dengan gemetar... Alya berucap, "apakah kamu mau menjadi imam ku?? " akhirnya kata kata itu pun keluar dari lisan Alya yg sejak tadi hanya berdiam membisu.
"hahhh!!! apa!!... kamu ngelamar saya? "ucap afnan kaget
sambil menunjuk jari telunjuknya ke mukanya sendiri.
dengan bibir yg ber gemetar, Alya menjawab" i ii-iya, saya ngelamar kamu, tapi terserah padamu, mau atau tidaknya dgn aku... aku melakukan ini juga terpaksa, nggak ada pilihan.... maaf kalo membuat mu sedikit syokk dgn hal ini"ucap Alya yg akhirnya tidak rerbata bata lagi.
dgn memberanikan diri, afnan menatap mata indah milik Alya, lalu menunduk kembali... karna ketidak kuasa annya memandang mata indah itu...
afnan terdiam sejenak, lalu berkata "tolong lepaskan masker mu, aku mau memandang wajahmu sekali saja"
apakah Alya akan melepaskan masker nya? apakah afnan akan menerima lamaran Alya? tanpa berlama-lama... langsung baca aja kelanjutan cerita nya🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
mendekati tanpa mengusik
“Assalamu’alaikum… hai, brothers!” sapa Ziyan dengan santai saat menghampiri teman-temannya, termasuk Gus Afnan, yang sudah lebih dulu duduk di tempat mereka biasa nongkrong.
“Wa’alaikumsalam. Tumben banget, Yan, datangnya telat? Ada angin apa nih?” goda Afnan sambil menyeruput kopi panasnya.
Ziyan menghempaskan tubuhnya ke kursi dan tersenyum lebar. “Gini lho, tadi ada insiden kecil di restoran. Ada cewek nggak sengaja numpahin jus ke baju gue. Tapi sumpah, cakep banget ceweknya, bro!”
“Dasar, buaya! Untung aja ceweknya nggak kenapa-kenapa,” cibir Reza sambil terkekeh.
“Lu pikir gue apa, Bambang?!” Ziyan membalas dengan setengah bercanda, membuat yang lain tertawa.
Afnan ikut menyahut. “Salting nggak tuh ceweknya? Biasanya kan cewek-cewek kalau ketemu lu langsung salah tingkah.”
Ziyan menghela napas dan menjawab dengan ekspresi datar, sedikit kecewa. “Nggak, bro. Biasa aja. Dia malah sibuk minta maaf tanpa ada baper sedikit pun.”
“Aneh. Biasanya kan cewek-cewek lebay kalau lihat seleb kayak lu,” kata Reza, mengangkat alis.
Ziyan mengangguk. “Iya, makanya gue heran. Kalau temennya sih kenal sama gue, satu kampus soalnya. Tapi dia? Kayak nggak peduli aja. Padahal... kok gue malah kepincut ya sama dia?”
Reza menepuk bahu Ziyan, terkekeh. “Bagus dong. Berkurang tuh cewek-cewek lebay yang numpang eksis di hidup lu.”
“Bener tuh,” timpal Agam. “Tapi serius, Yan. Jangan sampai cuma iseng. Kasian ceweknya nanti.”
Gus Imron, sepupu Ziyan, ikut mengingatkan. “Kalau ujung-ujungnya cuma ghosting, siap-siap dosa, Yan.”
“Kali ini beda, Kak. Serius deh!” Ziyan mengangkat dua jarinya. Matanya berbinar seolah benar-benar yakin.
Reza mengangkat alis. “Penasaran gue. Ada fotonya nggak, Yan?”
Ziyan membuka Instagram di ponselnya, mencari unggahan temannya. “Tunggu, gue cari di statusnya Wilona, temen satu kampus gue.”
Beberapa detik kemudian, dia mendengus. “Ada fotonya sih, tapi mukanya ditutup pakai coretan. Ih, ganggu banget!”
Afnan yang duduk di sebelahnya melirik layar ponsel Ziyan. Matanya sempat terpaku, lalu ia bergumam pelan. “Kayaknya gue kenal…”
“Siapa, Nan? Lu kenal dia?” tanya Ziyan penasaran.
