Terlambat Menyadari

Terlambat Menyadari

Siapa yang Jahil?

Melati Mawarni punya tiga orang sahabat semuanya cewek, gak punya sahabat laki-laki. Kenal yang namanya laki-laki? Pastinya kenal, hanya sebatas teman sekelas. Sangat jarang sekali berinteraksi dengan laki-laki, kebanyakan bermain sama cewek lagi. Eh, tapi jangan berpikir yang tidak-tidak. Melati normal kok, dia pernah mencintai seorang laki-laki, tapi tidak pernah mengungkapkannya, hanya dipendam sendiri, tetapi itu dulu, sekarang dia sudah punya pacar loh.

Melati terlahir dikeluarga sederhana. Dia anak kedua dari 3 bersaudara. Anak perempuan satu-satunya. Si sulung bernama Setriawan Tomi cukup panggil saja Kak Tomi. Orangnya baik banget, perhatian. Kak Tomi tidak tinggal di rumah. Sebab sudah menikah dan memilih pisah rumah dan hidup bersama istrinya. Kak Tomi belum di beri anak padahal sudah dua tahun jalan pernikahannya.

Adiknya bernama Dityan Niar, panggil dia Dity, si paling recok banyak omong jahil pula. Duduk di kelas sebelas SMA. Sedangkan Melati kelas dua belas, hanya beda satu tahun. Sifat keduanya berdeda jauh, Dity itu gak bisa diam, gampang berbaur dengan banyak orang, asik di ajak ngobrol. Kalau Melati itu kebalikannya, terlalu menutup diri, tidak mau orang lain tahu tentang dirinya. Tapi, jangan salah, jika bersama sahabatnya Melati tidak terlalu menutup diri, terbuka sedikit, hanya sedikit. Itu pun karena teman-temannya yang terlalu aktif.

Nisa Putri sahabat pertama, cukup dipanggil Neng. Sahabat paling baik, hidupnya sederhana, teman yang paling bisa membuat Melati lupa diri, membuatnya tertawa, dan kadang menjadi teman cekcoknya.

Yang kedua Sabil Neova si paling cantik, suka berias, mempercantik diri adalah kesenangannya, kadang Melati suka bosan kalau bertemu dengannya. Sabil orangnya banyak omong, keras kepala, apa saja yang diinginkannya harus dituruti tidak bisa dibantah. Contohnya kalau sedang kumpul, wajah Melati yang menjadi sasarannya karena Sabil memaksa buat mendandani Melati.

Terakhir Monika sifany cukup dipanggil Emon. Dia itu berwajah kalem, tapi aslinya gak kalem banget, jahilnya minta ampun. Omongannya pedes banget, dia kalau ngomong gak tanggung-tanggung, sampai membuat orang sakit hati. Melati juga pernah merasakannya, sampai nangis cuma gara-gara satu kalimat yang keluar dari mulut Emon.

Mereka berempat sahabatan sejak kecil. Banyak sekali kenangan yang terjalin selama kurang lebih 9 tahun. Lulus SMP mereka berpisah, melanjutkan sekolahnya masing-masing. Mempunyai cita-cita yang berbeda, ingin meraih kesuksesan dimasa mendatang. Saat itu komunikasi mulai renggang. Melati dan Sabil sekolah di SMA yang berbeda, tetapi mengambil jurusan yang sama, IPA. Itulah yang membuat mereka menjadi renggang tidak sedekat dulu.

Kebetulan Neng dan Emon punya cita-cita yang sama, Pengusaha. Mereka sekolah di tempat yang sama satu kelas pula, persahabatannya terus terjalin hingga saat ini. Suatu ketika mereka main berempat di rumah Sabil. Kumpul bersama kembali setelah sekian lama tidak bertemu hampir dua tahun. Semuanya terlihat gembira, tidak dengan Melati. Wajahnya datar saja, bukannya ia gak bahagia bertemu sahabat, tapi dia terlalu malu untuk mengekspresikan kebahagiaannya.

Jujur dalam lubuk hatinya, Melati ingin sekali memeluk sahabatnya duluan dan menceritakan semua tentang hidupnya, tertawa bersama adalah hal yang paling menyenangkan, tetapi dia gak bisa. Melati tidak percaya pada orang lain, lebih suka memendamnya sendiri. Rumah Sabil sangat sepi, orang tuanya sedang pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan.

Sabil hanya tinggal seorang diri di rumah yang besar. Beranian dia sendiri di rumah. Mungkin itu yang ada di pikiran Melati. Gadis itu datang terlambat ketiga temannya sudah ada sejak tadi.

“Mel. Lama banget, sih!”

Melati hanya tersenyum sedikit. “Maaf.” Itulah yang mereka suka dari Melati, mudah sekali mengucapkan maaf. Gak pernah banyak protes yang jelas dia sangat kalem.

