NovelToon NovelToon
THE VEIL OF AEDHIRA

THE VEIL OF AEDHIRA

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Wanita / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:360
Nilai: 5
Nama Author: Aisyah fahra

Di dunia Aedhira yang terpisah oleh kabut kegelapan, seorang gadis muda bernama Lyra menemukan takdirnya terjalin dengan rahasia kuno darah kabut, sihir yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan dunia. Ketika kekuatan gelap yang dikenal sebagai Raja Kelam mulai bangkit kembali, Lyra bergabung dengan Kaelen, seorang ksatria pemberani yang terikat pada takdirnya, untuk mencegah kehancuran dunia mereka.

Namun, semakin dalam mereka menggali sejarah dan rahasia darah kabut, semakin mereka menyadari bahwa takdir mereka lebih rumit dari yang mereka bayangkan. Terperangkap dalam permainan takdir yang tidak mereka pilih, Lyra harus menghadapi pilihan tak terhindarkan: menyelamatkan Kaelen dan dunia, atau mengorbankan keduanya demi sebuah masa depan baru yang tak diketahui.

Dalam pertempuran akhir yang melibatkan pengkhianatan, pengorbanan, dan cinta yang tak terbalas, Lyra menemukan bahwa tidak ada pahlawan tanpa luka, dan setiap kemenangan datang dengan harga yang sangat mahal. Ketika dunia

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah fahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 3 PECAHAN KEBENARAN

Pecahan Kebenaran

Lyra menatap jendela kecil di dinding menara, mencoba menghitung berapa kali burung aneh berbulu ungu lewat sambil nyanyi lagu yang mirip soundtrack anime. Ia bosan, lapar, dan nyaris gila.

"Kalau burung itu lewat sekali lagi, gue kasih nama dia Siska," gumamnya.

Sayangnya, Siska terbang lewat untuk ketiga kalinya—masih sambil nyanyi lagu yang sama. Lyra menghela napas panjang.

Udah tiga hari sejak insiden di aula. Tiga hari sejak monster bayangan muncul dan manggil dia "putri kabut" kayak semacam gelar bangsawan mistis. Dan tiga hari juga sejak para tetua memutuskan bahwa satu-satunya solusi logis adalah... ngurung dia.

“Wah, makasih banget atas hospitality-nya, Aedhira,” keluhnya sambil duduk di lantai dingin.

Pintu menara berderit.

Lyra langsung berdiri. “Akhirnya! Makanan atau keadilan?”

Yang muncul ternyata Kaelen, lengkap dengan ekspresi ‘sabar ya, dunia emang jahat’.

“Kau baik-baik saja?” tanyanya pelan.

“Kaelen, gue udah ngobrol sama burung bernama Siska selama dua hari. Jawab sendiri deh.”

Kaelen mendesah dan masuk, membawa roti hangat dan sup yang wangi banget sampai Lyra hampir nangis.

Setelah makan sambil nyaris ngiler, Kaelen duduk di sebelahnya. “Aku punya kabar. Tapi… kamu nggak bakal suka.”

“Plot twist lagi? Udah biasa.”

“Beberapa tetua ingin memindahkanmu ke Kastel Hitam.”

Lyra nyaris tersedak. “Yang di balik Lembah Seribu Mayat itu?!”

“Itu cuma nama,” jawab Kaelen. “Tempatnya nggak sehoror itu… meskipun ya, dulu bekas markas penyihir pengkhianat.”

“Wah, cozy banget. Apa ada sarapan gratis juga?”

Kaelen menatapnya, mencoba tersenyum. “Tapi Elreth melawan. Dia percaya kamu perlu tahu semuanya dulu, sebelum mereka ambil keputusan.”

“Semua apa? Kenapa gue punya darah kabut? Kenapa ada ukiran muka gue di dinding? Dan siapa ‘Putri Kabut’ itu?!”

Kaelen menatap lantai sesaat, lalu berdiri. “Ikut aku. Elreth mau bicara langsung.”

Mereka berjalan menyusuri lorong-lorong menara yang sepi, menuju perpustakaan tertua di Caelora. Pintu kayu besar di ujung lorong terbuka perlahan saat mereka datang.