Afnan buru-buru menggeleng. “Eh, nggak. Salah lihat kayaknya.”
Ziyan menyipitkan mata, tidak yakin dengan jawaban Afnan. “Hmmm… Jangan-jangan lu lagi deket sama cewek juga, ya, Nan?” goda Ziyan sambil menyenggol bahunya.
Reza tertawa keras. “Kalau Afnan sampai deket sama cewek, langsung gas aja, Nan!”
“Bener tuh, apa kata Reza,” tambah Agam berpura-pura tidak tahu dgn status nikah siri nya afnan.
Afnan hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis, enggan membahas lebih jauh. Malam itu, mereka terus bercanda dan berbagi cerita hingga larut malam, sementara di benak Ziyan, wajah gadis di restoran itu terus terbayang-bayang.
# # #
Alya dan Pertemuan Tak Terduga di Supermarket
Alya baru saja selesai membersihkan diri setelah menyadari dirinya sedang menstruasi. Dengan hati yang sedikit risau, ia membersihkan semua bekasnya dan memutuskan untuk pergi membeli pembalut di supermarket terdekat.
"Duh, gimana ini... Mana Kak Wilona sudah tidur lagi. Ya Allah, tolong beri keberanian untukku," gumam Alya sambil mengenakan jubah hitam panjangnya.
Ia turun melalui lift dengan langkah cepat. Hati kecilnya merasa malu karena harus pergi sendirian di tengah malam, terlebih untuk membeli sesuatu yang baginya cukup sensitif.
Tiba di minimarket, Alya langsung menuju rak tempat berbagai jenis pembalut disusun rapi. Ia mencoba memilih dengan cepat sambil terus menoleh ke kanan dan kiri, merasa waspada.
Di sisi lain supermarket, Gus Afnan dan Gus Ziyan sedang memilih camilan dan minuman.
"Wih, lihat itu. Kalau sudah jodoh, nggak bakal ke mana, kan, Nan?" goda Ziyan sambil menyenggol Afnan.
Afnan menoleh ke arah yang ditunjukkan Ziyan dan hatinya bergetar. Ia mengenali sosok itu, meskipun dari belakang. “Ya Allah, apakah itu benar Alya?” bisik hatinya, mencoba menenangkan diri.
Namun, Afnan tidak ingin menimbulkan kehebohan. Dengan nada santai, ia berkata kepada Ziyan, "Hadeuh, kamu ini memang ya, mata jelalatan terus. Ayo, kita cari camilan di sisi lain saja. Kasihan kalau dia merasa terganggu."
Ziyan terkekeh. "Baiklah, tapi nanti kalau ketemu lagi, berarti benar jodoh, kan?" ucapnya, tetap saja menggoda.
Saat mereka menuju kasir, Afnan teringat sesuatu. "Eh, ada yang ketinggalan. Kamu ke kasir dulu saja, Ziyan," ujarnya sambil bergegas kembali ke rak camilan, kali ini lebih dekat dengan tempat Alya berdiri.
Alya yang sedang sibuk memilih pembalut kemudian bergeser ke rak minuman pun tidak menyadari kedatangan Afnan hingga suara familiar terdengar di dekatnya.
"Hmm... Minuman yang mana ya?" suara Afnan terdengar jelas, seolah sengaja dibuat keras agar menarik perhatian Alya.
Alya terkejut dan menoleh. "Gus Afnan? Ngapain Gus di sini?" tanyanya refleks, wajahnya memerah karena tidak menyangka bertemu seseorang yang dikenalnya, apalagi dalam situasi seperti ini.
Alya berusaha mundur untuk menjaga jarak, namun tanpa sengaja mereka bertabrakan saat keduanya mencoba mengambil minuman di rak yang sama.
"Ups, maaf," ucap Alya panik sambil mundur sedikit.
Afnan tersenyum tipis, menahan diri agar tidak terlalu canggung. "Kebetulan sekali, Alya. Saya sedang mencari minuman, tidak menyangka bertemu kamu di sini."
Alya hanya tersenyum kaku sambil berusaha mengalihkan perhatian kembali ke barang belanjaannya. Situasi menjadi sunyi sesaat, namun Afnan tetap menjaga sikapnya agar Alya tidak merasa tidak nyaman.
