Nesya, seorang gadis sederhana, bekerja paruh waktu di sebuah restoran mewah, untuk memenuhi kebutuhannya sebagai mahasiswa di Korea.
Hari itu, suasana restoran terasa lebih sibuk dari biasanya. Sebuah reservasi khusus telah dipesan oleh Jae Hyun, seorang pengusaha muda terkenal yang rencananya akan melamar kekasihnya, Hye Jin, dengan cara yang romantis. Ia memesan cake istimewa di mana sebuah cincin berlian akan diselipkan di dalamnya. Saat Nesya membantu chef mempersiapkan cake tersebut, rasa penasaran menyelimutinya. Cincin berlian yang indah diletakkan di atas meja sebelum dimasukkan ke dalam cake. “Indah sekali,” gumamnya. Tanpa berpikir panjang, ia mencoba cincin itu di jarinya, hanya untuk melihat bagaimana rasanya memakai perhiasan mewah seperti itu. Namun, malapetaka terjadi. Cincin itu ternyata terlalu pas dan tak bisa dilepas dari jarinya. Nesya panik. Ia mencoba berbagai cara namun.tidak juga lepas.
Hingga akhirnya Nesya harus mengganti rugi cincin berlian tersebut
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia's Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keputusan Terbaik
Nesya duduk di ruang tunggu bandara dengan tatapan kosong mengarah ke landasan. Di tangannya, terdapat boarding pass menuju Jakarta—tiket yang akan membawanya kembali ke rumah dan meninggalkan segala sesuatu di Korea, termasuk semua kenangan pahit dan manis yang ia alami di negeri ginseng tersebut.
Udara di ruang tunggu terasa dingin, namun hatinya jauh lebih dingin. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan perasaannya yang campur aduk. Rasanya baru kemarin ia tiba di Korea dengan penuh semangat untuk menyelesaikan program magang dan menuntaskan pendidikannya. Namun, dalam hitungan bulan, hidupnya berubah drastis—terjebak dalam pernikahan kontrak dengan pria arogan bernama Jae Hyun.
Pikirannya melayang ke semua kejadian yang begitu cepat dan tak terduga. Awal mula pertemuan mereka, ketika ia secara tak sengaja terlibat dalam kekacauan karena cincin tunangan itu. Betapa ia merasa bersalah, lalu dipaksa menjadi asisten rumah tangga di penthouse mewah milik Jae Hyun sebagai hukuman.
Dia tersenyum pahit, mengingat bagaimana Jae Hyun memperlakukannya seperti beban—selalu bersikap dingin, sarkastik, bahkan tak segan membawa Hye Jin ke penthouse mereka di hadapannya. Meskipun mereka menikah secara kontrak, hati kecil Nesya terkadang berharap Jae Hyun bisa melihatnya bukan hanya sebagai penyebab kekacauan hidupnya.
Namun, kenyataannya berbeda. Jae Hyun bahkan tak pernah mengakui dirinya sebagai istri di depan orang lain. Apakah dirinya begitu tidak berarti di mata pria itu?
Nesya menggelengkan kepalanya, mencoba membuang jauh semua perasaan yang mengganggunya. “Aku hanya ilusi di hidupnya,” bisiknya pada dirinya sendiri.
Suara pengumuman penerbangan membuyarkan lamunannya. Mitha dan Dirga, yang duduk di sampingnya, memandangnya dengan khawatir.
“Kau yakin ingin pulang secepat ini, Nes?” tanya Mitha pelan, suaranya penuh perhatian.
Nesya mengangguk tanpa ragu. “Aku sudah tak punya alasan untuk tetap di sini.”
Dirga, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. “Jika kau butuh bantuan apa pun di Indonesia, kau bisa menghubungiku. Aku tahu ini sulit bagimu.”
“Terima kasih,” jawab Nesya tulus, meski hatinya terasa berat.
Ia menatap layar ponselnya, berharap ada pesan dari Jae Hyun—setidaknya ucapan perpisahan atau permintaan maaf. Namun, layar tetap kosong. Pria itu jelas tidak peduli. Mungkin, bagi Jae Hyun, kepergiannya hanyalah akhir dari sebuah kesalahan.
Namun, di lubuk hatinya, Nesya menyimpan pertanyaan yang tak pernah berani ia ucapkan—“Apakah aku pernah berarti baginya, meski hanya sedikit?”
Saat pengumuman boarding terdengar, Nesya berdiri dengan langkah mantap. Ia menoleh sekali lagi ke arah pintu masuk bandara, berharap ada sosok yang mengejarnya. Tetapi, tak ada siapa pun.
Dengan hati yang berat, Nesya melangkah menuju gerbang keberangkatan, membawa serta kenangan yang ingin ia lupakan, tetapi entah mengapa sulit dilepaskan.
Di tempat lain, di balik kemewahan kantornya, Jae Hyun duduk di kursinya dengan pikiran yang tak tenang. Di tangannya, ada buket bunga yang seharusnya ia berikan kepada Nesya—tetapi sekarang, mungkin semuanya sudah terlambat.
