Reynard Fernando, seorang CEO sukses yang lumpuh, menikahi Caitlin Revelton, gadis ceria dan penuh semangat yang dikenal tak pernah mau kalah dalam perdebatan. Meskipun Caitlin tidak bisa membaca dan menulis, ia memiliki ingatan yang luar biasa. Pernikahan mereka dimulai tanpa cinta, hanya sekadar kesepakatan.
Namun, apakah hubungan yang dimulai tanpa cinta ini dapat berkembang menjadi sesuatu yang lebih mendalam? Atau, mereka akan terjebak dalam pernikahan yang dingin dan hampa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 18
"Katakan saja!" Reynard menatap Caitlin, penasaran dengan apa yang akan ia tanyakan.
Caitlin melipat tangannya, mendekatkan wajahnya sedikit, sebelum akhirnya membuka mulut. "Kenapa setiap kali aku bangun, aku pasti tidur di atas kasur? Padahal setiap malam aku tidur di sofa," tanya Caitlin dengan nada penuh rasa ingin tahu. Matanya berkerut, tanda kebingungannya yang sudah lama ia pendam.
Reynard tersenyum kecil, sebuah senyum yang samar, "Kau selalu bermimpi sambil berjalan, sehingga akhirnya tidur di sampingku. Aku sudah mencoba mengusirmu, tapi kamu tidak bangun," jawab Reynard, suaranya ringan namun sedikit mengusik Caitlin.
Caitlin memiringkan kepalanya, ekspresi tak percaya jelas tergambar di wajahnya. "Tidak mungkin. Saat aku di rumah paman, aku tidak pernah pindah tempat tidur. Apalagi bermimpi sambil berjalan," balasnya dengan nada menantang, mencoba mencari celah dalam pernyataan Reynard.
"Itu adalah kenyataan," Reynard mengangkat bahu dengan sikap santai, namun tatapannya tetap tenang. "Aku juga tidak mungkin memindahkanmu, kan?" lanjutnya sambil menyeringai tipis.
Caitlin terdiam, mencoba mencerna kata-kata Reynard. "Benar juga," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. "Kakinya saja tidak bisa berdiri. Mana mungkin dia bisa memindahkan aku," lanjutnya, kali ini suaranya terdengar lebih yakin.
Reynard tetap tersenyum, menikmati kebingungan Caitlin. Ia tidak memberikan jawaban lebih jauh, hanya memandangi istrinya dengan tatapan yang lembut namun penuh teka-teki. Caitlin, yang merasa seolah terjebak dalam pikirannya sendiri, akhirnya menggeleng pelan dan beranjak keluar dari ruangan, meninggalkan Reynard dengan Nico yang tetap berada di ruangan.
Setelah Caitlin pergi, Nico mendekatkan diri ke Reynard, rasa penasaran jelas terpancar di wajahnya. "Tuan, kenapa tidak ingin nyonya menjadi saksi?" tanyanya hati-hati.
Reynard menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Aku tidak ingin membahayakannya," katanya dengan nada rendah namun tegas. "Menikah denganku sudah cukup membuatnya terlibat dalam masalah ini. Aku harus mencari kesalahan pamanku sendiri, agar bisa menyingkirkannya dari perusahaan. Dia memiliki banyak koneksi dan dukungan, dan mereka semua adalah orang-orang tua seumuran dengannya. Tentu saja, mereka lebih berpihak padanya daripada padaku," lanjutnya, suaranya mengandung sedikit kekecewaan.
"Apakah kesaksian nyonya tidak cukup menjatuhkan dia?" tanya Nico.
Reynard menggeleng perlahan, menatap Nico dengan serius. "Tidak cukup," jawabnya tegas. "Tanpa rekaman atau bukti nyata dari kejadian itu, kesaksian Caitlin bisa saja dianggap palsu. Apalagi sekarang dia sudah menjadi istriku. Orang-orang akan berpikir bahwa dia hanya berbohong demi aku, Selain itu, aku tidak ingin dia berada dalam bahaya. Paman tidak akan tinggal diam jika tahu Caitlin adalah saksinya."
Nico terdiam, merenung sejenak, lalu mengangguk dengan penuh pemahaman. "Saya mengerti, Tuan. Kita harus menemukan bukti yang lebih kuat," katanya.