Alya berusaha menyembunyikan pembalut di tangannya, membuat dirinya tampak kikuk. Namun, Afnan, yang berdiri di dekatnya, mencoba mencairkan suasana.
"Oh, jadi kamu suka kopi torabika white cafe juga ternyata," ucap Afnan dengan nada ringan.
Alya, yang masih fokus pada rak di depannya, spontan menjawab dengan semangat, "Hehe... Iya, Gus. Enak banget, seger! Apalagi kalau diminum sambil nonton film, duh, tambah asyik kalau ditemani cemilan Qtella."
Tanpa sadar, Alya berbicara terlalu heboh, membuat dirinya tersadar sejenak. "Ups, maaf... kebablasan ngomongnya... dikit," ucapnya sambil tersenyum canggung.
Afnan tertawa kecil. "Hahaha, nggak apa-apa, Alya. Kamu ini lucu kalau ngomong, ekspresif banget."
Alya ikut tertawa pelan, mencoba menutupi rasa malunya. "Hehehe."
Melihat Alya mulai tenang, Afnan melemparkan candaan. "Eh, kok kamu ada di Surabaya? Mau ngelamar lagi, ya?" godanya.
Alya langsung mendelik sambil menahan senyum.
"Yaelah, nggak lah, Gus. Hidup Alya sudah tenang sekarang. Makasih banget, ya, atas bantuannya kemarin. Meskipun Alya nggak tahu apa yang Gus Afnan jamin ke orang tua Alya, yang penting Alya sekarang bisa berpikir lebih plong. Jadi, Alya rencananya mau jalan-jalan nih besok."
Setelah mengatakan itu, Alya tersadar bahwa dia sudah berbicara terlalu banyak lagi, dan wajahnya berubah sedikit malu.
Afnan hanya tersenyum tipis sambil berkata dengan nada jahil, "Hehe, santai aja, Alya. Soal itu... rahasia."
Alya memutar matanya kecil-kecil, merasa Afnan semakin sulit ditebak. Namun, di balik sikap santai itu, Afnan menikmati momen singkat mereka, yang terasa seperti obrolan akrab antara dua teman lama yang saling menghormati.
......................
Afnan berjalan menuju kasir, sementara Alya berdiri tepat di depannya. Sesampainya di antrian, Afnan memperhatikan sekeliling dan menyadari bahwa Gus Ziyan sudah lebih dulu kembali ke apartemen mereka di seberang jalan.
"Silakan duluan," ucap Afnan dengan ramah, mempersilakan Alya untuk membayar lebih dulu.
Namun, sambil menunggu, Afnan berbisik jahil di belakang Alya. "Kok kamu sendirian ke minimarket, Al? Udah malam, lho... Banyak hantu berkeliaran di jalan."
Alya spontan menoleh ke belakang, menatap Afnan yang langsung berdiri tegap seolah tak terjadi apa-apa.
"Kak Wilona udah tidur. Alya nggak mau ngerepotin dia, lagipula ini sudah darurat banget. Makanya, Alya berani-berani aja keluar sendiri," jawab Alya sambil menatap ke depan, menunggu antrian bergerak.
Afnan menahan senyum, lalu melanjutkan candaannya. "Hmm, hati-hati ya... ada hantu."
Alya mendengus kecil, lalu spontan menghentakkan tangannya ke samping. Namun, tanpa sengaja, tangannya mengenai perut Afnan yang keras berotot.
"Aduh!" keluh Afnan sambil memegang perutnya dengan gaya dramatis.
Alya terkejut dan buru-buru meminta maaf. "Astagfirullah, maaf Gus... Nggak sengaja, refleks."
Tapi bukannya berhenti, Afnan malah menambah dramanya, memegang dada sambil berkata, "Sakit... langsung kena jantung nih."
Alya mendengus kesal, mencoba menutupi rasa malunya. Ia langsung mengangkat minuman yang dipegangnya dan berkata dengan nada tajam. "Sakit ya? Nih, rasain tuh sakit! Mau dipukul pakai ini, heh?"
