NovelToon NovelToon
Sisi Lain Dari Pagar Sekolah: Pengalaman Dan Penyesalan

Sisi Lain Dari Pagar Sekolah: Pengalaman Dan Penyesalan

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Romantis / Teen School/College / Slice of Life
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: Atikany

Aku punya cerita nih, soal dunia ku yang banyak orang bilang sih kelam, tapi buat ku malah keren dan penuh dengan keseruan. Aku punya circle, sebuah geng yang isinya anak-anak yahut yang terkenal jahil dan berani. Seru abis pokoknya! Mereka itu sahabat-sahabat yang selalu ada buat ngelakuin hal-hal yang bikin adrenaline kita ngacir.

Kita sering hang out bareng, kadang sampe lupa waktu. Dari yang cuma nongkrong asyik di tempat-tempat yang biasa kita tongkrongin, sampe yang agak miring kayak nyoba barang-barang yang sebenernya sih, yah, kurang direkomendasiin buat anak muda. Tapi, yah, lagi-lagi itu semua bagian dari mencari identitas dan pengalaman di masa remaja.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Atikany, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Part 18

Setelah bel berbunyi, semuanya langsung tenang dan kembali ke tempat duduk masing-masing. Aku lihat Miranda langsung ngelirik ke arahku, mukanya kelihatan benar-benar khawatir.

"Alisa, lu enggak papa?" tanyanya lembut.

"Enggak papa kok," jawabku sambil nyoba tersenyum dan ngeluarin buku dari tas.

Tiba-tiba Gilang, yang kayaknya baru balik dari kantor TU, ngomong ke semua yang di kelas, "Bu Indah enggak masuk hari ini. Dia juga enggak kasih tugas apa-apa. Jadi, selama jam ini kita bebas mau ngapain aja asal jangan ribut ya, biar gak ganggu kelas sebelah."

Begitu Gilang ngasih lampu hijau, kelas langsung rame. Kelompok-kelompok kecil mulai terbentuk. Sementara itu, geng Miranda yang kebetulan juga teman-teman dekatku, udah ngumpul di bangku kami.

"Lis, mau ikut nggak?" Davina tiba-tiba nanya, suaranya penuh semangat.

"Ikut ke mana?" tanyaku, penasaran banget sama rencana mereka.

"Udah deh, ikut aja," Caca ngomong, sambil nyengir.

"Tapi gimana keluarnya? Kan kita disuruh di kelas aja," tanyaku lagi, masih bingung dengan ide mereka.

"Udah, tenang aja," Hanum ikut menenangkan.

Tiba-tiba, Davina dan Fifin beranjak dari tempat duduk dan berjalan ke arah Gilang. Aku nggak tahu persis apa yang mereka bicarakan, tapi sesekali Gilang melirik ke arah kami, mungkin memastikan kalau semuanya masih oke. Beberapa menit kemudian, Davina dan Fifin kembali dengan senyum kemenangan.

"Yuk, kita keluar," ajak Fifin, sambil narik tanganku.

Aku masih agak ragu, tapi akhirnya aku memutuskan untuk ikut. Kami berjalan keluar dari kelas, dan meski aku denger ada yang protes, siapa lagi kalau bukan rombongan Salsa dan Diana, yang tampaknya nggak setuju dengan ide 'kabur' kita.

\~\~\~

Situasi tiba-tiba jadi super tegang. Aku yang baru pertama kali membolos rasanya campur aduk antara takut dan keren. Gak nyangka bakalan ada di pagar belakang sekolah yang terbuat dari kayu, yang ternyata gampang banget untuk dilewati.

Baru saja kami mau melewati pagar, tiba-tiba terdengar teriakan dari seorang guru.

“Kalian!” bentaknya sambil mengacungkan jari ke arah kami. Wajahnya serius banget, bikin ngeri.

"Ini gimana?" tanyaku dengan suara gemetar. Panik banget rasanya.

"Jangan takut!" kata Hanum dengan nada yang mencoba menenangkan.

“Berhenti!” teriak guru tersebut lagi.

Seharusnya, memang kita berhenti dan menghadapi akibatnya. Tapi sebelum aku sempat bereaksi lebih lanjut, tangan Miranda menarik tanganku dengan kuat. Tanpa pikir panjang, kami pun kabur meninggalkan area sekolah.

Guru itu berusaha mengejar kami, tapi untungnya dia terdistraksi oleh kelompok lain yang juga sedang kabur dan memilih untuk mengejar mereka, yang kelihatannya lebih banyak daripada kami.

\~\~\~

Berlari melalui kebun dan akhirnya menemukan sawah terasa seperti adegan dari film petualangan. Miranda yang tampaknya sudah biasa dengan hal ini, memberikan komando.

"Sepatunya lepas, ui!" katanya dengan semangat.

"Siapppp..." teriak mereka semua dengan penuh semangat.

"Siappp..." suaraku keluar pelan, masih terbawa perasaan cemas dan kegirangan yang aneh.

Kami melepas sepatu dan kaos kaki kami, lalu masing-masing dari kami menenteng sepatunya sendiri. Miranda memimpin jalan dan aku berada di barisan ketiga. Kami berjalan melewati sawah sambil tertawa. Aku hanya ikut tertawa, meskipun dalam hati masih ada perasaan takut akan apa yang mungkin terjadi nanti.

"Kita mau ke mana?" tanyaku, penasaran dengan tujuan kami selanjutnya.

