Dikhianati oleh dua orang yang paling ia percayai—tunangannya dan adiknya sendiri—Aluna Kirana kehilangan semua alasan untuk tetap hidup. Di tengah malam yang basah oleh hujan dan luka yang tak bisa diseka, ia berdiri di tepi jembatan sungai, siap menyerahkan segalanya pada arus yang tak berperasaan.
Namun takdir punya rencana lain.
Zayyan Raksa Pradipta, seorang pemadam kebakaran muda yang dikenal pemberani, tak sengaja melintasi jembatan itu saat melihat sosok wanita yang hendak melompat. Di tengah deras hujan dan desakan waktu, ia menyelamatkan Aluna—bukan hanya dari maut, tapi dari kehancuran dirinya sendiri.
Pertemuan mereka menjadi awal dari kisah yang tak pernah mereka bayangkan. Dua jiwa yang sama-sama terbakar luka, saling menemukan arti hidup di tengah kepedihan. Zayyan, yang menyimpan rahasia besar dari masa lalunya, mulai membuka hati. Sedangkan Aluna, perlahan belajar berdiri kembali—bukan karena cinta, tapi karena seseorang yang mengajarkannya bahwa ia pantas dicintai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Pagi itu di sebuah rumah sederhana yang tampak lebih sunyi dari biasanya, udara pagi tak membawa kesejukan—melainkan kekacauan. Kediaman keluarga Bu Ratna, yang dulunya selalu ramai oleh suara langkah kaki Aluna, kini hanya diisi oleh keluhan-keluhan yang menggema dari ruang tengah.
Bu Ratna berdiri di tengah dapur yang berantakan. Wajahnya kusut, rambutnya belum tersisir rapi, dan mata tuanya menatap tumpukan piring kotor serta lantai yang penuh debu. Tak ada suara ketukan lembut dari tangan Aluna, tak ada aroma masakan yang biasa mengepul dari kompor butut mereka. Hanya ada kekacauan dan keheningan yang menamparnya setiap pagi.
“Ya Tuhan... rumah ini bisa runtuh kapan saja kalau tidak ada yang bereskan,” gumam Bu Ratna sembari meletakkan tangan di pinggangnya. Matanya melirik ke arah kamar belakang, tempat di mana putri kandungnya, Tasya, masih asyik di balik selimut hangat.
Dengan langkah berat, ia berjalan ke kamar Tasya dan mengetuk pintu dengan sedikit keras. “Tasya! Bangun! Bantuin mama beresin rumah ini, ya. Mama nggak sanggup kalau beresin ini sendiri.”
Tak lama, pintu terbuka sedikit, menampakkan wajah kusut Tasya yang jelas-jelas belum siap diganggu. Ia menatap ibunya dengan alis yang naik setengah.
“Serius, ma?” Tasya mengerang. “Aku bukan pembantu. Ngapain juga aku ngerjain kerjaan yang biasanya Aluna kerjain?”
Bu Ratna tersentak. “Lho, kamu ini kan anak mama, tasya. Kalau bukan kamu, siapa lagi yang bantuin mama? Sekarang Aluna udah pergi, nggak ada yang bantu mama di rumah!”
Tasya mendecakkan lidahnya dan membuka pintu lebar-lebar. “Justru itu, ma! Kenapa juga Aluna dibiarkan pergi? Cepat cari dia! Suruh dia balik! Biar dia yang beresin semuanya lagi kayak dulu. Hidup kita berantakan tanpa dia.”
Mata Bu Ratna berkedip-kedip tak percaya. “Kamu pikir nyuruh dia pulang itu gampang? Dia pergi karena marah. Karena merasa mama dan kamu nyuruh-nyuruh dia terus!”
Tasya mengangkat bahu dengan malas. “Ya tinggal minta maaf aja. Janji nggak bakal marahin dia lagi. Nanti juga dia balik. Aluna itu orangnya nggak punya tempat lain buat pergi, kan?”
Kalimat itu menghantam Bu Ratna dengan kenyataan yang menyakitkan. Selama ini, ia selalu menganggap Aluna akan tetap tinggal bersama mereka karena tidak punya siapa-siapa lagi. Namun kini, kepergian Aluna membuktikan bahwa gadis itu memang bisa hidup tanpa mereka. Dan yang lebih memalukan lagi, rumah ini ternyata tidak bisa berjalan baik tanpanya.
Tasya kembali ke tempat tidurnya, menarik selimut sambil menyalakan ponsel dan mengabaikan ibunya yang masih berdiri kaku di ambang pintu.
Dengan perasaan campur aduk, Bu Ratna berjalan ke ruang tengah dan duduk di kursi kayu tua yang bunyinya kini tak lagi ditimpali suara langkah ringan Aluna. Rumah ini telah kehilangan denyut nadinya, dan ia—ibu yang seharusnya mengayomi—baru menyadari betapa dinginnya sebuah rumah tanpa cinta, dan betapa kosongnya kekuasaan tanpa belas kasih.
Hari-hari berikutnya, ketidakberdayaan itu terus bertambah. Tak ada makanan yang dimasak, tak ada uang yang datang. Bu Ratna mulai memutar otaknya. Ia mencoba menghubungi tetangga untuk mencari tahu apakah ada yang melihat Aluna, namun hasilnya nihil. Tidak ada yang tahu kemana Aluna pergi dan dimana ia tinggal. Semua yang ditinggalkan Aluna hanyalah jejak penyesalan dan kenangan.
itu sakitnya double
bdw tetap semangat/Determined//Determined//Determined//Determined/