Afnan tertawa kecil melihat ekspresi Alya yang menggemaskan saat kesal, meskipun sebagian wajahnya tertutup masker.
"Silakan maju, Mbak," ucap kasir, memecah suasana.
"Oh, iya. Maaf, Kak," Alya buru-buru maju ke meja kasir untuk menyelesaikan pembayarannya.
Namun, sebelum meninggalkan kasir, Alya melirik Afnan dengan tatapan tajam, seolah ingin memperingatkan agar tidak menggodanya lagi.
Afnan hanya tersenyum tipis. Tapi ia menyadari sesuatu. Sebagai seorang selebgram dan pendakwah, ia tahu ada kemungkinan orang di sekitar mereka memperhatikan. Ia pun segera menundukkan kepala, menghindari perhatian lebih lanjut.
Sementara itu, Alya menyelesaikan pembayarannya dan pergi tanpa menoleh lagi ke Afnan, merasa sedikit malu tetapi juga lega karena situasi ini segera berlalu.
Namun di balik semuanya, Afnan menyimpan senyum kecil. Baginya, momen ini adalah pengalaman sederhana yang tak terduga, tetapi meninggalkan kesan yang begitu hangat.
#di lift#
Alya melangkah masuk ke lift bersama beberapa orang lain yang sudah lebih dulu berada di sana.
Ketika pintu lift hampir tertutup, seorang lelaki berlari tergesa-gesa dan masuk dengan nafas tersengal. Itu adalah Afnan, yang ternyata mengejar Alya untuk memastikan keamanannya.
Alya, yang menyadari kehadiran Afnan, memilih bersikap seolah-olah mereka tidak saling kenal. Ia menekan tombol menuju lantai 8, tanpa menoleh sedikit pun.
Afnan, yang juga memilih lantai yang sama, berdiri di sudut lift, memperhatikan Alya tanpa banyak bicara.
Ketika lift berhenti di lantai 3, semua penumpang lain keluar, meninggalkan hanya Alya dan Afnan.
Namun, sebelum pintu tertutup sepenuhnya, Gus Ziyan masuk ke lift sambil membawa kantong kresek berisi cemilannya. "Hai, Afnan! Lama banget kamu. Aku tadi nunggu di sini sambil ngelirik-lirik kafe di lantai 3," ucap Ziyan santai.
Alya, yang sadar hanya dia satu-satunya perempuan di dalam lift, perlahan mundur, membelakangi mereka agar tak terlalu menarik perhatian.
Ziyan, yang matanya awas, menyipitkan pandangan ke arah Alya. "Kayaknya aku kenal, deh, cewek itu," bisiknya pelan kepada Afnan.
Afnan dengan cepat mencoba mengalihkan perhatian Ziyan. "Masa sih? Nggak, ah. Mungkin kamu salah lihat."
Namun, Ziyan tampak yakin. "Itu Alya, insyaAllah namanya. Kata Wilona tadi pas di resto."
Tanpa menunggu reaksi Afnan, Ziyan menyapa dengan suara ceria. "Hei, Alya! Ketemu lagi, ya!"
Alya menoleh sebentar dengan tatapan kaku, lalu menjawab singkat, "Iya."
Melihat Alya yang tampak tidak nyaman, Afnan segera mengambil tindakan.
Ia menggiling kepala Ziyan dengan tangan, seperti kakak yang menegur adik. "Ngapain kamu ganggu cewek segala? Diam aja, deh."
"Aduh, iya-iya, deh," keluh Ziyan sambil mengusap kepalanya, menyerah pada sikap protektif Afnan.
Ketika lift berhenti di lantai 8, Alya langsung keluar tanpa menoleh, berjalan cepat menuju apartemen Wilona. Sikapnya tetap dingin, seakan ingin segera menghindari mereka.
Ziyan hanya bisa menghela nafas, kecewa. "Tuh kan, Afnan... Dia tuh cuek banget."
Afnan tersenyum tipis, tetapi dalam hatinya ia merasa lega. Ia tahu Alya hanya bersikap seperti itu untuk menjaga dirinya sendiri, terutama di tengah situasi yang bisa membuatnya tidak nyaman. Namun, rasa ingin melindungi Alya semakin tumbuh dalam hatinya.
baper