Sementara Sabil, dia sibuk main ponsel, tangannya dengan lincah mengotak-atik telepon genggam miliknya.

“HEY! Jangan main hp mulu! Ngapain ngajak main?!”

Sabil yang semula pegang hp langsung mematikan dan menyimpannya. Gawat kalau si Neng sudah ngomong dengan nada tinggi, bisa-bisa habis dia dinasehati. Neng itu emang mempunyai sosok tegas, bisa dikatakan yang paling galak diantara mereka berempat.

“Ayo, ah, nonton.”

Emon bicara seolah mencairkan suasana yang semulanya hening. Dia membuka laptopnya kemudian mematikan lampu kamar, suasana gelap seketika.

“Yakin, nih? Mau nonton film horor?”

“Iyalah.”

“Eh, eh. Mending lampunya jangan dimatiin, deh.”

Neng yang sedari tadi diam akhirnya bicara. Dia merasa takut, belum juga dimulai filmnya. Tampang saja galak, nyeremin, sampai Sabil takluk, tetapi sama hantu takut.

“Gak serulah, kalau dinyalain, gimana, sih. Gak usah takut, Neng. Gak akan ada apa-apa.”

“Oke, deh. Terserah kalian.” Akhirnya gadis itu pasrah. Dia menonton film dengan sesekali menutup matanya ketika hantunya muncul, nyatanya dia itu penakut.

Sementara Melati, dia menyimak film sedari tadi tanpa rasa takut, tetapi dari tadi dia merasa aneh, merasa punggungnya dingin, seperti ada sekilas angin menghantam padahal di dalam ruangan, lagi pula kamar ini tidak ada kipas. Melati tetap tenang, seolah tak ada apa-apa.

Detik berikutnya sebuah tangan menepuk pundak Melati pelan. Kaget? Tentu. Melati sangat terkejut, tapi dia tetap tenang. Namun, detik berikutnya terjadi lagi, lantas Melati menoleh, memastikan siapa itu.

Gak ada siapa pun di sana. Ia melirik teman-temannya, kebetulan Emon si paling jahil duduk di sebelahnya. Melati menyangka Emon lah yang jahil. Menit berikutnya, pundaknya ditepuk lagi, dengan kesal gadis itu menepuk paha Emon dengan sangat keras.

“ANJING! Goblok lo apaan sih?! Aw. Sakit.”

“Lo yang apaan?! Ngapain colek-colek pundak gue? Gak usah jahil, deh, TEMON!”

“Loh, kok, nyalahin gue? Jangan asal nuduh.”

“Terus siapa?”

Sabil yang sedari tadi diam ikut bicara.

“Udahlah. Gak usah di ributin, kalian kan udah tau, kamar ini emang agak angker ada penunggunya.”

“Iya bener gue lupa. Udah lama, sih, gak ke sini.” Setelah mengucapkan itu Emon menggandeng tasnya bersiap pulang, tangannya sudah gemeteran dan cemas.

“Tuh kan, apa kata gue. Lampunya jangan dimatiin. Ayo, ah, pulang.”

Emon, Neng. Mereka pulang duluan, dengan tergesa-gesa. Sementara Melati, dia malah menatap lekat wajah Sabil, seperti tidak percaya dengan kejadian tadi, tetapi dia sendiri juga merasakannya. Memang benar, dulu Sabil pernah cerita. Bahwa rumahnya ini bekas pabrik sabun yang bangkrut, lama gak di huni. Setelah sekian lama, akhirnya memutuskan untuk dibuat rumah.

Kebetulan kamar punya Sabil, dulunya itu sumur. Konon katanya pernah ada pegawai yang jatuh dan mati di sana. Makanya sampai sekarang kamar itu, suasananya lembab dan agak dingin, apalagi di malam hari.

Beberapa menit kemudian, Melati memutuskan pulang, dalam benaknya terus bertanya-tanya. Kenapa tidak pindah rumah saja? Terus kenapa dia seberani itu, tinggal sendiri di rumah? Melati terus kepikiran apakah Sabil akan baik-baik saja di sini? Oke. Daripada dia merasa cemas sendiri. Akhirnya bertanya, sebelum benar-benar pulang.

“Bil. Yakin berani sendiri di sini?”

“Iya, udah biasa kok. Kamu kapan pulangnya, sih?! Lama banget!”

Terpopuler

Comments

Amelia

Amelia

sahabat nya paket komplit ❤️❤️❤️

2024-04-17

1

Aidha Dhum

Aidha Dhum

Keren kak🤗😍 jangan lupa mampir karyaku juga, mohon suportnya untuk penulis baru ini🙏🥰

2024-04-08

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!