Di dalam, Elreth berdiri di depan meja kayu bundar, dikelilingi gulungan peta dan buku tua setebal kamus.

“Duduk, Lyra,” katanya lembut.

Lyra duduk. Deg-degan, tapi sok cool.

“Apa kamu pernah dengar tentang Perang Kabut Pertama?”

Lyra menggeleng.

Elreth membuka satu buku, memperlihatkan gambar makhluk tinggi berambut perak dan mata bercahaya. “Dulu sekali, sebelum manusia menulis sejarah, Aedhira diperintah oleh kaum tua—pengendali kabut, pemilik sihir murni. Mereka bukan dewa. Tapi kekuatan mereka hampir setara.”

“Oke... dan?”

“Salah satu dari mereka jatuh cinta pada manusia. Hubungan itu dilarang. Tapi dari pertemuan itu... lahirlah anak pertama berdarah campuran: separuh kabut, separuh manusia.”

Lyra mulai curiga.

“Elreth... jangan bilang...”

Elreth menatapnya tajam. “Darah itu mengalir dalam dirimu.”

Lyra terdiam. Lalu tertawa—kecil, gugup.

“Gue anak setengah peri kabut? Setengah... alien sihir?”

“Bukan alien, Lyra. Mereka leluhurmu. Kamu keturunan terakhir dari Aelyrien, pemilik garis darah terkuat dalam sejarah Aedhira. Dan garis itu… adalah kunci Segel Tertua.”

“Jadi, maksud kalian…” Lyra menatap Elreth dan Kaelen bergantian. “Gue ini semacam... password hidup buat buka pintu neraka?”

Elreth mengangkat alis. “Kalau kamu mau menyederhanakannya begitu, ya, kira-kira begitu.”

Kaelen menyisipkan, “Tapi bukan neraka. Segel itu menahan kekuatan purba yang dulu hampir menghancurkan dunia.”

Lyra menghela napas. “Oke, coba ulang. Gue ini keturunan Aelyrien, makhluk super yang bisa ngendaliin kabut. Terus darah gue bisa buka segel sihir kuno. Dan... gue bahkan belum lulus SMA.”

Elreth tersenyum samar. “Sebenarnya, kamu lebih dari itu. Kamu... mungkin satu-satunya harapan untuk menghentikan Raja Kelam.”

“Yang katanya belum bangkit, tapi udah kirim monster ke pesta rakyat? Iya, oke. Sangat ‘belum bangkit’.”

Kaelen tertawa pelan. Tapi Elreth menatap Lyra serius.

“Dengar, Lyra. Kami tahu ini berat. Tapi kamu harus belajar mengendalikan kekuatanmu sebelum segel yang lain terbuka. Karena kalau itu terjadi… Raja Kelam tak akan sekadar muncul sebagai bayangan.”

“Raja Kelam ini siapa sih, sebenarnya? Semua orang kayak takut banget.”

Elreth membuka satu gulungan tua. Di situ tergambar sosok besar bersayap, dengan tanduk di kepala dan mata menyala.

“Namanya asli: Ar’Valek. Dahulu, dia adalah penjaga kabut di timur Aedhira. Tapi dia menginginkan keabadian—dan kekuatan mutlak. Dia mengkhianati para Aelyrien dan hampir memusnahkan dunia.”

Lyra mendekat, menatap gambar itu. Dada kirinya berdebar aneh.

“Gue pernah lihat dia. Di mimpi gue. Bahkan sebelum masuk Aedhira…”

Kaelen langsung menoleh. “Serius?”

“Dia manggil gue... anakku.”

Elreth menghela napas berat. “Kalau begitu... waktunya lebih sempit dari yang kami kira.”

Setelah percakapan itu, Lyra diberi satu ruangan khusus di Perpustakaan Dalam—tempat yang katanya cuma boleh diakses oleh penjaga darah murni. Ruangannya berisi ratusan buku, kristal melayang, dan kursi yang bisa pijet otomatis (oke, yang ini bohong. Tapi andai ada...).

