Berhijrah terkadang bukan perkara yang mudah, apalagi bayang kelam masa lalu bak sebuah benalu yang menggerogoti hati. Tak jarang membuat keyakinan merosot kembali.
Keinginan untuk menjadi lebih baik, terkadang di bumbui sebuah kesempurnaan. Bak
setiap pria yang mendambakan seorang istri sempurna, pun seorang perempuan mendambakan seorang suami yang sempurna. Namun terkadang keduanya tidak menyadari kalau mereka di ciptakan untuk saling menyempurnakan.
Inilah sebuah kisah. Perjalanan penuh Lika liku, mendambakan sebuah kesempurnaan untuk mencapai sebuah kebahagiaan.
Tidak pernah menyadari, berdiam di Zona nyaman sebuah kesempurnaan dan kebahagiaan, membuat hati buta.
Telat menyadari kalau kebahagiaan bukan milik dia yang hebat dalam segalanya, namun bahagia, milik dia yang mampu temukan hal sederhana dalam hidupnya dan tetap bersyukur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon naja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16
Detik. Menit. Jam. Hari. Minggu. Bahkan bulan pun terlewatkan. Semua berlalu begitu saja tanpa beban. Bagai lembaran buku kosong yang kita buka tanpa kosa kata hingga tidak membutuhkan waktu untuk membacanya.
Iya, namun semua hanya bayangan. Hanya orang orang yang tidak punya tujuan yang bisa melewatkan waktu begitu saja tanpa perjuangan. Tidak ada ritme yang bisa kita lewatkan. Setelah variabel lama berakhir akan ada variabel baru yang menanti, karena itulah sebuah kehidupan.
Begitupun dengan Ansell, seorang tulang punggung yang memikul banyak beban di pundak nya. Ia harus berusaha semaksimal mungkin melewati detik demi detik, hari demi hari. Bahkan bulan demi bulan. Semua waktu yang berharga Dia prioritaskan untuk membahagiakan dan mengurus keluarga besarnya, tidak lupa semua ia lakukan sebagaimana landasan agama.
Hari ini begitu cerah. Secerah hati Ansell yang penuh semangat. Semangat seorang Ayah yang harus bekerja keras demi masa depan anak dan keluarganya.
"Afham sedang apa ya?"
Baru selesai memeriksa beberapa dokumen, Ansell menyandarkan kepalanya. Tangannya bergerak meraih ponselnya untuk menghubungi Zahra. Lebih tepatnya ingin melakukan video call sudah rindu dengan tingkah menggemaskan Afham.
Iya. Masa pertumbuhan Afham terasa begitu cepat, segala tingkah lucunya membuat siapapun pasti terpikat pada nya. Mungkin jika tidak mengingat pekerjaan, Ansell pun akan setiap saat stay di rumah.
"Buba.. Baba..."
Begitulah ocehan Afham yang selalu menjadi pengantar pagi Ansell sebelum berangkat ke kantor. Charger semangat Ansell. Mungkin jika di artikan ocehan itu sebagai rengekan Afham ingin ikut bersama sang Abie untuk bekerja.
"Kalau aku mengajak Afham ke kantor, apa pahlawan kecilku itu tidak akan mengacu ya?"
Ansell tersenyum tipis, mengingat kembali kejadian tempo hari saat dia mengajak Afham bermain di ruang kerjanya. Afham begitu lincah merangkak ke sana kemari, sampai Ansell tidak sadar kalau pahlawan kecilnya itu sudah mengacak-acak semua buku yang berjajar di rak bukunya.
Video call kini sudah tersambung. Terlihat jelas wajah Zahra di layar ponselnya.
"Assalamualaikum Bib. Ada apa?"
"Waalaikumsalam. Mana Afham Dek?" Langsung pada intinya. Mata itu sudah tidak sabar ingin melihat Afham.
Dan selang beberapa detik, wajah itu langsung secerah menteri di kala Afham kecil yang sedang duduk membungkuk terlihat jelas di layar ponselnya.
"Afham sedang apa?" Ansell melambaikan tangannya. Mencari perhatian Afham agar dia melihat kearahnya.
Masih tidak ada respon, rupanya Afham masih sibuk dengan sebuah buku bergambar yang ada di depannya.
"Wah, Abie di kacangin. Afham lagi sibuk ya sampai tidak mendengar suara Abie." Zahra ikut tersenyum mendengar ocehan Ansell di balik ponselnya.
Kelakuan Afham yang seperti itu, sama persis dengan kelakuan Ansell yang selalu fokus jika sudah membuka lembaran buku. Kalau sudah fokus dengan sesuatu dua laki laki itu jarang mempedulikan sekitarnya.
"Dek, ambil dulu bukunya sayang. Masa aku di kacangin. Afham sedang lihat buku apa sih? Sampai khusus begitu."
