Nayla mendapatkan kabar dari Tante Ida agar pulang ke Indonesia dimana ia harus menghadiri pernikahan Anita.
Tepat sebelum acara pernikahan berlangsung ia mendapatkan kabar kalau Anita meninggal dunia karena kecelakaan.
Setelah kepergian Anita, orang tua Anita meminta Nayla untuk menikah dengan calon suami Anita yang bernama Rangga.
Apakah pernikahan Rangga dan Nayla akan langgeng atau mereka memutuskan untuk berpisah?
Dan masih banyak lagi kejutan yang disembunyikan oleh Anita dan keluarganya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Suara sirene ambulans meraung saat tiba di instalasi gawat darurat.
Beberapa petugas medis dengan sigap membawa tandu berisi tubuh Nayla yang bersimbah darah.
Di belakangnya, Jati juga diturunkan dari ambulans lain, masih sadar namun dalam kondisi lemah.
Rangga ikut berlari masuk ke rumah sakit, wajahnya penuh panik dan tangannya berlumur darah karena sempat memeluk tubuh Nayla yang tak sadarkan diri.
“Pasien kritis! Trauma kepala, pendarahan hebat! Siapkan ruang operasi!” seru salah satu dokter sambil mendorong tandu Nayla masuk ke dalam lorong.
“Dok! Tolong selamatkan dia, tolong!” teriak Rangga, namun seorang perawat menahannya.
“Maaf Pak, sampai sini dulu. Mohon tunggu di luar.”
Rangga jatuh terduduk di kursi ruang tunggu, tubuhnya gemetar.
Waktu terasa berjalan lambat.
Beberapa jam berlalu, hingga akhirnya seorang dokter keluar dari ruang operasi.
Wajahnya serius, mata lelah, dan tangan masih berlumur bekas sarung tangan bedah.
“Siapa keluarga dari Ibu Nayla?” tanyanya.
Rangga yang mendengarnya langsung bangkit dari duduknya.
“Dia istri saya,” kata Rangga cepat, nafasnya tercekat.
Dokter menghela napas dalam. “Kami sudah melakukan tindakan secepat dan sebaik mungkin. Tapi luka di kepala cukup parah, dan sempat terjadi pendarahan dalam…”
“Maksud dokter… Nayla bagaimana?” suara Rangga pelan.
“Untuk saat ini, kami berhasil menstabilkan kondisinya. Tapi ia masih dalam keadaan koma.”
Dada Rangga seolah diremas.
“Berapa besar kemungkinannya sadar, Dok?”
“Sulit untuk diprediksi. Itu tergantung respon tubuhnya dalam beberapa hari ke depan. Kami akan memindahkannya ke ruang ICU untuk observasi lanjutan.”
Rangga langsung duduk dengan tubuh yang lemas dan tatapan mata yang kosong.
Hari itu, semua berubah. Di antara aroma disinfektan dan suara monitor medis, satu kehidupan sedang berjuang… dan dua hati yang pernah menyakitinya kini hanya bisa berharap dan menunggu.
Suasana di lorong rumah sakit masih mencekam. Lampu putih menyinari ruangan dengan dingin, dan bunyi mesin medis terdengar konstan.
Sementara Nayla masih dalam kondisi koma di ruang perawatan intensif, seorang perawat mendekati Rangga yang tengah duduk dengan wajah lelah.
“Pak Rangga?” panggil perawat itu pelan.
Rangga langsung berdiri. “Ya, saya.”
“Pak Jati… kondisinya menurun drastis. Ia minta bertemu dengan Bapak. Sekarang juga.”
Rangga terdiam sejenak, kaget. Ia langsung mengikuti perawat dengan langkah cepat ke ruang ICU lain, tempat Jati dirawat.
Saat ia masuk, tubuh Jati sudah penuh kabel dan selang, nafasnya tersengal, dadanya naik turun dengan susah payah.
Mata Jati membuka sedikit ketika mendengar langkah Rangga masuk. Dengan sisa tenaga, ia mengangkat tangannya yang lemah.
Rangga mendekat dan menggenggam tangan itu.
“Jati…” ucapnya pelan.
Jati menatapnya. Senyum tipis terukir di wajah pucat nya.
“Bahagiakan Nayla…” suara Jati serak dan nyaris tak terdengar.
Rangga menahan air matanya.
“Dia… sangat mencintaimu…” Jati berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam. “Kasihan Nayla… dari kecil… disiksa Anita… dan Ida…”
Mata Jati mulai sayu, namun ia tetap menatap Rangga.
“A-aku titip Nayla…”
Dan di detik berikutnya, Jati menghembuskan napas terakhirnya.
Monitor di sebelahnya mengeluarkan bunyi panjang—garis detak jantungnya berubah lurus.
“Jati!” Rangga mengguncang tubuhnya. “Jati!!”
Tapi tubuh itu sudah tenang, tak bergerak. Tangan Jati yang digenggam Rangga kini dingin dan kaku.