Kaelen tetap mendampingi, walau sebagian besar waktu hanya berdiri diam sambil ngelihatin Lyra kebingungan membaca bahasa kuno.

“Ini huruf apa sih? Latin terbalik campur cacing?” keluh Lyra.

Kaelen tertawa kecil. “Itu bahasa lama Aelyrien. Aku bisa bantu menerjemahkan.”

“Oke, kalau gitu kamu duduk sini, jadi Google Translate hidup.”

Setelah berjam-jam membaca dan mendengar cerita asal-usul darah kabut, Lyra mulai paham.

Ternyata, darah Aelyrien di tubuhnya itu bukan cuma bikin dia bisa buka segel—tapi juga berarti dia bisa menutupnya kembali. Masalahnya? Butuh pelatihan sihir kabut tingkat tinggi. Dan satu-satunya tempat pelatihannya...

“...di wilayah yang sekarang dikuasai para Pembisik,” jelas Kaelen. “Kelompok fanatik yang percaya kamu harus dikorbankan.”

“Wah, asik banget. Dikejar monster, sekarang disaranin nyebrang ke tempat orang-orang yang pengen ngorbanin gue. Seru.”

“Tapi di sana juga satu-satunya tempat kamu bisa belajar mengontrol energi kabut.”

Sore itu, Lyra berjalan keluar dari perpustakaan dan menatap langit Aedhira. Langit senja di dunia ini selalu aneh—warnanya ungu bercampur jingga, kayak lukisan abstrak.

“Lo mau dengerin suara gue?” gumamnya ke langit. “Kalau emang gue dipilih, bisikin dikit kenapa. Kasih clue gitu.”

Angin berhembus. Dan dari kejauhan... suara itu muncul lagi.

"Putri kabut... darahmu adalah kunci, tapi hatimu adalah penentu."

Lyra mendengus. “Ya ampun, semua entitas mistis di Aedhira ini kenapa sih ngomongnya kayak puisi motivasi Instagram?”

Malam itu, Elreth memberi keputusan penting. “Besok pagi, kamu akan pergi ke wilayah barat. Kami sudah kirim burung pesan ke Tan’Rael—desa terakhir sebelum wilayah Pembisik. Di sana, kamu akan bertemu dengan pelatih terkuat dari Aelyrien yang tersisa.”

“Sendiri?”

Kaelen menjawab cepat. “Aku ikut. Dan satu orang lain juga.”

Seorang pria tinggi berambut gelap masuk ruangan, membawa tombak perak yang panjangnya nyaris dua meter.

“Namaku Zehron,” katanya singkat. “Dan mulai besok, aku jadi penjagamu.”

Lyra menatap Kaelen. “Gue nggak tahu kenapa, tapi kayaknya gue bakal sebel sama dia.”

Kaelen tertawa. “Tunggu saja.”

Keesokan paginya, Lyra bangun lebih pagi dari biasanya—mungkin karena nggak bisa tidur, atau mungkin karena ide “perjalanan ke tempat orang fanatik” bukan mood booster yang bagus buat pagi hari.

Ia duduk di tepi ranjang batu, sambil memandangi jubah baru yang disiapkan Elreth. Jubah biru kelam dengan motif kabut keperakan di ujung lengan. Terlihat keren, sih, tapi berat. Kayak beban hidupnya sekarang.

Di luar, Kaelen dan Zehron sudah menunggu. Kaelen masih dengan senyum hangatnya, sementara Zehron berdiri tegap kayak patung pengawal kerajaan. Datar. Dingin. Satu kata: kaku banget.

“Pagi,” sapa Kaelen.

“Pagi. Si Dingin ini bisa senyum juga, nggak?” bisik Lyra, separuh bercanda.

Zehron mendengar. “Tugasku bukan membuatmu nyaman. Tugasku memastikan kau tidak mati.”

“Yah, kan tetap bisa pakai dua fungsi: ngawal dan nggak nyebelin.”

Kaelen menahan tawa sambil memberikan Lyra sebuah kantong kecil. “Ini bekalmu. Kristal kabut mini. Kalau kamu kewalahan, pecahkan satu. Bisa memperkuat pertahanan sihirmu sebentar.”

