"Oke. Dua Cinnamon Pumpkin Chai latte," jawab gue sambil mencatat di kasir. Gue perhatikan dia. "Kalau mau sekalian nambah satu, gue kasih gratis, deh!"
"Lo kira gue butuh belas kasihan lo?" Nada suaranya ... gila, ketus banget.
Gue sempat bengong.
"Bukan gitu. Lo, kan tetangga. Gue juga naruh kupon gratis buat semua toko di jalan ini, ya sekalian aja," jelas gue santai.
"Gue enggak mau minuman gratis. Skip aja!!"
Ya ampun, ribet banget hidup ini cowok?
"Ya udah, bebas," balas gue sambil mengangkat alis, cuek saja. Yang penting niat baik sudah gue keluarkan, terserah dia kalau mau resek. "Mau pakai kupon gratis buat salah satu ini, enggak?"
"Gue bayar dua-duanya!"
Oke, keras kepala.
"Seratus sebelas ribu," sahut gue sambil sodorkan tangan.
Dia malah lempar duit ke meja. Mungkin jijik kalau sampai menyentuh tangan gue.
Masalah dia apa, sih?
────୨ৎ────
Dear, Batari Season IV
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menginap di Kandang Musuh
“Gue udah telepon teman gue, Zambo,” kata Nauru sambil angkat tangan, seperti mau menenangkan gue biar enggak meledak. Soalnya Zambo itu polisi.
“Tenang aja. Dia teman gue. Aneh banget kalau lo enggak lapor waktu terjadi perampokan kayak gini. Gue bilang ke dia kalau gue langsung cek ke tempat ini pas alarm bunyi, jadi dia bisa catet dan enggak bakal ada pertanyaan aneh-aneh besok. Dia bakal nyampe sini lima menit lagi. setelah itu lo bisa urus pintunya besok pagi.”
“Pinter juga lo. Iya sih, gue juga pasti bakal bilang ini kerjaan anak-anak iseng. Makasih, ya.”
Gak lama, Zambo datang dan bikin laporan singkat. Tapi yang bikin gue kaget, Nauru cerita ke polisi itu kalau dia keluar dari gym saat dua remaja kabur sambil ketawa-ketawa lewat gang belakang.
Si polisi enggak tanya lebih lanjut soal cerita kita, cuma bilang kalau tempat ini enggak aman buat gue tinggal malam ini. Gue langsung bilang memang gue enggak bakal menginap di sini, dan untungnya dia enggak tanya gue mau ke mana.
Setelah dia tutup pintu depan dan janji bakal ada mobil patroli parkir di depan biar enggak makin diacak-acak orang, mereka pamit.
“Siap?” kata Nauru, sambil taruh tangan di punggung gue waktu kita jalan keluar lewat pintu belakang. Gue mengunci tiga gembok sekaligus, yang bikin dia tertawa. Soalnya pintu depannya saja cuma ditutup plastik doang.
“Makasih, ya,” kata gue pelan. “Dan makasih juga udah bolehin gue nginap di rumah lo.”
“Masa iya gue biarin lo tidur di gang? Gue emang nyebelin, tapi enggak sebrengsek itu juga.”
“Itu kata lo sendiri, ya!” balas gue.
Kita jalan beberapa langkah melewati gang ke rumah dia, yang ternyata benar-benar ada di belakang gym. Dia buka pintu, dan gue langsung lihat-lihat dalamnya. Kecil sih, tapi keren. Langit-langitnya tinggi, ada kayu-kayu disilang ke atas kayak atap segitiga. Lantainya semen polos, tapi estetik.
Di tengah ada dapur modern, terus satu sisi ada sofa, sisi lain ada ranjang. Gue langsung ingat sama teman gue di kota. Vibes nya mirip banget.
“Gue bisa tidur di sofa,” desah gue pelan. Soalnya sekarang kita sudah ada di ruangan yang sempit banget. Hidung gue peka, dan tiba-tiba aroma cedar campur sage langsung menyerang indra penciuman.
Dia tertawa. “Tidur aja di kasur. Gue punya kasur tambahan kok.”
Dia menyebrangi ruangan, buka pintu ganda yang awalnya gue kira lemari, terus tarik kasur single lipat. Dia geser kasur itu dekat sofa, jauh dari kasur utamanya. Syukurlah, soalnya kalau tidur di dekat dia itu ... bisa jadi siksaan batin.
Gue bisa bayangkan, kalau tidur sama Nauru, rasanya pasti seperti adegan di novel-novel romance yang sering gue baca. Gue kan pembaca setia, hidup gue itu nyambung sama kisah cinta tokoh-tokoh fiksi. Buktinya, buat gue, seks itu biasa saja. Tapi gue yakin, cowok satu ini pasti tahu banget cara bikin cewek merasa di surga.
