Indira mengagumi Revan bukan hanya karena cinta, tetapi karena kehormatannya. Revan, yang kini memeluk Kristen setelah melewati krisis identitas agama, memperlakukan Indira dengan kehangatan yang tak pernah melampaui batas—ia tahu persis di mana laki-laki tidak boleh menyentuh wanita.
Namun, kelembutan itu justru menusuk hati Indira.
"Untukku, 'agamamu adalah agamamu.' Aku tidak akan mengambilmu dari Tuhan-mu," ujar Revan suatu malam, yang di mata Indira adalah kasih yang dewasa dan ironis. Lalu ia berbisik, seolah mengukir takdir mereka: "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku."
Kalimat itu, yang diambil dari Kitab Suci milik Indira sendiri, adalah janji suci sekaligus belati. Cinta mereka berdiri tegak di atas dua pilar keyakinan yang berbeda. Revan telah menemukan kedamaiannya, tetapi Indira justru terombang-ambing, dihadapkan pada i
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sidang Penegasan Iman
Pagi setelah pelanggaran itu, aku terbangun dengan sensasi dingin di perutku. Malam itu, Bunda menemaniku tidur. Ia tidak memarahiku, tetapi air mata yang membasahi bantalnya lebih menghukum daripada seribu kata-kata marah. Aku tahu, aku telah menghancurkan bukan hanya kepercayaan Ayah, tetapi juga kedamaian hati Bunda.
Minggu pagi, suasana di rumah kami terasa asing, diselimuti keheningan yang mencekik. Setelah Sholat Subuh berjamaah, Ayahku, tetap duduk di sajadah. Posturnya tegak, tetapi bahunya tampak lebih berat. Beliau menungguku. Bunda, Tante Fatma, yang sudah tahu bahwa sidang penegasan iman akan terjadi, hanya menatapku dengan tatapan memohon agar aku tidak melawan dan memperkeruh keadaan.
"Duduk, Indira," perintah Ayah, suaranya tenang, namun mengandung resonansi yang mematikan.
Aku duduk bersimpuh, lututku gemetar di atas sajadah. Aku tahu tidak ada jalan keluar dari sidang kali ini.
"Kemarin sore, kamu melanggar larangan Ayah. Kamu mengunjungi rumah Revan Elias Nugraha," Ayah memulai, tidak lagi bertanya, melainkan menegaskan fakta pelanggaranku.
"Ayah tahu dari Bunda Neli, setelah Bunda Neli menelepon Ayah kembali karena Bunda Neli merasa bersalah. Neli adalah anak yang jujur, Nak. Dia hanya tidak mau ikut menanggung dosa kebohonganmu."
Rasa bersalah menghantamku. Aku tidak hanya berbohong, tetapi aku telah menyeret sahabatku ke dalam kebohongan.
"Maaf, Yah," bisikku, suaraku tersangkut di tenggorokan. "Aku hanya ingin menemui Mami. Aku sudah berjanji, dan Mami sangat baik padaku."
"Kebaikan yang salah tempat, Indira," potong Ayah, matanya menatap tajam, mencari jawaban di mataku. "Ayah telah melarang karena tahu risiko. Ayah tahu bahwa perasaan tidak bisa dikendalikan logika, apalagi iman. Kamu melanggar, bukan karena kamu tidak tahu hukumnya, tetapi karena kamu membiarkan perasaanmu mengambil alih akal sehatmu."
Ayah menarik napas dalam, memejamkan mata sebentar, seolah mengumpulkan kekuatan.
"Nak, keberadaanmu di sana, di rumah yang tidak lagi sejalan dengan akidahmu, di samping laki-laki yang jalannya sudah berbeda, itu adalah pembenaran bagi cinta yang dilarang. Ayah melihat ini bukan lagi sebagai persahabatan. Ini adalah pengkhianatan terhadap akal sehat dan prinsip keimananmu."
Aku mencoba membela diri. "Aku tahu, Yah. Tapi Revan sangat menghormati ku. Dia tidak pernah menyentuhku. Dia "
"Tutup! Hormatnya dia adalah ujian terberat mu, Indira!" bentak Ayah, suaranya meninggi untuk pertama kalinya. Ia segera meredam nadanya, menyadari kehadiran Bunda yang mulai terisak. "Nak, batasan fisik itu hanya kulit luar. Garis Batas Keyakinan-mu ada di sini." Ayah menunjuk dadaku. "Dan garis itu sudah mulai goyah karena kamu membiarkan cinta duniawimu lebih besar dari imanmu."
