Daren begitu tergila-gila dan rela melakukan apa saja demi wanita yang di cintainya, Tapi cintanya tak terbalas, Sarah yang di cintai Daren hanya mempunyai secuil perasaan padanya, Di malam itu semua terjadi sampai Sarah harus menanggung akibat dari cinta satu malam itu, di sisi lain keduanya mau tidak mau harus menikah dan hidup dalam satu atap. Bagaimana kelanjutan kisah Mereka. akankah Daren bisa kembali menumbuhkan rasa cinta di hatinya untuk Sarah? Dan apakah Sarah bisa mengejar cinta Daren?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon II, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keputusan Sepihak
Para pelayat datang ke kediaman Pak Anjas setelah mendengar kabar duka itu, karangan bunga dari kolega, para sahabat, saudara dan rekan bisnis menghiasi halaman rumah, bahkan sampai memenuhi area sepanjang jalan, Pukul 10 pagi tepatnya. Mobil jenazah yang membawa Bu Sekar tiba di kediaman, Keluarga yang menyambut histeris, menangis dalam duka yang mendalam.
Sarah berjalan dengan di bantu pelayan, tertatih masuk kedalam rumah mengabaikan para pelayat yang datang mengatakan untuknya bersabar dan tabah, Pak Anjas sendiri nampak terdiam lesu di dekat tubuh Bu Sekar yang kini sudah berada di tengah-tengah ruangan.
Dengan derai air mata, Pak Anjas melirik Sarah yang terisak di sampingnya, ingin rasanya kembali memaki sang putri tapi keadaan memintanya untuk mengontrol emosi.
"Non Sarah, sekarang ganti baju dulu." Pinta salah satu pelayan, menatap Dress bekas semalam yang masih membalut tubuhnya.
Sarah yang tak bertenaga membiarkan kedua pelayan memapahnya menaiki lift menuju kamarnya.
"Saya turun berbelasungkawa atas meninggalnya Bu Sekar, Bapak harus kuat," Salah satu kolega mendekati Pak Anjas yang masih nampak terpukul.
Pak Anjas berusaha tersenyum, tapi sulit rasanya untuk terlihat baik-baik saja. Silih berganti para pelayat datang memberi kekuatan. Pak Anjas Kembali terisak mengenang sang istri, berusaha kuat di depan orang banyak. Apalagi dirinya seorang pebisnis harus terlihat berwibawa walaupun itu terasa sulit.
Sang asisten di sana mengabarkan meninggalnya Bu Sekar kepada Kakak Sarah yang menetap di luar negri, Laki-laki itu terpukul dan meraung di sebrang telepon. Mengatakan akan ke Indonesia esok hari, terasa sulit jika harus mendapatkan tiket pesawat dan segera terbang hari itu juga. Kemungkinan esok pagi bergegas menuju bandara.
"Bagaimana Den, ibu tidak bisa jika harus menunggu besok hari." Ucap si asisten. Sedikit terisak mengabarkan kebenaran itu. Kebenaran kalau Mayat tidak baik jika didiamkan berlama-lama.
Laki-laki di sebrang sana menghela napas pasrah. "Kebumikan Bunda secepatnya. Aku ikhlas jika tidak melihat bunda untuk yang terakhir kalinya."
"Den Fadli bicara langsung ke bapak, Saya akan sambungan." Kemudian si asisten menghampiri Pak Anjas.
"Pak," Panggilnya, duduk di samping Pak Anjas lalu memberikan ponsel. "Den Fadli."
Seketika Pak Anjas menangis sejadinya melihat wajah sang putra di depan layar.
"Kakak, Bunda pergi Kakak."
.
Mobil hitam terparkir bersama mobil pelayat yang masih memenuhi bahu jalan. Turun dua laki-laki berpakaian serba hitam, berjalan bersama sembari menyalami para pelayat. Di antara mereka ada beberapa teman dekat dan kolega.