Lyra menyelipkannya ke dalam jubah. “Noted. Kristal \= power-up darurat.”

Mereka mulai berjalan keluar dari Caelora. Jalan yang dilalui bukan jalur utama. Mereka menembus jalur pegunungan barat, tempat kabut selalu turun lebih tebal dan suara-suara aneh terkadang terdengar di kejauhan.

Lyra merasa suasana makin aneh sejak mereka melewati batu penanda berbentuk kepala naga patah.

“Eh, gue nanya dikit, ini tempat angker atau gimana? Soalnya tadi gue dengar suara kayak… nyanyian bayi tapi pakai efek horor.”

Kaelen menoleh cepat. “Kamu mendengarnya?”

“Y-ya?”

Zehron memperlambat langkah. “Itu suara Bayangan Pemikat. Mereka mencoba menjerat pikiran dengan ilusi suara.”

“Dan lo baru bilang sekarang?!”

“Mereka tidak bisa menyentuhmu selama kau tetap fokus,” kata Zehron.

“Oh ya, gampang banget ‘fokus’ pas lo denger suara bayi nangis di tengah hutan kabut. Fix.”

Tiba-tiba, kabut di depan mereka menebal. Suara gemerisik terdengar dari samping.

“Berhenti,” bisik Zehron. Tangannya sudah di gagang tombak.

Dari balik kabut, sosok-sosok bayangan mulai muncul—makhluk-makhluk tinggi kurus dengan tangan yang terlalu panjang dan mata bersinar merah samar.

“Hantu Kabut...” bisik Kaelen.

Lyra mundur selangkah. “Ada plan B?”

Zehron bergerak duluan, tombaknya menyambar satu makhluk yang mencoba mendekat. Sihir biru melingkari ujung tombaknya.

Kaelen membuat perisai cahaya di depan Lyra. “Pecahkan kristal! Sekarang!”

Lyra merogoh kantong dan menghantamkan kristal ke tanah. Ledakan kecil cahaya perak menyebar. Makhluk-makhluk itu menjerit dan mundur, sebagian menghilang dalam kabut.

Zehron menusuk satu lagi dan melempar makhluk itu seperti boneka usang. “Kita harus pergi sebelum mereka kembali dengan jumlah lebih banyak.”

Mereka berlari. Kabut mengejar. Suara jeritan dan bisikan menyelimuti mereka seperti kabut itu hidup dan nggak mau melepas.

Akhirnya, mereka sampai di tebing kecil yang menghadap ke lembah penuh cahaya ungu.

“Tan’Rael,” kata Kaelen. “Kita sampai.”

Tan’Rael bukan desa biasa. Rumah-rumahnya terbuat dari batu yang bisa berpendar dalam gelap. Pohon-pohonnya menjulang tinggi dengan daun keperakan yang menyala redup.

Mereka disambut oleh seorang wanita bertubuh tegap dengan rambut pendek keperakan.

“Namaku Mirae,” katanya. “Aku akan melatihmu mulai besok.”

Lyra menyipit. “Sebelum latihan… istirahat, kan?”

“Latihan dimulai dua jam dari sekarang.”

“Wah. Gue rindu dijadiin tahanan menara deh.”

Di penginapan kecil yang disediakan untuk mereka, Lyra mencoba rileks. Tapi otaknya keburu sibuk mencerna semua: makhluk bayangan, kristal kabut, suara-suara gaib, Zehron yang dingin, dan Kaelen yang terlalu sabar untuk ukuran manusia biasa.

“Besok lo latihan beneran?” tanya Kaelen sambil menyiapkan teh.

“Gue bahkan belum tahu cara nyalain sihir kabut. Bisa bayangin gue kayak nyoba pakai remote TV tapi baterainya abis.”

Kaelen tersenyum. “Kamu lebih kuat dari yang kamu kira.”

“Lo terlalu percaya sama gue.”

“Bukan. Gue cuma percaya pada sejarah yang terus berulang—dan pada seseorang yang mau melawan meski takut.”