Dia taruh kasurnya, terus jalan ke lemari lagi, ambil sprei, selimut, sama bantal, kayaknya dia sudah biasa banget sama kasur ini. Gue maju, pegang ujung sprei, bantu dia merapikannya.
“Gue yang pakai kasurnya lipatnya ya, soalnya lo juga kayaknya enggak bakal muat tidur di sini,” kata gue sambil tahan senyum. “Lo sering banget ya, ada tamu nginep di kasur sekecil ini?”
“Salah satu sahabat gue, Eros, punya anak namanya Chumpha. Dia suka banget nginep di sini. Sebulan sekali pasti ada acara tidur bareng. Kadang lebih sering, kalau Eros lagi sibuk sama kerjaannya. Soalnya dia single parent.”
“Oh, gue kenal Eros. Dia sama Mohan yang ngerjain renovasi tempat gue. Mereka berdua asik, sih.”
Nauru langsung angkat alis saat lagi merapikan selimut. Jujur, gue enggak nyangka dia bisa sekeren itu waktu lagi merapikan kasur. Gue pikir dia tipe cowok yang asal lempar bantal doang.
“Gue enggak yakin, deh ada orang yang bilang mereka ‘asik’.”
“Ya tapi mereka baik ke gue.”
“Ya mungkin karena mereka mau dekatin lo.” Dia lempar bantal ke bagian kepala kasur.
“Ya, sih. Walaupun lo sendiri enggak tertarik sama gue. Tapi bukan berarti semua orang juga nganggep gue enggak menarik.”
Dia memandangi gue lama banget, terus bilang, “Gue enggak yakin ada orang yang bisa nganggep lo enggak menarik, Ailsa. Dan soal cowok mau dekatin lo atau enggak, itu enggak ada hubungannya sama penampilan lo. Paham, kan?”
Pipi gue langsung panas gara-gara tatapan tajam dari dia.
“Gue enggak tahu kenapa cowok bisa merasa kayak gitu.”
“Lo cewek pintar. Gue yakin lo bisa nebak sendiri.” Dia langsung balik badan, menunjuk ke arah pintu. “Kamar mandinya di situ. Kalau laper, ada sisa pizza di kulkas.”
“Makasih. Tapi gue enggak apa-apa. Gue mau tidur aja.”
“Iya, udah malam juga. Gue juga udah siap tidur.”
Dia jalan ke tempat tidur, tarik sweater dari kepala, dan sumpah, mulut gue langsung kering. Punggungnya, astaga. Gila, petinju memang badannya begini, ya?
Kekar, berotot, garis-garisnya tegas, semuanya kencang. Belum sempat otak gue mencerna semuanya, dia sudah buka sepatu dan copot celana jeans, berdiri cuma pakai boxer hitam.
Ya, Tuhan. Ini cowok apaan sih, kok bisa seganteng ini. Paha kekar, pinggang ramping, dan bokong yang ... sempurna. Gue belum lihat bagian depannya, tapi mata gue enggak bisa lepas.
Begitu dia memutar pelan-pelan, gue sudah enggak malu-malu lagi. Mata gue langsung menjelajah seluruh tubuhnya. Ada tato gelap di lengan kanan sama paha kiri, mungkin tulisannya nama keluarga.
Perut kotak-kotaknya itu benar-benar mirip hasil editan Photoshop. Terus dia punya garis V yang dalam banget sampai ke bagian bawah yang ada bulu halusnya. Dan gue benar-benar bengong waktu sadar kalau dia lagi ereksi.
Saat akhirnya gue memaksa diri buat menengok ke atas, tatapan dia sudah menempel ke gue. Dalam, gelap, senyumannya ... seksi banget.
“Baru pertama kali lihat cowok pakai boxer, ya?” Suaranya rendah, dalam, dan ... gila, seksi parah.
“Belum pernah lihat petinju yang lagi sange, sih.”
“Kayaknya sekarang udah. Soalnya lo udah merhatiin titid gue lama banget.”
“Enggak, kok!” Gue mendesis panik, langsung balik badan dan buru-buru copot sepatu. Gue langsung bergulung ke bawah selimut, masih lengkap pakai baju dan ... ya, super malu.
Dan juga ... super napsu.
Karena dia benar.
Gue memang memperhatikan bagian itu.
Dia cuma tertawa pelan sebelum lampu dimatikan dan ruangan menjadi gelap.
sampe Nauru akhirnya mau minuman gratis di cafe Ailsa 🤭
walau di cerita awal, Caspian itu adiknya tapi disini jd kakaknya, gpplah. mohon lanjutannya Thor 🙏🙏🙏🙏