Jae Hyun berdiri di ambang pintu kamar Nesya, pandangannya menyapu ruangan yang kini terasa sunyi dan hampa. Udara di dalam kamar masih menyisakan aroma lembut parfum Nesya—aroma yang tanpa ia sadari, sudah menjadi bagian dari kesehariannya. Namun kini, ruangan itu terasa kosong. Tak ada lagi suara langkah ringan gadis itu atau gumaman pelannya saat sibuk membereskan sesuatu.
Perlahan, ia melangkah masuk, menelusuri setiap sudut kamar yang kini terasa begitu asing. Pandangannya terhenti pada cincin berlian yang tergeletak di atas meja rias. Cincin yang menjadi awal dari semua kekacauan ini—cincin yang selama ini tersemat di jari manis Nesya.
Jae Hyun memungut cincin itu, membiarkannya berputar di antara jari-jarinya. Ada perasaan aneh yang menghantam dadanya. Kenapa rasanya sesak? Bukankah ini yang ia inginkan? Bukankah sejak awal ia berharap Nesya pergi agar hidupnya kembali tenang dan Hye Jin bisa kembali ke sisinya?
Namun, kenapa justru terasa sepi dan menyakitkan?
Ia menghela napas panjang, mengingat semua momen yang ia anggap remeh. Cara Nesya mengurus penthouse tanpa mengeluh, senyum kecil yang tersungging di wajahnya setiap kali ia menyelesaikan masakan untuknya, dan bahkan tatapan acuhnya saat ia membawa Hye Jin pulang. Gadis itu selalu terlihat kuat—atau setidaknya, ia berpura-pura kuat.
Kini, gadis itu pergi tanpa menoleh ke belakang.
"Apa aku terlalu berlebihan padanya?" gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. Ia mengepalkan cincin itu di tangannya, merasakan dinginnya logam menusuk telapak tangannya—mengingatkannya bahwa Nesya benar-benar telah melepaskan semua keterikatan di antara mereka.
Tiba-tiba, pikirannya melayang ke hari di rumah sakit, ketika ia menemukan buket mawar merah dari Dirga—laki-laki yang tampaknya selalu ada di sisi Nesya. Apakah Nesya memilih pergi karena laki-laki itu? Apakah ia selama ini mengabaikan perasaan yang seharusnya ia sadari lebih awal?
Dada Jae Hyun terasa semakin sesak. Ada dorongan di hatinya untuk menghentikan Nesya, untuk memanggilnya kembali. Namun, apakah masih ada kesempatan?
Dengan langkah cepat, ia keluar dari kamar, menuju ponselnya di ruang tamu. Tangannya gemetar saat mencari nomor Nesya. Ia menatap layar ponselnya, ragu sejenak, sebelum akhirnya menekan tombol panggil.
Nada sambung terdengar, berdering beberapa kali. Namun, tidak ada jawaban.
"Angkat, Nesya... tolong angkat," gumamnya lirih, perasaan panik mulai merayapi pikirannya.
Ia mencoba lagi. Dan lagi. Tetapi hasilnya sama—tidak ada jawaban.
Tanpa berpikir panjang, Jae Hyun meraih kunci mobilnya dan bergegas keluar dari penthouse. Ia tidak peduli dengan pekerjaan yang menumpuk atau janji temu dengan Hye Jin. Ada sesuatu yang jauh lebih penting sekarang.
Dan sesuatu itu adalah Nesya.
Dalam perjalanan menuju bandara, pikirannya berkecamuk. Jika ia terlambat, mungkin ia takkan pernah melihat gadis itu lagi. Mungkin, Nesya akan benar-benar menghilang dari hidupnya—dan ia tidak bisa membayangkan hidup tanpa kehadiran gadis itu di sisinya.
"Kumohon, jangan pergi, Nesya..." bisiknya, sementara mobilnya melaju menerobos keramaian jalanan kota Seoul yang dingin dan menyilaukan.
Jae Hyun melangkah cepat menuju area keberangkatan di bandara. Napasnya memburu, dada terasa sesak seiring dengan langkah-langkah panjangnya. Matanya menyapu setiap sudut, mencari sosok yang ia kenal—Nesya. Hatinya berdebar kencang, seakan waktu berlomba dengannya.
Namun, sesampainya di area tunggu, hanya Mitha yang terlihat berdiri di dekat kafe.
"Di mana Nesya?" suara Jae Hyun terdengar tajam, lebih kepada kekhawatiran yang berusaha ia sembunyikan.
Mitha menoleh, jelas terkejut melihat kehadiran Jae Hyun yang tampak terburu-buru dan sedikit berantakan. Ia menghela napas pelan sebelum menjawab, "Kau terlambat, Jae Hyun. Nesya sudah pergi."
Kata-kata itu seperti pukulan telak di dada Jae Hyun. Ia mengepalkan tangannya di sisi tubuh, mencoba menahan perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya.
"Ke mana dia pergi? Kapan penerbangannya?" desaknya, meski dalam hati ia sudah tahu jawabannya.
Bersambung...
ceritanya bikin deg-degan
semagat terus yaa kak