Satu jam kemudian, Lyra sudah berdiri di tengah arena latihan terbuka di Tan’Rael. Mirae berdiri di depannya dengan ekspresi gabungan antara malas dan kecewa—kayak guru olahraga yang nyuruh murid pemalas push-up 50 kali.

“Tarik napas. Rasakan kabut di sekelilingmu,” kata Mirae.

“Oke,” Lyra mencoba menurut. Ia menghirup udara dalam-dalam, berharap bisa merasa kayak superhero. Yang terjadi? Hidungnya kemasukan debu sihir dan dia batuk kayak kakek-kakek asma.

Mirae mengangkat alis. “Kamu menarik napas kayak baru pertama hidup.”

“Yah, bisa dibilang begitu.”

“Lagi.”

Kaelen duduk di pinggir, memberikan semangat versi diam-diam—alias hanya menatap dengan mata berbinar kayak kucing kelaparan.

Lyra mencoba lagi. Kali ini, ia fokus. Ia membayangkan kabut sebagai benang-benang halus di udara, menunggu disentuh. Perlahan, ia merasakan... sesuatu. Dingin. Tapi familiar. Seperti... perasaan waktu dia pertama kali tersesat ke Aedhira.

“Sambungkan jiwamu ke kabut. Biarkan ia mengenalimu.”

Lyra mengulurkan tangannya ke depan. Udara di sekitarnya mulai bergetar. Partikel kabut di udara berkumpul di ujung jarinya. Warna keperakan itu mulai membentuk lingkaran kecil.

Kaelen berdiri. “Itu dia!”

Tapi kemudian… BAM! Ledakan kecil terjadi. Lyra terlempar ke belakang dan nyaris mencium lantai arena. Kaelen buru-buru berlari ke arahnya.

“Lo oke?!”

“Gue... jadi roket manusia, keren juga.” Lyra tertawa kering, lalu mengeluh pelan. “Tapi pantat gue sakit.”

Mirae mendekat dan berjongkok. “Itu permulaan yang bagus. Tapi kamu terlalu emosional.”

“Lo baru kenal gue sehari.”

“Justru itu. Dan udah kerasa betapa emosinya kamu.”

Lyra memelototi pelatihnya, tapi ia tahu Mirae benar. Emosinya naik turun kayak roller coaster. Apalagi sejak datang ke dunia ini. Tapi siapa yang bisa tetap tenang pas tahu dirinya calon pemegang kekuatan purba yang bisa menghancurkan—atau menyelamatkan—dunia?

Selama beberapa hari berikutnya, latihan Lyra makin intens. Ia belajar membentuk tameng kabut, memfokuskan serangan seperti pisau, hingga menciptakan ilusi kecil.

Dan meski sering gagal, ia merasa... semakin kuat. Setiap kali kabut merespons, ia merasa bagian dari dirinya yang dulu hilang—sejak dituduh di dunianya sendiri—kembali satu per satu.

Suatu malam, ia duduk di atas menara pengawas Tan’Rael. Kaelen menyusul sambil bawa dua cangkir teh.

“Lo makin jago,” kata Kaelen, menyodorkan satu cangkir.

Lyra menerima. “Maklum. Di dunia gue, latihan sihir diganti PR matematika. Gue pilih sihir.”

“Gimana perasaanmu sekarang?”

Lyra menatap langit berbintang Aedhira. “Masih takut. Tapi... juga penasaran.”

“Penasaran?”

“Apa yang sebenarnya terjadi dulu. Kenapa Raja Kelam bilang gue anaknya. Kenapa gue yang dipilih, padahal jelas-jelas ada orang lain yang lebih siap, lebih kuat, dan lebih... nggak ceroboh.”

Kaelen tersenyum. “Mungkin karena kamu nggak sempurna. Tapi kamu mau belajar.”

Lyra menyeringai. “Lo tahu nggak, omongan lo kadang kayak dialog di drama kerajaan.”

“Tapi cocok, kan?”

“...Lumayan.”

Keesokan harinya, latihan berlanjut. Tapi kali ini berbeda.