Beberapa perawat masuk dengan cepat dan mulai melakukan prosedur, tapi semua sudah terlambat.
Rangga berdiri di samping tempat tidur, matanya basah, dadanya sesak.
Dalam hati, ia bersumpah untuk menepati pesan terakhir Jati.
"Aku akan jaga Nayla. Aku akan tebus semua kesalahanku. Aku janji."
Di ruang sebelah, Nayla masih tertidur dalam diam—tak tahu bahwa pria yang diam-diam mencintainya dan melindunginya… kini telah pergi selamanya.
Langit mendung menggantung seolah ikut berduka. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah dan bunga melati yang ditaburkan di atas liang lahat.
Rangga berdiri diam di sisi makam, mengenakan pakaian serba hitam.
Matanya sembab, tapi kali ini tidak ada air mata, hanya tatapan kosong yang mengarah ke lubang tanah tempat Jati akan dikebumikan.
Di sekelilingnya, beberapa orang pelayat menundukkan kepala, ikut merasakan kehilangan.
Namun, yang paling berat adalah Rangga. Di dalam dirinya, ada perasaan bersalah yang menghantam bertubi-tubi.
Pria yang kemarin ia anggap saingan, kini ia hantarkan ke tempat peristirahatan terakhirnya… dengan membawa pesan paling tulus dan berat yang pernah ia terima.
"Turunkan perlahan," kata petugas pemakaman. Peti kayu putih itu diturunkan hati-hati ke dalam liang lahat.
Rangga menutup mata sejenak. Ia mengingat kembali wajah Jati—senyumnya, suaranya, dan terutama kata-kata terakhirnya:
“Titip Nayla.”
Ketika semua selesai, Rangga ikut menaburkan tanah.
Tangannya gemetar, namun ia terus melakukannya sampai peti benar-benar tertutup.
Setelah itu, bunga-bunga ditaburkan, dan doa pun dipanjatkan.
Selesai upacara, Rangga tetap berdiri. Ia tak segera pergi.
Ia menatap nisan yang baru saja terpasang:
JATI PRADANA
1989–2024
“Dalam diam, ia mencintai dan melindungi.”
Rangga menarik napas dalam. “Maafkan aku, Jati. Aku terlalu lama menyadari... siapa yang benar-benar menyayangi Nayla. Tapi aku janji, aku akan membahagiakan dia. Aku akan jaga dia, bukan karena janji… tapi karena sekarang aku tahu, aku mencintainya... dengan cara yang benar.”
Langit mulai gerimis.
Dan Rangga berdiri di sana… menatap nisan Jati, dalam diam yang panjang, seolah ingin menebus semuanya yang tak sempat mereka selesaikan semasa hidup.
Usai pemakaman, Rangga kembali ke rumah sakit dengan tubuh yang lelah dan hati yang hampa.
Aroma obat-obatan dan suara mesin pemantau detak jantung kembali menyambutnya di lorong sunyi ruang ICU.
Langkah kakinya pelan menyusuri lorong menuju kamar tempat Nayla dirawat.
Perawat menyapanya sopan, tapi ia hanya mengangguk singkat, langsung membuka pintu ruang perawatan.
Di dalam, Nayla masih terbaring dalam diam. Wajahnya pucat, namun tetap cantik.
Selang oksigen masih terpasang, dan layar di samping tempat tidurnya terus menampilkan denyut jantung yang lambat tapi stabil.
Rangga mendekat, menarik kursi dan duduk di sisi ranjang.
Ia menggenggam tangan Nayla perlahan, takut menyakitinya.
“Nay…” bisiknya, suaranya nyaris hilang. “Aku di sini.”
Tangannya bergetar saat mengusap rambut Nayla yang sedikit kusut. Ia menunduk, bibirnya mengecup punggung tangan istrinya dengan pelan.
"Jati… sudah pergi, Nay. Dia titip kamu ke aku," lanjut Rangga pelan, menahan gejolak dalam dadanya.
"Selama ini aku buta. Aku marah, aku menyakitimu. Padahal kamu cuma ingin dicintai. Dan Jati... dia mencintaimu dengan cara yang bahkan aku pun malu menyebut diriku suami."
Air matanya jatuh, menetes ke tangan Nayla.
"Aku nggak tahu kamu bisa dengar aku atau nggak, tapi... mulai hari ini, aku akan jadi laki-laki yang lebih baik. Bukan buat aku, tapi buat kamu. Buat semua luka yang pernah kamu tahan sendirian."
Ia menghela napas panjang, lalu bersandar di tepi ranjang, masih menggenggam tangan Nayla erat.
Dalam kesunyian malam itu, monitor jantung tetap berdetak perlahan.
Di luar jendela, hujan mulai turun, membasahi kaca dengan ritme pelan seolah alam pun ikut menunggu… kapan Nayla akan membuka matanya kembali.