Daren nampak santai dan memperlihatkan wajah datar, hanya melemparkan senyuman ketika orang-orang menyalaminya. Dalam diam Daren mencari sosok perempuan yang masih betah menghiasi hatinya. Akan tetapi dari banyaknya orang tak ada di antara mereka sosok tersebut, Daren menghela napas jengah. Tidak adakah rasa iba dalam hatinya untuk Sarah, entah kenapa dirinya semakin batu jika berurusan dengan Sarah bahkan kematian Bu Sekar ibu Sarah tidak membuat Daren iba.
Kinan kamu di mana?
"Ayo Nak," Pak Darwin mengajak Daren yang diam mematung di ambang pintu masuk.
Daren seketika mengangguk dan ikut masuk kedalam untuk menemui Pak Anjas.
Pak Anjas yang mana mulai tenang tiba-tiba saja menjadi serius menatap kedatangan Pak Darwin dan Daren.
"Pak Anjas, saya turut berdukacita." Ucap Pak Darwin, memeluk Pak Anjas yang kembali terisak.
Bergantian Daren memberi pelukan untuk calon ayah mertuanya itu, "Daren turut berdukacita Om."
"Terimakasih Daren," Balas Pak Anjas, berusaha untuk mengatur emosinya, mengesampingkan perasaan batin yang bergejolak. Akan ada lain waktu untuk menanyai Daren, di samping itu dirinya sudah membuat perjanjian akan menikahkan putrinya dengan Daren, sedikit tersadar akan memberi Hadiah berupa pukulan karena Daren sudah berani bermalam di hotel bersama Sarah sang putri.
Kebetulan Sarah yang sudah berganti baju serba hitam datang bergabung, Daren menjadi terpaku melihat Sarah yang tak biasa, keangkuhan, rasa percaya diri, semua tak terlihat lagi, wajahnya yang selalu di jaga dengan polesan make up nampak pucat tak bersemangat.
Sarah acuh tak memperdulikan keberadaan Daren di sana. Dirinya begitu terpukul dan di kuasi rasa sedih karena sudah di tinggal pergi sang bunda untuk selamanya.
Daren menyingkir segera, enggan berlama-lama berada di dalam, Daren memilih keluar dan akan menunggu di dalam mobil.
"Kemana Kinan? Dia masih belum ter-
Daren tercekat ketika mobil yang di kenalnya datang, Hatinya berdetak kencang tiba-tiba, Sudah di pastikan belahan jiwanya berada di dekatnya.
"Kalau jantung kita berdetak kencang itu artinya orang yang kita cintai berada dekat dengan kita." Daren bergumam, sumringah sembari celingukan mencari sosok perempuan yang mana baru saja turun dari mobil.
"Astaga Kinan, Kamu begitu lain dari wanita yang aku kenal. Pakaian yang menutupi tubuhnya terasa sepesial, aku bahkan penasaran seperti apa wajah mu ketika tidak memakai kerudung itu, pasti kamu cantik sekali." Daren bahkan membayangkan yang di gandeng Kinan dirinya bukan Daniel. Sadar itu hanya mimpi Daren bersandar lesu, menatap kepergian Daniel dan Kinan yang tengah masuk kedalam rumah Pak Anjas.
Pukul 4 sore setelah shalat Ashar, jenazah Bu Sekar di bawa ke pemakaman yang mana berada di Karawang. Daren yang di paksa Ayahnya mau tidak mau harus ikut mengiringi, dirinya begitu kuasa menolak akan tetapi ketika ayahnya memohon Daren terpaksa mengiyakan.
San Diego hill...
Pemakaman khusus orang-orang berduit tebal di pilih Pak Anjas, sebenarnya lokasi San Diego hills sudah di pesan beberapa tahun terakhir, bahkan Pak Anjas memesan tiga kapling yang berdekatan untuknya, Bu Sekar dan Sarah, dan sekarang kapling pertama di isi Bu Sekar.