Yang tadinya bersuara lembut, kini mulai protes karena yang di panggil tidak beranjak menengoknya. Padahal ia sudah begitu rindu ingin mendengar suaranya.
"Buku kumpulan binatang yang Habib belikan kemarin. Sepertinya Afham suka dengan buku itu. Dari tadi dia senyum senyum sendiri sambil menepuk nepuk bukunya."
"Huh. Baiklah Abie kalah oleh sebuah buku. Lihatlah sampai puas! Setelah kau puas melihat gambarnya kita akan melihat yang aslinya. Makanya cepatlah tumbuh besar jangan hanya menepuk nepuk nya di buku. Jika kau sudah besar kita langsung tangkap binatang nya."
Wah parah hot Daddy yang satu ini, baru juga anaknya berusia setengah tahun dia sudah mengajarkan hal-hal yang ekstrim pada anaknya.
...***...
Di sebuah perusahaan yang berbeda.
Alex masih berkutat dengan pekerjaannya. Sebuah chat WA yang baru masuk menghentikan aktivitasnya. Dilihat chat tersebut, rupanya pesan group Wa yang bernamakan 'Kumpulan Ayah muda'.
"Kenapa aku di masukkan ke group ini? Menikah saja belum. Dasar si Raka menyebalkan. Sengaja banget
manas-manasin gue." Alex mengumpat kesal. Bergegas melihat beberapa isi chat yang sudah masuk di sana.
💬 Raka
"Istirahat.... Istirahat...!
Ingat ini hari Jum'at Bro. Lupakan dulu pekerjaan kalian. Kita shalat Jum'at dulu"
Wah, rupanya Pak admin sedang berkoar-koar. Mungkin begitulah cara dia mengingatkan sesamanya.
💬 David
"Di tunggu di kantor. Kita pergi ke pesantren bersama. Gue sedang bersama Ansell. Kita tunggu di ruangannya."
💬 Raka
"Woi, member baru! Mana suaranya hah? Bisa baca gak? Buruan ke kantor si Bos, jangan sampai kau telat lagi. Jangan cari alasan. Gus Ali sudah mengajari mu kan. Masa sampai sekarang belum juga bisa ikut shalat Jum'at."
Raka sudah mengoceh sana sini. Karena Alex yang dia maksud belum juga muncul di dalam chat. Merasa punya bahan candaan baru disaat Alex masuk ke komplotan mereka.
Alex geram sendiri membacanya. Mungkin kalau mereka sedang berhadapan dia akan langsung melayangkan tangan memukul Raka.
💬 Alex.
"Bacot loe. Iya, gue menuju Rendra Group sekarang." Alex pun muncul ke permukaan. Tanpa basa-basi membalas chat Raka.
...***...
Di depan kantor Rendra Group.
Rani terlihat baru menuruni ojek yang mengantarkan nya.
Celingukan sendiri bingung harus melangkah ke mana.
"Semangat Rani ini demi Teh Alika. Kau sudah di percaya untuk mengantarkan dokumen dokumen ini pada Kakaknya.
Kau pasti bisa. Inikan bukan pertama kalinya kau ke sini."
Rani mengoceh sendiri. Jujur kalau bukan karena Alika sedang sakit ia tidak mau melakukan pekerjaan ini. Masuk ke sebuah kantor dengan bangunan besar dan tinggi. Di tambah lagi dia harus menuju ke ruangan yang pangling atas dan masuk ke sebuah lift yang menurutnya itu begitu sempit. Karena ternyata itu semua sesuatu yang paling ia hindari. Hahaha, bagaimana bisa? Ya, karena Rani adalah gadis kampung yang belum terbiasa dengan semuanya.
"Kalau mau masuk, masuk saja! Kenapa malah mondar mandir di sini!"
Suara seorang lelaki tiba-tiba mengagetkan Rani. Iya, rupanya lelaki itu merasa jalannya terhalang karena Rani belum juga menunjukkan pergerakan.
"Akh maaf Tuan." Rani langsung berbungkuk menoleh ke belakang. Dengan cepat langsung berbalik lagi dan melangkah masuk ke dalam.
"Duh Rani, seharusnya kalau kau ke sini dengan Teh Alika kau memperhatikan bagaimana caranya membuka pintu lift ini." Rani mengumpat hatinya sendiri. Berdiri di depan lift tanpa tahu apa yang harus ia lakukan. Memalukan sekali, kenapa bisa ia lupa harus menekan tombol yang mana untuk membuka pintu lift nya.
"Apa aku harus melewati tangga darurat saja." Hahaha, ocehan apa lagi itu. Setelah ia mengumpat tidak bisa membuka pintu lift, dia langsung mengingat perkataan Alika.
"Kalau life mati atau tidak bisa di gunakan, maka kau bisa naik ke atas melewati tangga darurat."
