Dewangga tidak menyangka, perselingkuhan yang akan dia akhiri justru telah terendus oleh sang istri, Maira.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Betti Cahaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ayo pisah!
"Jangan pergi, aku mohon! Beri lelaki bodoh ini satu kesempatan untuk hidup dengan layak di matamu!"
Isak Bang Dewa bisa kurasakan, aku pun terkejut dengan sisi Bang Dewa yang terlihat begitu hancur. Apa yang dia mainkan? Perasaanku? Takdirku? Masa depan anak-anak?
"Aku nyesel, May, aku nyesel!" ucapnya lagi sambil berlutut memelukku.
"Mas ... lepas, ada Sila, jangan bikin dia risih," ucapku dengan menggoyangkan kaki berusaha melepasnya.
"Iya ih, kalian bikin aku baper aja!" sambung Sila.
"Jangankan Sila, di depan seluruh dunia juga papah bakal tetep berlutut, minta ampun ke Mamah, biar seluruh dunia itu tau, aku suami bodoh yang udah sia-siain istrinya, sekarang udah nyesel dan bersumpah buat berubah!" seru Bang Dewa dengan keras dengan kalimat yang kurasa kurang padu.
Aku melirik Sila dengan sedikit tidak enak hati, sementara Bang Dewa mengunci kakiku erat. Pose yang memalukan, mungkin jika hal ini Bang Dewa lakukan bertahun-tahun lalu aku akan terharu. Terlambat.
"Ehm ... aku pulang aja deh, nanti telpon ya May." Sila berlalu begitu saja.
"Sila ... jangan pergi, Cesilia ...!"
Sila hanya melambaikan tangannya padaku tanpa berniat menghentikan langkahnya.
"Bangun!" seruku kesal.
"Maafin papah dulu, papah nggak mau kehilangan Mamah!" ucapnya terdengar sangat menggelikan.
"Apa yang sedang coba kamu lakuin sekarang nggak akan memperbaiki apa pun!" ucapku padanya.
Bang Dewa akhirnya bangun, bukannya menjauh dia justru kembali mengunciku, Bang Dewa memelukku.
"Mah ... maaf, papah nggak menyadari semua penderitaan Mamah selama ini, papah nggak bisa maafin diri papah sendiri kalau sampe Mamah pergi, kasih papah kesempatan buat menebus semua kesalahan papah!" ucapnya.
Pelukan yang dulu terasa hangat, pelukan yang dulu pernah menjadi milikku saja, tempat ternyaman dari seluruh sudut dunia ini. Aku pernah bahagia dan merasa melayang di sini, tempat kupercayakan seluruh hati, jiwa, dan masa depanku.
Sejak tubuhnya menjadi bekas wanita lain, pelukan ini terasa seperti pisau, yang menusukku sangat dalam dan saat aku memberontak pisau itu justru menancap semakin dalam. Seperti racun yang meluluh lantakan semua harapan. Membuatnya hancur lebur menjadi debu.
Aku pernah sangat mencintainya, dan perlahan cinta ini berubah menjadi benci karena terkhianati. Aku pernah sangat takut jika harus hidup tanpanya, hingga guncangan yang dahsyat malah membuatku nyaman jika Bang Dewa tidak ada di sekitarku.
Tak pernah sekali pun kutinggalkan namanya dalam setiap doa, hingga sekarang aku hanya berdoa untuk dijauhkan. Aku sangat percaya kalau aku dan dia tidak akan berpisah, Tuhan cemburu karena rasa cintaku terlampau besar hingga dipatahkan semua.
Sakit. Sangat sakit. Sembilu yang Bang Dewa tancapkan, penderitaan di setiap malam yang membuatku kedinginan, setitik racun yang membuat hatiku perlahan hancur digerogoti dari dalam.
Apa yang kurang dariku? Cih ... aku tidak kurang, Bang Dewalah yang rakus.
"Lepas!" ucapku, Bang Dewa justru semakin erat memelukku.
"Ayo kita mulai dari awal lagi, Mah, kita perbaiki semua!" ajaknya.
"Kita?" cebikku.
"Kalau emang kamu butuh waktu untuk bisa menerima perpisahan ini, aku akan kasih!" tawarku padanya.
"Kamu mau bicara, bukan? Ayo bicara dengan baik, tanpa ibu, Sila, hanya kita berdua!" ajakku padanya.
Harus kukumpulkan banyak sekali kekuatan untuk bicara pada Bang Dewa, sejatinya aku sudah lelah dan rasa sakit yang harus kutepis tidaklah sedikit. Aku sangat paham, bicara kami akan sia-sia, malah terkadang bisa membuatku semakin merasa sakit.
Apa yang melukaiku? Banyangan dirinya telanjang dengan perempuan lain sangat membunuhku. Di waktu lain dia akan memaksaku melayaninya, sentuhan yang harusnya penuh cinta justru membuatku merasa jijik dan sangat terluka. Namun berbeda dengan Bang Dewa, membuatku terluka kemudian memaksaku memaafkannya diranjang seolah menjadi candu.
Aku memang istrinya, tubuhku pun haknya, tapi aku tidak rela disentuh dengan tangan yang sudah menyentuh tubuh haram perempuan lain.
Tetapi Bang Dewa tidak pernah menganggap luka-lukaku sebagai cedera, dia menganggap semuanya kembali baik setelah aktifitas ranjang kami selesai. Entah harus bagaimana aku mengikhlaskan runtutan peristiwa-peristiwa itu.
Bang Dewa melepaskan pelukannya padaku, bahasa tubuh yang selalu dia gunakan untuk memaksa. Aku langsung mundur beberapa langkah mencegah terkaman mendadak dari Bang Dewa.