Jenazah Bu Sekar segera di masukkan kedalam liang lahat, Di iringi suara takbir dan rintihan tangisan Sarah, Sarah terkulai dalam pelukan Kinan, Salah satu alasan Daren mau ikut adalah Kinan, tadi Daren menolak ikut tapi keberadaan Kinan membuat Daren bersemangat, Memandang wajahnya yang cantik membuat Daren betah berlama-lama, Daniel yang ada di sana mengawasi gerak-gerik Daren memberi tatapan tak suka, Tapi Daren acuh saja.
"Kamu mungkin sudah mendapatkannya, Tapi dalam hatiku Kinan tidak terganti." Daren bergumam sembari tersenyum membuat Pak Darwin melirik heran.
Pak Darwin yang paham segera menarik tangan Daren, membawanya ke mana Sarah berada.
"Nak Kinan, biarkan Daren yang menemani Sarah," Ucap pak Darwin, menatap Kinan lembut dan melempar senyuman hangat. Kinan mengangguk dan membiarkan Daren mengambil alih.
Daren tersentak ketika dirinya di minta merangkul Sarah. Sarah terpaku di buatnya. Bergantian menatap Pak Darwin dan Daren.
"Ayah, apaan sih? Ini ga lucu." Daren protes, Bersiap mundur tapi Pak Darwin segera mencegah, perlahan mendekati telinga Daren.
"Dia calon istrimu, ingat itu."
.
Dua Minggu berlalu.
Sarah memilih mengurung diri di kamar, untuk makan pun dirinya harus di paksa, pelayan kewalahan menghadapi sikap Sarah yang mulai menyendiri, Ke hadiran sang Kakak Fadli tidak membuat Sarah bersemangat menjalani hari, Apalagi sikap Pak Anjas berubah seratus delapan puluh derajat, Laki-laki yang di kenalnya penyayang kini memandangnya bah musuh. Setelah dua Minggu kepergian Bu Sekar, Pak Anjas sama sekali tidak ingin menemui Sarah, bagaimana dan seperti apa kondisinya Pak Anjas tak mau tau, Dirinya pun sibuk mengurung diri di kamarnya, dunia seakan runtuh dan tak ada lagi semangat dalam hidup.
"Yah, Fadil masuk." Pria tampan bertubuh tinggi itu membuka pintu lalu berjalan mendekati ranjang, menatap sendu laki-laki yang kini duduk dengan lesu di atas ranjang empuknya.
Pak Anjas melirik sesaat. "Ada apa Kak?"
"Ayah kenapa masih betah mengurung diri, bunda kalau liat ayah begini pasti bunda sedih, Ayah juga ga seharusnya menghukum Sarah seperti itu, kepergian Bunda bukan salah Sarah Yah, Ini sudah takdir Allah."
Pak Anjas tertawa kecil. "Adik mu sudah mencemarkan nama baik keluarga, dia dan Daren-
Pak Anjas tak kuasa melanjutkan kalimatnya, "Karena Sarah, bunda meninggal Kak,"
Fadil menggelengkan kepala. "Kakak tau Ayah sedang berduka, ayah bukan anak kecil yang terus merengek dalam kesedihan, Ayah harus ingat, Sarah adalah putri kecil ayah, dia sama terpukulnya. Bukan hanya ayah, Kakak dan Sarah merasakan apa yang ayah rasakan, Jadi Fadli mohon Ayah untuk bangkit, buat bunda di sana pergi dengan tenang,"
Mendengar ucapan Fadli, Pak Anjas merenung, tanpa sadar air matanya keluar.
"Fadli harap ayah bisa kembali bangkit." Fadil segera meninggalkan Pak Anjas yang mana masih merenung dalam kesendirian.
Fadil bergegas ke kamar Sarah ingin menemuinya karena besok harus kembali Belanda, di tambah Istrinya Diandra juga tidak bisa menambah cuti. Dalam langkahnya Fadli mempertimbangkan untuk kembali tinggal di Jakarta membantu sang ayah mengambil alih perusahaan.