Ayah menatapku dengan kesedihan yang mendalam. "Ayah hanya punya satu cara untuk menghentikan mu. Demi keselamatan spiritual mu, Ayah tidak bisa membiarkan kamu melayang di antara dua tiang yang berbeda. Kamu harus memilih. Ayah hanya punya satu permintaan, jika kamu memang mencintai Tuhanmu dan menghormati keluarga ini."
Ayah mencondongkan tubuhnya ke depan, tatapannya memohon sekaligus memerintah. "Ayah minta, putuskan semua komunikasi dengan Revan. Hari ini. Saat ini juga."
Vonis itu membuat napasku tercekat. Aku bisa menerima larangan berkunjung, tapi memutuskan Revan? Mencabut akar cinta yang sudah tertanam delapan tahun?
"Ayah... aku tidak bisa," bisikku, air mata mulai mengalir deras, membasahi mukena. "Aku tidak bisa mencabut perasaanku begitu saja. Itu tidak adil."
"Adil bagi Tuhanmu, Nak. Kamu bisa. Keyakinan kita jauh lebih kuat dari perasaan. Jika kamu tidak bisa, maka Ayah akan membantu."
Ayah meraih ponselku yang terletak di samping sajadah. Aku refleks ingin menahannya, tetapi Ayah memegang tanganku erat. Matanya menatapku, memancarkan rasa sakit yang sama besarnya dengan yang kurasakan.
"Maafkan Ayah, Nak. Tapi Ayah harus menjadi tembok di antara kamu dan kesesatan. Ayah harus menjadi penjaga di Garis Batas ini."
Ayah mengambil ponselku. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Ayah membuka aplikasi pesan, dan mencari nama Revan. Dalam keheningan yang menyakitkan, Ayah mengetik pesan terakhir yang paling mematikan bagi hubungan kami.
Kepada Revan Elias Nugraha:
Om Bimo (Ayah Indira): Revan. Om yang kirim pesan ini. Om harap kamu mengerti. Kamu anak yang baik, tapi jalanmu dan jalan Indira sudah berbeda. Om melihat hubungan kalian sudah mengarah ke hal yang tidak Om restui dan dilarang agama kami. Om minta kamu menjauhi Indira. Jangan hubungi dia lagi, jangan temui dia lagi. Jangan hancurkan masa depan anak Om hanya karena perasaan yang tidak punya masa depan. Hapus semua kontak Indira. Tolong hormati keputusan ini, demi kebaikan kalian berdua.
Setelah Ayah menekan tombol kirim, ia menghapus semua pesan dan panggilan dariku di ponselnya, lalu mematikan ponselku sepenuhnya.
"Ponselmu akan Ayah pegang selama beberapa waktu. Kamu tidak akan berhubungan lagi dengannya," kata Ayah, menyimpan ponselku di saku bajunya.
Aku menangis histeris. Keputusanku untuk menemui Mami hanya berujung pada hilangnya komunikasi total dengan Revan. Garis Batas Keyakinan kini tidak hanya memisahkan kami, tetapi juga memutus jembatan yang selama ini kami bangun.
"Aku benci kamu, Yah!" teriakku, kata-kata yang langsung kusesali setelah ku ucapkan. Suaraku tercekat oleh air mata dan kemarahan.
Ayah hanya menatapku dengan mata yang penuh penyesalan. "Ayah tahu, Nak. Tapi suatu saat nanti, kamu akan berterima kasih pada Ayah karena sudah menyelamatkanmu dari cinta yang salah."
Bunda Fatma segera memelukku. Tangisan Bunda kini lebih histeris dariku. "Bunda tidak mau kamu sakit, Nak. Bunda tidak mau kamu kehilangan imanmu. Maafkan kami, Sayang. Kami melakukan ini karena kami mencintaimu."
Aku terisak di pelukan Bunda. Sidang telah selesai. Ponselku direbut. Dan aku, telah diputus secara paksa dari Revan Elias Nugraha, karena Ayahku memutuskan untuk menjadi tembok terakhir di Garis Batas Keyakinan kami. Aku tahu, hari-hari ke depan akan menjadi neraka tanpa kabar darinya.