"Kita mau ke gubug itu," jawab Fifin sambil menunjuk ke sebuah gubug yang terlihat di kejauhan. Semakin dekat kami mendekati gubug itu, semakin besar gubug tersebut terlihat.

Tiba-tiba Miranda mempercepat langkahnya menjadi lari dan, mau tidak mau, kami semua ikut berlari. Sambil berlari, aku merasa sangat bebas. Aku merentangkan tangan, merasakan angin menerpa wajah dan rambutku. Salah satu tanganku sesekali menyentuh padi yang kami lalui. Sensasi sentuhan lembut dan halus dari padi itu menambah rasa bebas dalam lari kami.

Sesampainya di gubug, kami semua hampir kehabisan nafas, tapi terlihat jelas kegembiraan di wajah masing-masing dari kami. Kami duduk di tepi gubug, menarik nafas panjang, menikmati kesunyian dan keindahan alam di sekitar kami. Di sana, jauh dari sekolah dan aturan, untuk sejenak, semua masalah dan kekhawatiran seperti terlupakan.

Caca dengan wajah penasaran yang tergambar jelas menoleh ke arahku, matanya berbinar-binar seolah-olah dia baru saja menemukan teka-teki yang belum terpecahkan.

"Gimana, seru enggak Alisa?" tanyanya sambil tersenyum lebar.

Mendengar itu, aku hanya bisa ketawa kecil. "Ini lebih ke gila sih," jawabku sambil masih tertawa.

Emang sih, apa yang mereka lakukan itu di luar nalar kebanyakan orang normal. Tapi, di sinilah letak serunya. Dikelilingi teman-teman yang selalu bisa bikin suasana jadi lebih hidup, entah itu dengan candaan atau tingkah laku mereka yang kadang-kadang nyeleneh itu.

Dulu, sebelum aku benar-benar nyemplung di lingkungan ini, cara bicaraku cenderung lebih halus dan terukur. Aku tipe orang yang pilih-pilih kata, takut salah ngomong dan nyinggung perasaan orang.

Namun, seiring berjalannya waktu, aku jadi sadar kalau di sini, semua orang bebas berekspresi. Mereka ngomong apa adanya, ceplas-ceplos tanpa banyak mikir. Awalnya, sikap mereka yang terbuka dan blak-blakan itu sempat bikin aku kaget. Tapi lama-lama, aku mulai terbiasa.

Aku perhatiin, kalau aku terus-terusan ngomong dengan cara yang terlalu sopan di tengah-tengah mereka yang asyik ngobrol santai, malah jadi terasa aneh. Seperti ada dinding tipis yang memisahkan aku dengan mereka.

Maka dari itu, aku mulai pelan-pelan menyesuaikan caraku berbicara, belajar buat lebih santai, lebih apa adanya. Bukan berarti aku jadi kasar banget kayak beberapa dari mereka, tapi setidaknya aku jadi lebih bisa menyesuaikan diri.

Dan ternyata, adaptasi itu membawa perubahan yang lumayan juga. Aku jadi lebih dekat dengan mereka, lebih merasa menjadi bagian dari kelompok. Aku nggak lagi merasa canggung atau takut kalau kata-kataku akan menyinggung mereka, karena sekarang aku sudah tahu batasan-batasan dalam bergurau atau berbicara yang sudah seperti tidak tertulis di antara kami.

"Kita memang gila," Hanum bilang sambil tertawa.

Aku ikut ketawa, walau di hati ada rasa was-was yang mengintai.

Tiba-tiba aja, dari kejauhan terdengar teriakan yang bikin kami semua langsung menoleh ke arah sumber suara tersebut.

"Oi!" jerit seseorang.

Seketika, degup jantungku kayak mau copot. Panik? Jelas. Siapa yang enggak panik kalau lagi bolos sekolah terus tiba-tiba ada yang teriak kayak gitu. Otomatis, pikiran pertama yang muncul di kepala adalah kami ketahuan.

"Mereka mau nangkap kita?" tanyaku ke yang lain, suaraku nyaris nggak kedengeran karena gemetar.

Miranda, yang tampak tenang-tenang aja sambil duduk bersandar, menoleh ke arahku dan menggelengkan kepala.

"Tenang aja. Mereka bolos juga. Bahkan mereka yang ngajak kita," jawabnya santai.

Suaranya itu somehow berhasil menenangkan sebagian dari kepanikanku. Miranda emang orangnya paling bisa ngontrol situasi, sementara aku di sini bisa dibilang cukup dramatis.

Dia duduknya santai banget, kayak cowok. Lengan baju digulung, satu kaki nongkrong di atas bangku, yang membuat aku agak mikir-mikir mau tanya lebih jauh. Tapi belum sempat aku membuka mulut lagi, teriakan lain menerobos suasana.

"Sini!" teriak Fifin.

Melihat para gerombolan cowok itu berlari ke arah kami, sambil mengenteng sepatu mereka, suasana tiba-tiba jadi terasa seperti adegan di sinetron. Latar belakangnya hamparan padi yang luas dan hijau, dengan langit biru murni di atas, membuat segalanya terasa dramatis tapi juga indah pada saat yang sama.

Bayangan mereka yang lari, berpacu melawan angin, dan rambut mereka yang tergerai oleh tiupan angin, semuanya seolah terarah oleh sutradara yang tak terlihat.

1
Amelia
halo salam kenal ❤️🙏
Atika Norma Yanti: salam kenal juga ya😄
total 1 replies
Anita Jenius
5 like mendarat buatmu thor. semangat ya
Anita Jenius
seru nih mengangkat masalah pembullyan.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!