Kebetulan asisten Pak Anjas menyembul, sepertinya akan menemui Pak Anjas di kamar.
"Pak Doni." Panggil Fadil.
Pak Doni segera berlari menghampiri Fadil. "Saya, Den."
"Ada yang mau saya tanyakan?"
"Silakan Den." Sahut Pak Doni sopan. Duduk di sofa dekat kamar Sarah, keduanya duduk dengan saling berhadapan..
"Apa benar perusahaan tengah dalam masalah?" Fadli mengetahuinya beberapa hari yang lalu, Dalam kesedihan, Pak Anjas memberi tahu kalau perusahaan tengah bermasalah yang mana harus mengorbankan Sarah untuk menjadi istri Daren.
Ragu Pak Doni mengangguk. "Betul Den, tapi sekarang Alhamdulillah sudah teratasi berkat bantuan dari Pak Darwin."
"Saya tau itu Pak,"
Pak Doni kembali mengangguk patuh.
Fadil menghela napas panjang. "Bagaimana cara agar Sarah tidak menikah dengan Daren, itu yang harus kita atasi sekarang."
Pak Doni berkata dengan wajah penuh keraguan. "Pak Darwin menggelontorkan uang sangat besar hampir 50 persen dari kerugian perusahaan, Saya rasa kalau pun kita mengembalikan dana tersebut membutuhkan waktu cukup lama. Jika Den Fadli ingin membatalkan perjanjian itu maka itu artinya kita akan memberikan hampir 60 persen saham perusahaan, terlalu mustahil bagi perusahaan mengembalikan dana itu di samping perusahaan baru saja pulih."
Fadil mengangguk-anggukkan kepalanya, tertunduk lesu mendapati kenyataan pahit itu.
"Kalau saja dulu aku tidak kekeh mengikuti Diandra mungkin perusahaan tidak akan seperti ini." Gumam Fadli penuh sesal. Sudah sedari lama sekali Pak Anjas memintanya untuk mengambil alih perusahaan tapi keadaan di Belanda tidak memungkinkan untuk Fadil dan istrinya segera pindah ke Indonesia. Di sana juga ada perusahaan miliknya yang di bangun bersama Diandra sang istri dan tengah berkembang.
"Kapan pernikahan itu akan di langsungkan?" Tanya Fadli, menatap Pak Doni lemas.
"Untuk rencana pernikahan saya sendiri belum mendapatkan informasi Den,"
"Itu artinya masih ada waktu untuk mengembalikan uang Pak Darwin."
Bagaimana caranya aku mengembalikan uang Pak Darwin, tapi Sarah dan Daren, mereka sudah tidur bersama.
.
Bandung...
Sudah tiga hari Daren di bandung, anak perusahaan di Jakarta di tinggalkan karena ada beberapa urusan yang tidak bisa di tinggalkan terlebih dengan keinginan sang ayah yang kekeh ingin dirinya segera menikahi Sarah.
"Bagaimana Daren? Ini sudah dua Minggu, kapan kamu siap menikahi Sarah ?" Tanya Pak Darwin, keduanya berada di ruang keluarga berdua saja.
Nyonya besar, yang tidak lain ibu Daren sudah lama meninggal dunia, Nyonya Maya pergi untuk selamanya ketika Daren berkuliah di luar negeri, Kala itu Nyonya Maya tengah mengandung adik Daren akan tetapi karena ketidak hati-hatinya menuruni tangga, dirinya terjatuh sempat di bawa ke rumah sakit dan mendapatkan penanganan akan tetapi takdir berkata lain, nyonya Maya pergi berserta membawa adik Daren, sudah lama sekali Pak Darwin menduda tapi sampai sekarang dirinya masih betah melajang. Daren tak pernah bertanya kapan ayahnya itu kembali menikah, tabu bagi Daren mempunyai ibu tiri.
