Terlambat Menyadari

“Gak sempat? Emangnya minta izin butuh waktu berapa lama? Sampai kamu gak sempat?”

“Maaf. Kirain tadi tandingnya gak akan lama terus mau cepat pulang, eh malah hujan sebelum aku sampai rumah. Di luar hujan air sama es batu, jalanan juga licin, tadi aku sempat berteduh sebentar, untungnya bawa jas hujan jadinya aku gak basah kuyup, tapi tetap sakit, es batu itu nimpukin badan aku, ditambah Ibu sekarang marah-marah.”

“Di luar hujan es batu?” Laki-laki itu mengangguk. Pandangan Ibu kembali pada Raf, sedangkan yang ditatap sedari tadi hanya diam. Ibu memaksa untuk Raf tidak pulang setelah melihat keadaan di luar tidak memungkinkan, akhirnya laki-laki itu luluh memutuskan menginap setelah meminta izin Kakek. Dia jadi teringat orang tuanya dulu yang selalu posesif dan perhatian seperti yang Ibu lakukan saat ini.

Setelah Raf setuju menginap, Ibu kembali melihat anak bungsunya. “Maafin Ibu, ya, ganteng. Ibu gak akan marah-marah lagi. Lain kali harus bilang kalau mau pergi. Sekarang ke kamar ganti baju, nanti Ibu ke sana bawa makanan.” Laki-laki itu menurut. Ibu sedari tadi tenang mengira kalau anak bungsunya ada di rumah diam di kamar.

“Ibu lihat Bapak dulu, kamu antar Raf ke kamar Dity,” titah Ibu lalu pergi.

“Ayo, Raf. Gapapa kan tidur bareng Adik aku? Sebenarnya ada kamar kosong punya Kak Tomi, bisa aja kamu tidur di situ, tapi gelap kamu kan takut gelap, ya?”

“Hmm. Kenapa bisa gelap?”

“Lampunya pecah dari kemarin belum diganti sampai sekarang.”

Laki-laki itu mengangguk setelahnya berjalan beriringan menuju kamar Dity. Dalam hati, Raf masih merasa tidak enak banyak merepotkan keluarga Melati, sekarang saja Bapak sedang sakit ditambah dia yang menginap. Keluarga ini memang baik Raf sangat beruntung bisa kenal mereka.

Pintu dibuka oleh Melati lalu mereka masuk, melihat adiknya sedang tiduran di kasur dengan mata tertutup. “Dit,” panggilnya.

Laki-laki itu membuka mata sedikit. “Apa?” jawabnya singkat. Sebenarnya dia sedang pusing efek main voli, tadi dia kena pukulan di kepala saat main.

“Raf tidur bareng kamu, ya?”

“Iya.”

Jawaban singkat Dity membuat Melati heran, tumben laki-laki itu kalem, matanya kembali menutup. Biasanya kalau diam begini itu pertanda ada yang dirasa oleh laki-laki itu. Segera Melati mengusap kening dan rambut sang adik.

“Kenapa?”

“Pusing.”

Gadis itu pergi keluar kamar setelah mengetahui apa yang Dity rasakan, dia langsung memberi tahu Ibu. Ibu serahkan tanggung jawabnya semua pada Melati untuk mengurus Dity karena Bapak juga membutuhkan Ibu saat ini.

Gadis dengan rambut diikat satu itu kembali ke kamar, membawa makan dan obat, dengan telaten dia mengurus Adiknya.

Sementara Raf, dia kagum sekali melihat pacarnya begitu perhatian sama saudara. Biasanya Adik-Kakak pada umumnya selalu berantem, tidak akur, tetapi tidak dengan Melati dan Dity, mereka saling menyayangi penuh perhatian. Raf semakin yakin bahwa Melati calon istri yang cocok untuknya. Haha, dia senyum-senyum sendiri memikirkan itu.

“Makan udah, minum obat udah, sekarang tidur, Dit. Sini biar aku pijitin mana yang pusingnya?” Dity menunjuk keningnya.

Dengan senang hati Melati memijitnya pelan sampai laki-laki itu tertidur. Hampir melupakan Raf, gadis itu akhirnya melihat sang kekasih yang hanya diam sedari tadi memerhatikan aktivitas Melati memijat adiknya.

“Ngapain liatin aku mulu? Kamu juga harus tidur udah malam. Itu sebelah Dity kosong, kamu tidur di sebelahnya gapapa kan?”

“Iya,” jawabnya singkat lalu merebahkan tubuh dan menutup mata. Jujur, dia juga merasa lelah seharian ini. Melati mengambilkan selimut untuk Raf, setelahnya dia pergi ke kamar sendiri.

Gadis itu merebahkan tubuh setelah berganti pakaian, dia juga lelah ingin tidur, baru saja menutup mata tiba-tiba ada telepon masuk, dia melihat siapa yang menghubunginya malam-malam, ternyata Sabil. Melati menatap jengah ponsel di tangannya, malas kalau harus menghadapi cewek itu.

“Ngapain telepon gue malam-malam, ganggu banget, sih! Mau apa lagi? Lo udah kalah, rencana lo gak akan bisa buat gue pisah sama Raf!”

Sambungan telepon langsung Melati putuskan tidak membiarkan Sabil berucap satu kata pun, dia sudah muak tidak ingin berurusan dengan orang seperti itu.

Bab selanjutnya pasti seru