kamu tidak bicara. Karena aku pun hanya akan diam dan tak akan mengatakan ini pada siapa pun!” balas Sena.
“Benarkah, Kak?" tanya Reina.
“Tentu saja!” jawab Sena.
"Tapi aku benar-benar merasa tak enak pada Kakak!”
"Sudah ambil saja. Jangan berpikir apapun!"
“Terima kasih, Kak…” Reina memeluk Sena secara spontan.
Deg…
Sena merasakan dadanya tiba-tiba berdegup kencang.
Di belakang punggung Sena, Reina menyeringai. Senyum penuh binar bahagia yang baru saja terlihat di mata Sena menghilang, berganti menjadi raut datar tanpa ekspresi, dengan mata berkilat merah.
“Apa kau pikir ini cukup untuk membeli kehidupanku yang dulu, Sena? Sama sekali tidak! Aku akan membuatmu membayar lebih mahal lagi. Saat inilah kesialanmu dimulai. Ayo kita bermain, Sena…”
“Terima kasih sekali lagi, Kak. Jika tanpa Kakak, mungkin aku tak tahu harus bagaimana?!” Reina berucap sendu.
“Tidak masalah, ini adalah hal kecil bagiku. Kau bisa mengatakan apa pun yang kau butuhkan padaku, dan aku pasti bisa mengatasinya!” ucap Sena dengan jumawa. Entah kenapa tiba-tiba dia merasa senang Reina mengandalkan dirinya.
“Benarkah itu, Kak…?” tanya Reina antusias, seolah dia begitu bahagia mendengar janji manis Sena.
“Tentu saja! Kau bisa mengandalkan aku!” jawab Sena.
“Baiklah, kalau begitu aku tak akan sungkan lagi!” sahut Reina. “Tak akan sungkan untuk menghancurkanmu, sehancur-hancurnya!” tambah Reina, yang hanya dia ucap dalam hati.
“Kalau begitu aku kembali ke kelasku, ya!” pamit Sena, karena memang jam pelajaran berikutnya akan segera dimulai.
“Baik, Kak. Terima kasih sekali lagi, aku tak akan melupakan kebaikan Kakak ini!" ucap Reina.
"Dan juga tak akan melupakan semua yang telah kau lakukan padaku di masa lalu!”
***
“Rei… ayo kita pulang!” seru Baim, karena Reina yang masih duduk diam di bangkunya, sedangkan kelas sudah sepi.
“Im, apa untuk membayar seorang ahli IT membutuhkan biaya yang mahal?” tanya Reina sambil menatap Baim yang berdiri menunggunya.
Baim terdiam mendengar pertanyaan Reina. Tapi kemudian dia balik menatap Reina, lalu kembali duduk di kursi yang ada di depan bangku Reina, dengan posisi mengangkangi kursi, kedua tangannya diletakkan di sandaran kursi.
“Apa kau butuh bantuan seorang ahli IT?” Baim bertanya. Di balik kacamata tebalnya, mata itu menyorot tajam, dingin.
“Apa bisa pembicaraan kita ini jadi rahasia kita berdua saja…?” Reina balik bertanya dengan pandangan yang menyorot tajam ke arah Baim, tanpa menjawab pertanyaan Baim sebelumnya. Dan Baim hanya menjawabnya dengan anggukan kepala, sebagai isyarat bahwa Reina bisa mempercayainya.
“Ayo keluar, jangan bicara di sini!” Baim berdiri lebih dahulu, lalu mengulurkan tangannya pada Reina. Dan entah apa yang dirasakan Reina, tapi dia menerima begitu saja uluran tangan itu, hingga kemudian tangan mereka berdua saling bertaut.
Hingga keduanya keluar dari kelas, mata Reina masih tak terlepas dari tangannya yang digenggam oleh Baim. Ada rasa yang tak biasa. Tiba-tiba saja Reina merasa dadanya berdebar dengan kencang
baru komen setelah di bab ini✌️✌️. maaf ya kak Author
ini setting murid SMA kan? kalau di sebelah kuliah, apakah kaka author berkolaborasi dalam membuat cerita?
bagaimana ya kira² klo tahu reina ternyata justru anak kandungnya 🤔🫣