"Sudahlah Yah, Daren ga mau menikah dengan Sarah, kenapa ayah tidak mengerti." Sahut Daren ketus.
"Ayah sudah tau kalau kamu dan Sarah menginap di hotel horison."
Daren menjadi salah tingkah. "Itu tidak di sengaja."
Pak Darwin enggan menanggapi Daren, ia malah mengambil ponselnya menghubungi seseorang, Daren diam memperhatikan.
"Ayah nelepon siapa?"
Pak Darwin mengangkat satu tangan meminta Daren untuk diam.
"Pak Anjas, ini saya, Beri tau Sarah, Daren akan datang melamar, besok malam kami akan datang."
Daren kelimpungan, memberi kode untuk Pak Darwin berhenti membual.
"Kamu jangan ke mana-mana, nanti siang akan ada orang yang mengirimkan beberapa cincin, ayah akan membantu mencari cincin yang cocok untuk Sarah."
.
Di tepi area kolam Pak Anjas termenung setelah menerima telepon mendadak itu.
"Nendi?" Teriak Pak Anjas. Mencari kepala pelayan yang nampak berlari menghampirinya.
"Saya Pak?" laki-laki seumuran dengannya itu menghadap sopan..
"Besok malam Putriku akan di lamar, persiapan segalanya, minta Sarah datang ke sini sekarang."
"Baik Pak," Pak Nendi segera undur diri, sebelum ke area dapur untuk memanggil semua pelayan, terlebih dahulu kakinya menaiki tangga untuk menemui Sarah.
Sarah yang mana mulai menerima kepergian sang bunda terlihat lebih segar dan memperlihatkan senyuman hangat ketika melihat Pak Anjas. Setelah Fadli berbicara di kamar kala itu, Pak Anjas mulai menerima dan perlahan membuang perasaan marahnya kepada Sarah. Apalagi sekarang dirinya akan mengabarkan hal penting.
"Duduk," Pinta Pak Anjas.
Sarah duduk dengan wajah berbunga, sudah sangat lama sang ayah tidak mengajaknya bersantai bersama.
"Udaranya segera ya, Yah," Sarah menutup mata, menarik napas mengirup udara yang terasa segar.
"Besok malam Daren akan datang melamar, ayah ingin kamu menerima Daren, Setelah lamaran, pernikahan baru akan di putuskan."
Sarah mematung saja, senyuman yang sedari tadi terlihat hilang dalam waktu sekejap mata.
"Maksud Ayah apa? Sarah tidak tau? Kenapa Sarah-
"Sebelum bunda pergi, perusahaan tengah bermasalah, ayah harus mencari dana sangat besar untuk menutupi kerugian, Pak Darwin, Ayah Daren bersedia membantu ayah tanpa syarat apapun, tapi ayah dengan sadar menjodohkan kamu dengan Daren, ayah semakin yakin ketika kamu dan Daren-
Pak Anjas enggan melanjutkan kalimatnya. Dirinya tiba-tiba berdiri membuat Sarah mendongak menatap sang ayah.
"Persiapan dirimu, kalau kamu berusaha lari, silahkan, tapi mungkin kamu akan mendengar berita kematian ayah." Setalah itu Pak Anjas pergi begitu saja meninggalkan Sarah.
Sarah berkaca-kaca, tubuhnya bergetar hebat, menatap kepergian Pak Anjas dengan derai air mata.
Berbarengan dengan itu, ponselnya bergetar, Sarah menatap siapa yang sudah menghubunginya. Itu dari Daren, awalnya Sarah enggan mengangkat panggilan itu tapi berkali-kali Daren melakukan panggilan. Terpaksa Sarah mengangkatnya.
"Daren-
"Aku minta kamu jangan menerima lamaran ku nanti, kalau kamu menerimanya aku akan pastikan hidupmu tidak akan tenang, Demi Tuhan, Sarah, kamu akan menyesal."