Begitulah mungkin perkataan Alika saat pertama kali mengajak Rani ke kantor Kakaknya.
Dan benar saja, Rani yang tidak bisa membuka pintu lift langsung berinisiatif untuk menaiki tangga darurat untuk menuju lantai atas.
Saat Rani bergulat dengan segala lamunan dan menggerutu diri sendiri karena tidak bisa apa-apa. Suara yang sama seperti tadi kembali terdengar di belakangnya.
"Maaf, anda menghalangi jalan saya lagi. Kalau anda ingin naik ke lantai atas cepat tekan tombol lift nya!" Lelaki itu malah geram sendiri. Dia sedang terburu-buru, tapi kenapa ada ada saja yang menghalangi jalannya. Di tambah geram lagi karena orang itu adalah orang yang tadi menghalanginya.
"Akh maaf, Tuan yang tadi ya. Silahkan Tuan saya akan naik jalan sini." Dengan polosnya Rani menggerakkan kakinya ke samping. Mempersilahkan lelaki itu maju dan dia pun melangkah menuju tangga darurat.
"Hah..." Lelaki itu molongo. Melihat nanar penampilan Rani dari atas sampai bawah. Kenapa di jaman sekarang masih ada orang udik yang memilih mengeluarkan tenaga menaiki beratus ratus anak tangga dari pada masuk lift yang sudah tersedia di depannya. Hahaha memang sungguh mengherankan.
Tidak mau ambil pusing, lelaki itu langsung menekan tombol lift dan masuk ke dalam. Dan betapa kagetnya di saat dia akan menekan kembali tombol lift, Rani secepat kilat langsung masuk ke dalam.
"Loh...?" Lelaki itu di buat bingung lagi melihat tingkah Rani.
"Hehehe, maaf Tuan. Saya berubah pikiran. Naik lift sepertinya akan lebih cepat sampai di tempat tujuan." Rani cengar-cengir yang di paksakan, menggaruk tangannya yang tidak gatal malu setengah mati dengan keadaan sekarang.
"Ada ada saja." Hanya bisa mengeluh dalam hati. Lelaki itu langsung menekan tombol nomer lantai tujuannya.
Dan tingkah lelaki itu sukses membuat Rani kegirangan karena sepertinya tujuan mereka sama. Hingga dia tidak perlu menekan tombol lift nya.
"Pergerakan dan penampilannya tidak menunjukkan kalau dia pekerja kantor. Delivery makanan buka. OB juga bukan. Kantor si Ansell kurang penjagaan ya sampai sembarangan orang bisa masuk ke kantornya." Lelaki itu mengoceh dalam hati. Terus memperhatikan Rani yang sampai sekarang masih terlihat mencurigakan. Di tambah lagi tangan Rani yang dari tadi memeluk sekuat tenaga sebuah Tas yang berisi dokumen dokumen yang Alika titipkan pada nya.
Lamunan lelaki itu terbuyarkan dikala ada panggilan masuk di ponselnya.
"Alex, kau masih di mana, jangan sampai kita tinggal ya gara gara loe telat"
Seseorang di balik telepon memanggil namanya.
"Lima menit lagi sampai." Jawab Alex singkat. Rupanya lelaki itu tidak lain Alex yang sudah di tunggu Raka dan yang lainnya di ruangan Ansell.
Pintu lift terbuka. Alex bergegas keluar. Dia terkejut karena wanita yang tadi di dalam lift juga ikut keluar di belakangnya.
"Sebenarnya siapa wanita ini? Bukannya di lantai ini khusus ruangan kerja Ansell dan David. Mau apa wanita ini ke sini?"
Alex kaget sendiri. Lebih kaget lagi karena Rani tanpa basa-basi melangkah mendahuluinya.
"Hei...!" Refleks Alex memanggil Rani.
"Tuan memanggil saya?" Rani menghentikan langkahnya. Menoleh kebelakang.
"Mau apa anda ke sini?" Loh kenapa jadi kepo dengan urusan orang lain? Ini bukan seperti Alex yang biasanya.
"Saya mau menemui Tuan Ansell." Rani malah dengan begitu santai menjawab.
"Loh, dia kenal Ansell?"
Dua genre yang berbeda. Namun tujuan mereka sama. Walau sama sama bingung dengan kehadiran keduanya. Dua anak Adam itu kini sama sama beriringan menuju ruangan Ansell.
Rani berjalan santai di depan, dia tidak heran pasti ada banyak orang yang akan menuju ruangan Ansell karena secara Ansell adalah pemimpin perusahaan di sana. Namun berbeda dengan Alex, ia masih menggelengkan kepala. Kenapa bisa ada orang udik yang akan menemui Ansell dengan begitu santainya.