Saat Lyra tengah berlatih menciptakan medan pelindung kabut, kabut di sekitar tiba-tiba bergerak sendiri. Angin membeku. Tanah bergetar halus.

Zehron muncul dari balik bayangan. “Ada sesuatu datang dari arah timur.”

“Makhluk lagi?” tanya Mirae, siaga.

“Bukan. Energi sihir. Besar. Dan... familiar.”

Lyra menelan ludah. Perasaan aneh muncul di dadanya. Seperti... magnet yang menarik isi perut.

“Gue kenal sensasi ini…”

“Siapkan diri kalian,” kata Mirae. “Kalau benar ini dia—Lyra harus siap.”

“Siapa dia?” tanya Lyra.

“Yang pertama membuka segel... di dunia ini.”

Suasana Tan’Rael berubah dalam hitungan menit. Para penjaga mempersenjatai diri. Cahaya dari pohon-pohon keperakan redup, seperti ikut menahan napas.

Lyra berdiri bersama Kaelen, Mirae, dan Zehron di tengah pelataran utama. Kabut di sekitarnya terasa hidup—berdesir, bergeser, seolah menunggu sesuatu yang besar datang.

Kemudian, dari arah timur, muncul seorang pria dengan jubah ungu gelap yang berpendar samar. Wajahnya tertutup kerudung kabut tipis, tapi sorot matanya—yang bersinar emas—terlihat menembus siapa pun yang menatapnya.

“Siapa itu?” bisik Lyra.

Zehron mencengkeram tombaknya. “Namanya Vareth. Pengikut Raja Kelam yang pertama—dan yang paling fanatik.”

Kaelen maju selangkah. “Vareth! Apa tujuanmu datang ke Tan’Rael?”

Suara Vareth menggema lembut, tapi menusuk, seperti bisikan yang berdesing di telinga. “Aku hanya ingin berbicara... pada sang putri kabut.”

Lyra merasa darahnya membeku.

“Apa maksudmu?”

Vareth menoleh padanya perlahan. “Kau telah memanggil kabut. Itu artinya, segel pertama dalam darahmu telah terbuka. Kau akan mulai mendengar suara-suara lama, dan melihat mimpi-mimpi dari dunia yang kau lupakan.”

Lyra menelan ludah. “Gue... nggak ngerti.”

“Belum. Tapi kau akan paham, Lyra Caellum. Darahmu bukan darah fana. Kau adalah kunci terakhir—yang diwariskan untuk membuka gerbang malam abadi.”

“Wah, dramatis banget,” gumam Lyra, meski jantungnya berdetak tak karuan.

Vareth tersenyum tipis, lalu menoleh ke Mirae. “Latihanmu tidak akan cukup. Karena bayangan telah bangkit. Dan dia... mencari putrinya.”

“Siapa dia?” teriak Lyra, setengah marah, setengah bingung.

Namun, sebelum ada yang menjawab, Vareth mengangkat tangannya, dan semburan kabut hitam menyelimuti dirinya. Dalam sekejap, ia menghilang—menyisakan hawa dingin dan rasa takut yang menggantung di udara.

“Dia... serius?” tanya Lyra pelan. “Raja Kelam itu... ayah gue?”

Kaelen menatapnya lama. “Kita belum tahu pasti. Tapi darahmu... memang punya jejak sihir tua.”

“Jadi, gue anak villain? Gila. Ini kayak plot twist sinetron.”

Mirae meletakkan tangan di bahu Lyra. “Apa pun darahmu, pilihanmu yang akan menentukan siapa kamu. Latihan kita akan dilipatgandakan mulai besok.”

Lyra menatap tanah. Di pikirannya, satu kalimat terus terngiang—“Gerbang malam abadi...”

Ia belum tahu apa maksudnya.

Tapi satu hal ia tahu pasti: ini baru awal.

Dan Aedhira... tak akan pernah sama lagi setelah ini.

1
🍭ͪ ͩ💜⃞⃟𝓛 S҇ᗩᑎGGITᗩ🍒⃞⃟🦅
kau terasing di dunia nyata
tapi kau di harapkan di dunia edheira
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!