Melihatnya merengek setelah melakukan dosa besar membuatku sangat muak. Mendebatnya akan menjadi hal yang percuma, hanya lelah dan lelah. Aku ingin lari sejauh yang kubisa, namun urung kulakukan mengingat ada anak-anak yang butuh diriku.
Aku duduk di kursi bekas Sila, sementara Bang Dewa mengikuti duduk di kursiku tadi. Dia tampak sibuk menyeka air matanya, air mata apa itu? Menjij*kan.
"Dengar ... aku nggak akan menjadi jahat, aku akan tutupi masalah ini sampai kapan pun dari anak-anakmu, akan kupastikan mereka nggak tahu penyebab orang tuanya berpisah sampai nanti mereka cukup dewasa untuk ngerti," tuturku mencoba membuka diskusi yang sehat.
"Walaupun berpisah, aku janji kamu tetep bisa ketemu anak-anak kapan pun kamu mau," lanjutku.
"Enggak, Mah, enggak!" tolaknya mentah-mentah.
"Kita lagi diskusi harus bagaimana Mamah maafin papah, bukan pisah!" jelasnya.
Mendengar jawaban Bang Dewa membuat akal sehatku patah. Aku memilih diam dari pada harus bicara dengan orang yang sudah salah tapi tidak mau menerima akibatnya. Harusnya Bang Dewa sadar, keinginanku untuk lari darinya adalah akibat dari perbuatannya.
Kusandarkan punggungku ke kursi, melipat tangan, dan mendengus kesal. Apa isi pikiran Bang Dewa? Kenapa dia begitu egois?
"Aku yakin kamu bukan orang yang bodoh, jadi ... tolong mengerti selagi aku masih cukup waras untuk memikirkan kebaikan anak-anak dan juga kebaikanmu!" ucapku berharap akal sehat Bang Dewa terbuka.
"Mah ... papah akui semua kesalahan papah!" ucapnya.
"Berhenti mengaku! Aku nggak butuh, dan ... ayo lupakan panggilan mamah-papah, aku nggak nyaman!" Bang Dewa terlihat berpikir mendengar kalimatku.
"Okey ... jadi, papah .. ehm, aku harus bagaimana biar Mam-- ehm, biar kamu maafin aku?" tanya Bang Dewa berusaha menata ulang kalimatnya.
"Aku maafin kamu, tapi aku nggak mau jatuh di lubang yang sama ... aku capek, aku mau pisah, titik."
Bang Dewa menatapku dengan kecewa, tapi dia harus tahu kalau kekecewaanku telah jauh lebih besar darinya. Apa pun yang sedang berkecamuk di hatinya, masih belum apa-apa dibanding kehancuran yang sudah terjadi padaku. Mental, cinta, hati, hidup, kepercayaan, dan seluruh sisi kehidupanku yang luluh lantak karena perbuatannya yang terus berulang.
Dulu ... aku sempat ingin membalas rasa sakit ini, semua yang kulakukan bertujuan untuk membuat Bang Dewa menyesal telah mengkhianatiku. Tetapi balas dendam bukan sesuatu hal yang akan menguntungkanku, aku harus bahagia dengan melepaskannya. Menyesal atau tidaknya Bang Dewa bukan urusanku. Aku hanya ingin lepas.
Sepertinya aku akan kembali diam sampai nanti akhirnya Bang Dewa menyerah dan menceraikanku, kita lihat saja, sampai mana kesungguhannya. Aku punya banyak waktu untuk bermain dengannya.
"May ... apa yang membuatmu keras kepala?" tanya Bang Dewa.
Aku tidak peduli, aku memilih untuk tidak menanggapinya, dari pada aku harus terpancing amarah.
"May?" seru Bang Dewa lagi menyadari keenggananku untuk menjawab.
"Kamu mau diem-dieman lagi?" tuturnya dengan nada yang sangat berbeda dengan isaknya tadi, benar-benar seperti dua sosok yang berbeda. Aku tidak mengerti jalan pikirannya.
"May ... jawab, ayo bicara lagi, maaf ... apa pun itu yang membuatmu malas bicara, aku minta maaf," tuturnya lagi dengan nada yang kembali merendah. Aku atau dia yang tidak waras, sebenarnya?
"Jangan menanyakan pertanyaan yang jawabannya ada di diri kamu sendiri, dan jangan bertanya hal yang sama terus menerus, capek, Bang!" ucapku menyahutinya.
"Kita udah gagal sebagai pasangan, ayo tetep berusaha jadi orang tua yang baik buat anak-anak, bagaimana pun hanya mereka yang tersisa dari kisah kita yang udah kandas!" ucapku padanya, aku harap kali ini dia bisa mencerna kalimat sederhanaku.
"Jangan memaksaku membuat keputusan yang akan menambah penyesalanmu, aku sudah menawarkan jalan tengah dengan sangat berbesar hati!" lanjutku.
Aku rasa sudah sangat jelas perkataanku, keterlaluan bila Bang Dewa masih saja menolak untuk berpisah. Kami diam untuk beberapa saat, hatiku mulai gelisah karena sudah terlalu lama meninggalkan Guntur dengan pengasuh.
"Baik, ayo pisah!" ucap Bang Dewa.
.
.
.
.
.
.
.
jawab jujur hai dewa, Bila itu dilakukan May.,apa kamu yakin bisa memberikan kesempatan pada May utk menebus "berkali2" itu ?? Saya rasa ego lelakimu tidak mungkin sebaik itu. 😏