Pintu ruangan Ansell terbuka. Ansell, David dan Raka yang sudah ada di dalam langsung menoleh ke arah pintu. Langsung di suguhkan pemandangan indah, yang mungkin jarang mereka temui sebelumnya.
Rani berdiri di posisi paling depan, mungkin berbeda tiga langkah dengan Alex yang berdiri dengan santai di belakangnya.
"Loh Bos, bukanya Gus Ali tidak pernah mau memperkenalkan mereka? Tapi kenapa mereka bersama dan terlihat begitu akrab." Hahaha akrab mata lu peang. Kami tidak sengaja berpapasan. Begitu mungkin kira kira kalau sampai Alex mendengar perkataan Raka.
David dan Ansell ikut tersenyum kecil. Tidak buruk juga jika menjodohkan mereka.
"Entahlah, Alika tadi menelepon kalau dia menitipkan dokumen nya pada Rani."
"Assalamualaikum..." Walau canggung, Rani perlahan masuk. Langsung di suguhkan senyuman tiga laki-laki yang akan menjodohkan dirinya dengan seorang lelaki yang berdiri tepat di belakangnya.
"Waalaikumsalam..." Secercah menteri pagi. Tiga laki-laki itu menjawab kompak salam Rani.
"Alika ke mana? kenapa kamu yang mengantarkan nya?" Ansell mulai bertanya saat sudah menerima apa yang tadi di bawah oleh Rani.
" Teh Alika sedang sakit Tuan." Menjawab dengan canggung.
Percakapan Ansell dan Rani menyelusup ke pendengar Alex yang baru masuk ke ruangan.
"Wanita itu juga kenal dengan Alika, bahkan Alika mempercayakan berkas berkas penting itu pada wanita udik ini? Lucu sekali. Siap sebenarnya Dia."
Alex terkejut, matanya kini menoleh ke arah David dan Raka mencari jawaban.
Melebarkan mata seolah bertanya siapa wanita ini sebenarnya.
David dan Raka malah kompak mengangkat bahu, belum saatnya mereka melancarkan aksinya karena masih ada Rani di sana.
"Terima kasih telah mengantarkan ini, tunggu lah di bawah. Nanti sopir kantor akan mengantarkan mu."
Rani sudah menyaksikan tugasnya. Hatinya merasa sedikit lega karena sejauh ini dia bisa lebih berani melakukan aktivitas tanpa di temani Alika. Sungguh pengalaman baru baginya.
Kini tertinggal empat laki-laki di dalam ruangan.
Alex langsung melancarkan pertanyaan. Penasaran dengan wanita yang tadi bersamanya.
"Sell, kau dan Alika bahkan mengenal nya. Siapa Dia?" Langsung to the point ternyata.
"Bukannya itu calon istri loe. Ku kira kalian sudah saling mengenal." David terbahak. Dia refleks menjawab pertanyaan Alex.
"Gue sedang serius. Jangan bercanda."
"Serius Lex, dia cocok menjadi istrimu." Raka kini ikut menimpali, memperkeruh kesabaran Alex.
"Kalian bisa diam gak hah? Gue lagi gak mood baku hantam."
Kesabaran Alex sudah terkikis karena David dan Raka terus mengoceh sesuatu yang menurutnya tidak masuk akal.
Calon istri dari mana? Masuk di kriterianya saja tidak, bagaimana bisa jadi calon istrinya.
Sungguh membuatnya jadi geram.
"Dia kerabatnya Gus Ali. Dia juga bekerja membantu Alika di toko kue nya. Bagaimana? Dia lumayan kan? Berta'aruflah dengan nya. Bukannya waktu itu kau meminta ku mencarikan wanita untuk mu. Tuh, Rani. Sepertinya kalian cocok."
Dengan santainya Ansell bicara, tidak mempedulikan ekspresi Alex yang seakan ingin melahapnya hidup hidup karena terlalu geram.
"Kau bercanda hah. Gue mau wanitanya paling tidak yang lebih modis dong Sell. Masa cewek udik kaya dia. Ogah gue."
"Hahaha, jangan terlalu meledak nya Lek. Kualat loe nanti beneran cinta sama Rani. Dia sebenarnya kan Cantik. Cuma belum terbiasa saja hidup di kota." Raka menimpali.
Namun Alex tetap kukuh dengan pandangannya.
"Ogah. Kaya dunia sebesar daun sirih saja. Masa setelah mantan kekasih ku menjadi istrinya sekarang Aku dekat dengan kerabatnya."
"Hahaha. Wah parah. Pribahasa loe salah woi."
Raka dan David terbahak, serasa ada mainan lucu kalau sudah mengerjai Alex.
"Terserah, mau benar atau salah. Yang jelas gue Ogah."
"Hahaha. Dasar bujangan lapuk loe."
nungguin lho bolak balik cek blm up jg
apalagi dengan tokoh zahra...
🙏🙏