Keesokan harinya, sinar matahari pagi menyusup melalui celah-celah jendela kamar, menerangi ruangan yang tenang. Caitlin tidur dengan damai di samping suaminya, Reynard, tanpa sadar memeluk tubuhnya erat-erat. Wajahnya terlihat nyaman dan damai, sementara tangannya mulai bergerak tanpa arah, meraba dada Reynard.
Reynard, yang belum sepenuhnya terjaga, merasakan gerakan itu. Dia mencoba menahan diri, berpikir Caitlin hanya sedang bermimpi. Namun, ketika tangannya turun semakin ke bawah, tubuhnya langsung tegang.
"Kenapa gulingku bentuknya aneh?" Caitlin bergumam dalam keadaan setengah sadar, bibirnya tersenyum tipis seolah menemukan sesuatu yang menarik. Tangannya kini menggenggam bagian paling sensitif suaminya.
Reynard terkejut, matanya terbuka lebar. " Sialan, apa yang gadis ini lakukan?"
"Apa ini, sejak kapan gulingku punya tombol?" Caitlin melanjutkan, masih dalam dunia mimpinya. Ia mulai meremas bagian itu beberapa kali, seolah sedang menguji tekstur sesuatu yang baru.
Wajah Reynard berubah merah, campuran antara kaget dan marah. "Singkirkan tanganmu, kalau kau masih ingin nyawamu!" desisnya dengan keras, menepis tangan Caitlin dengan cepat.
Caitlin mengerang sedikit tapi tidak langsung bangun. Ia hanya mengernyit dan bergumam lagi, "Kenapa gulingku bisa bicara? Aneh sekali. Tapi tombolnya cukup nyaman dijadikan mainan."
Reynard semakin tak tahan, "Bagaimana dia bisa menyebutnya mainan?"gumamnya dalam hati, sementara kemarahannya memuncak.
"Buka matamu!" Reynard berseru, suaranya serak dengan campuran emosi yang sulit ia kendalikan. Wajahnya tegang, sementara Caitlin masih memejamkan mata, terlihat begitu santai seolah tidak ada yang salah.
"Jangan ganggu aku, berikan mainan tadi," gumam Caitlin dengan malas, tangannya terus meraba tubuh suaminya. "Aku mau main dengan kucing tetangga." Dia bangkit sedikit dari tempat tidur, masih setengah tertidur, namun tangannya masih tidak meninggalkan "mainan" yang dia anggap itu.
Reynard mengepalkan tangannya erat-erat di samping tubuhnya, berusaha sekuat tenaga menahan diri dari amarah yang semakin memuncak. "Dia benar-benar tidak tahu apa yang sedang dia lakukan,"batinnya, mencoba menenangkan diri. Tapi melihat Caitlin yang masih belum sadar membuatnya semakin frustasi.
Dengan gerakan cepat, tangan Caitlin kembali menangkap bagian bawah tubuh suaminya, seolah-olah itu hal yang wajar. Ia meremasnya lagi, kali ini dengan lebih kuat, membuat tubuh Reynard menegang.
"Kenapa ini tidak bisa dilepaskan?" Caitlin bertanya, sedikit kesal sambil menariknya dengan kasar, tanpa menyadari apa yang sebenarnya dia genggam.
Reynard mendengus, wajahnya merah padam karena marah sekaligus malu. "Gawat! Tangan gadis ini benar-benar jahat," gumamnya sambil menepis tangan Caitlin dengan cepat, melepaskan diri dari genggamannya yang semakin berani.
"Hanya mainan murahan yang tidak berfungsi sama sekali," Caitlin berkata pelan, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri, wajahnya masih setengah tenggelam dalam bantal.
Reynard terdiam, menatap istrinya yang masih terlelap dengan tatapan tajam penuh amarah. "Mainan murahan? Tidak berfungsi?" gumamnya dalam hati, setiap kata itu seperti duri yang menusuk harga dirinya.
Reynard, yang sudah mencapai puncak kesabarannya, tanpa pikir panjang langsung menunduk dan menggigit telinga istrinya dengan keras. Caitlin, yang masih terbuai dalam dunia mimpinya, langsung tersentak.
"Aaaahhhh!" teriaknya keras, kedua matanya terbuka lebar, akhirnya terbangun dari tidurnya. "Ada apa denganmu? Kenapa menggigitku?!"
Teriakan Caitlin menggema di seluruh kamar, suaranya bercampur antara rasa sakit dan kebingungan. Reynard masih belum melepaskan gigitannya.
hikzz..
Reinhard knp gk cari caitlin sendiri sih mlh nyuruh nic segala 😌😌😌