“Sekarang, angkat kakimu dari rumah ini! Bawa juga bayi perempuanmu yang tidak berguna itu!”
Diusir dari rumah suaminya, terlunta-lunta di tengah malam yang dingin, membuat Sulastri berakhir di rumah Petter Van Beek, Tuan Londo yang terkenal kejam.
Namun, keberadaanya di rumah Petter menimbulkan fitnah di kalangan penduduk desa. Ia di cap sebagai gundik.
Mampukah Sulastri menepis segala tuduhan penduduk desa, dan mengungkap siapa gundik sebenarnya? Berhasilkah dia menjadi tengkulak dan membalas dendam pada mantan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sulastri 14
Lewat tengah hari, Petter dan Sulastri sampai di rumah sederhana yang sudah satu minggu wanita itu tempati. Di teras depan, Mbok Sum menyambut sembari menggendong Anne.
Wanita sepuh itu tersenyum hangat saat melihat dua orang yang seperti pasangan suami istri bersamaan turun dari mobil.
“Cuci kaki dan tangan kalian dulu kemudian panggang di pawonan (perapian di dapur),” ujar Mbok Sum saat Sulastri dengan tidak sabar ingin melihat sang putri.
Sulastri mengernyitkan dahi, tatapannya sedikit bingung. “Anne ‘kan sudah lewat dua bulan, Mbok. Apa masih harus mepeng geni?” (Meletakkan kaki di depan perapian sebagai simbolis pembersihan dari energi jahat)
“Sawan itu tidak mandang umur, terutama bayi. Kalian itu ‘kan baru dari kota, banyak penyakit tidak terlihat,” sahut Mbok Sum kemudian menyusul masuk ke dalam rumah.
Senyum bahagia terulas di wajah keriputnya saat melihat Petter menimbakan air untuk Sulastri, tatapannya berbinar penuh harap. “Heh, andai mereka benar-benar pasangan suami istri.”
Sulastri yang sudah lebih dulu menyelesaikan mepeng geni lekas menghampiri Mbok Sum dan Anne, diciuminya pipi gembul sang putri yang sudah berpindah ke gendongannya hingga bayi mungil itu mengulet kecil.
“Rewel tidak, Mbok?” tanyanya kemudian.
“Tidak, hanya tadi nangis sebentar waktu mau tidur,” jawab Mbok sum. “Meneer mau saya buatkan teh dulu?” lanjutnya saat melihat Petter keluar dari dapur.
“Tidak usah, Mbok. aku mau langsung melihat panenan di lapak,” jawab Petter.
Laki-laki itu kemudian berjalan keluar diikuti Mbok Sum dan Sulastri. Petter menatap sekeliling sekilas, sebelum menghampiri Anne yang berada di gendongan, kemudian mencium pipi bayi mungil itu.
Mbok Sum menatap heran sikap Petter yang tiba-tiba, ia kemudian tersenyum samar. “Awas jangan salah ibunya yang dicium,” godanya membuat wajah Sulastri memerah seketika.
Petter menatap lembut Anne yang tertidur pulas, bibirnya bergumam pelan. “Cepat bawa masuk dan kunci pintunya.”
Sulastri mengernyitkan dahi, sedikit tidak mengerti dengan maksud Petter. Ia hanya mengangguk kecil sembari menimang Anne yang sedikit terusik.
“Jangan lupa kunci pintunya, Mbok,” ulang Petter sembari berlari kecil menuju pickupnya.
Mbok Sum masih berdiri di teras saat mobil Petter sudah menghilang di ujung gang, sedang Sulastri sudah lebih dulu masuk berniat menyusui Anne yang mulai merengek. Namun, niatnya terhenti saat melihat Mbok Sum masuk ke dalam rumah dengan terhuyung.
Sulastri membeliak—terkejut bercampur takut saat melihat seseorang yang berjalan di belakang Mbok Sum. Ia seketika berdiri sembari mendekap Anne yang semakin gelisah.
“K-kangmas?” gumamnya pelan.
“Jadi di sini kamu bersembunyi, dasar perempuan tidak tau diri!” hardik Kartijo.
Saat baru saja menginjakkan kaki di kedai tuak, Kartijo tak sengaja melihat Sulastri berada di satu mobil bersama Petter, ia pun memutuskan untuk membuntuti keduanya, dan berakhirlah dia mengintai sampai Petter pergi dari rumah itu.
Dengan hati yang memanas, Kartijo menerobos masuk sembari mendorong tubuh renta Mbok Sum hingga wanita sepuh itu nyaris jatuh tersungkur.
Kartijo melangkah mendekat, rautnya murka. “Aku tidak menyangka, aku pikir kau perempuan polos, ternyata … kau lebih murah dari seorang gundik kelas bawah!”
Sulastri mundur dua langkah, tatapannya berubah waspada saat Kartijo mendekat dengan napas menggebu. “Jaga bicaramu, aku tidak se—”
“Tidak apa?!” sela Kartijo. “Kau masih menyangkal setelah semua yang aku liat sekarang!”
Sulastri menyeringai tipis, ia berniat memberikan Anne pada Mbok Sum yang berdiri gemetar di belakangnya. Namun, tiba-tiba lengannya ditarik paksa oleh Kartijo hingga nyaris terjatuh.
“Berikan anak itu, aku tidak sudi anakku tinggal bersama wanita rendah sepertimu!”
Sulastri sekuat tenaga menepis tangan Kartijo, tatapannya nyalang. “Anakmu? Bukankah kau sendiri yang menolak kehadirannya?!” sahutnya sembari beringsut ke sudut ruangan.
Kartijo menelan ludah kasar, ia membuang muka sejenak, lalu kembali menatap tajam. “Aku memang membuangnya, tapi bukan berarti aku rela anakku hidup bersama gundik Londo sepertimu!”
Sulastri tertawa remeh, matanya menyipit. “Kau bilang tidak rela dia tinggal bersama gundik, tapi kau sendiri membawa gundik masuk ke rumahmu, bahkan rela mengusir istrimu sendiri!”
“Itu karena kau bodoh! Tidak bisa melahirkan anak laki-laki sebagai penerus punjer!”
“Lalu kenapa kau mengusik aku dan anakku jika itu yang kau inginkan?! Bukankah kau sudah mendapatkannya dari gundik itu!”
“Kau—”
“Jadi ini ayam jantan yang beraninya dengan burung gereja?” sahut Petter dari ambang pintu.
Kartijo membeku sejenak, matanya terkesiap melihat Petter tiba-tiba datang, darahnya mendidih, napasnya tersengal—menahan amarah yang nyaris pecah.
“Londo Bajingan!” hardiknya, dengan suara lantang.
Petter menatap tajam, seraya tersenyum miring. “Aku pikir kau cukup berani menghadapiku, rupanya kau benar-benar seorang pengecut!”
Dengan langkah tenang, Petter berjalan menghampiri Anne dan Sulastri di sudut ruangan. Laki-laki itu membelai lembut pipi bayi mungil yang mulai menangis.
“Bawa Anne ke kamar,” titahnya pelan.
Sulastri mengangguk, lalu bergegas meninggalkan ruangan itu. Namun, langkahnya terhenti oleh sergahan Kartijo.
“Berhenti! Ikut pulang denganku sekarang!”
Petter tertawa sumbang, “Kau sudah membuangnya, Lafaard(pengecut)!” seringainya tampak menyeramkan.
Kartijo sedikit menciut, tapi ia masih menatap remeh. “Apa Londo sepertimu memang suka barang bekasan?”
Petter berdiri tegak, tatapannya tenang — tapi mampu mengintimidasi. “Aku sebenarnya tidak suka memungut sampah di pinggir jalan, tapi malam itu, aku menemukan batu permata, jadi apa salahnya membawa pulang dan merawatnya.”
“Banyak omong!”
BUGH!
Kartijo tiba-tiba menghantam wajah Petter, membuat laki-laki itu tersungkur seketika. Petter lekas berdiri, menyeka pelan ujung bibirnya yang pecah.
“Hanya segini kekuatan tanganmu?” tantangnya.
Kartijo melangkah cepat, ia mencekal kerah kemeja Petter, wajahnya menegang, matanya menyala — mendidih, emosi. “Berani sekali kau menantangku?!”
Petter menatap sengit, rahangnya mengeras tangannya terulur ke belakang melindungi Sulastri dan Anne yang berdiri di belakang punggungnya.
“Cepat masuk ke kamar!” titahnya lagi.
“T-tapi, Me—”
“Masuk ke kamar!” tekan Petter dengan suara berat.
“Berhenti! Apa kau lebih menurut pada Londo bajingan ini ketimbang suamimu?!”
Sulastri membeku dengan wajah pucat pasi, Bentakan Kartijo, juga tatapan tajam Petter — membuatnya nyaris tak bisa bergerak hingga tangisan Anne menyadarkannya.
Wanita itu bergegas membawa Anne masuk, tidak diindahkannya teriakan Kartijo yang memanggil namanya dengan penuh amarah.
“Lastri!”
Memanfaatkan kelengahan Kartijo, Petter berbalik mencengkram lengan laki-laki itu, kemudian mendorongnya hingga membentur dinding, keras.
Belum sempat Kartijo memberikan perlawanan, Petter lebih dulu memiting laki-laki itu. Satu tangannya menahan lengan Kartijo di belakang, tangan sebelahnya di kalungkan di leher.
“Dengar Pengecut, jangan ganggu Sulastri dan putrinya, kalau kau tak ingin lahan pertanian serta lapakmu aku ratakan!” ancamnya, suaranya menajam, tatapannya bengis sembari menekan kuat leher Kartijo.
Kartijo memukul pelan lengan Petter, wajahnya memerah, napasnya nyaris putus—tercekik.
Petter yang hampir kehilangan akal seketika tersadar saat Mbok Sum menahannya dengan suara bergetar. Laki-laki itu kemudian melepaskan Kartijo dengan kasar.
Kartijo terbatuk sembari memegang lehernya, dengan sedikit terhuyung dia berdiri, tangannya menunjuk wajah Petter dengan angkuh.
“Aku akan membuat perhitungan denganmu, Bajingan!” umpatnya, lalu beranjak pergi.
Kartijo berjalan sempoyongan, hingga menabrak beberapa pot bunga di halaman. Suara mobilnya terdengar meraung keras saat meninggalkan rumah Sulastri.
Petter mengusap wajah kasar, kemudian merapikan kerah bajunya. Laki-laki itu lekas masuk ke kamar saat mendengar Anne yang masih menangis histeris. Dengan lembut ia mengambil Anne dari pangkuan Sulastri.
“Noni cilik terkejut, ya, maafkan Mijnheer Petter,”( sama dengan panggilan tuan)ucapnya pelan, sembari menimang Anne dipelukannya.
Bayi mungil itu perlahan mulai tenang, bersamaan dengan Mbok Sum yang datang membawa dua gelas air hangat.
“Minum dulu, Nduk,” tawarnya.
“Terimakasih, Mbok.”
Petter menatap sendu wajah Sulastri yang sembab, lalu menghela napas berat, suaranya datar, pelan— takut mengganggu Anne.
“Bereskan pakaian kalian, malam ini menginap di rumahku.”
“T-tapi—”
“Jangan membantah!”
Bersambung.
Kartijo Suseno