Sejak usia lima tahun, Raya Amelia hidup dalam neraka buatan ayahnya, Davin, yang menyalahkannya atas kematian sang ibu. Penderitaan Raya kian sempurna saat ibu dan kakak tiri masuk ke kehidupannya, membawa siksaan fisik dan mental yang bertubi-tubi. Namun, kehancuran sesungguhnya baru saja dimulai, di tengah rasa sakit itu, Raya kini mengandung benih dari Leo, kakak tirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
01
“RAYA! KE SINI KAMU!”
Langkahku tertahan. Lututku terasa lemas. Aku melangkah pelan menuju tempat dimana ayahku berada, dadaku berdebar kencang, rasanya seperti jantungku akan melompat keluar dari tempatnya semula. Suara langkah kakiku terdengar begitu nyaring saat menapaki lantai marmer yang terasa sangat dingin. Seolah seisi rumah turut menantikan adegan apa yang akan terjadi selanjutnya, dari kisah hidupku yang terlihat seperti drama tragis tak berkesudahan.
Ayah berdiri membelakangi sebuah jendela besar yang membiasakan cahaya matahari sore. Siluet tubuhnya tampak seperti bayangan gelap yang sangat mengintimidasi, wajahnya merah padam dan nafasnya memburu. Pecahan gelas yang berserakan di atas lantai mengkilap, seperti sedang menggambarkan ketakutan dan keputusan yang setiap hari menghiasi rumah ini.
" SUDAH BERAPA KALI AKU KATAKAN,? JANGAN MEMBUAT AKU MALU," bentaknya.
Aku menunduk, aku tidak tahu apa yang telah aku perbuat kali ini, aku bahkan belum sempat untuk berbicara pada siapapun sejak tadi pagi. Tapi itu tidak penting, di rumah ini salah ataupun tidak aku akan tetap disalahkan.
"Aku baru saja mendapat telepon dari sekolah katanya nilai ulangan mu jelek! KAU INGIN ORANG-ORANG MENGGANGAP KU TIDAK BECUS DALAM MENDIDIK ANAK, HAH,"
" Maafkan Raya yah, Raya belum sempat belajar kemarin karena...." Ucap ku dengan suara bergetar, mencoba untuk menjelaskan namun itu percuma ayah tidak akan pernah bisa mendengar suaraku.
PLAK...
sebuah tamparan mendarat dengan keras di pipiku, rasanya panas dan perih. Sudut bibirku robek hingga mengeluarkan darah. Ayahku tak hanya menyakiti fisikku, tetapi juga harga diriku sebagai anak kandungnya yang terabaikan.
" ALASAN, DASAR ANAK PEMBAWA SIAL! KENAPA TUHAN MEMBERIKANKU ANAK PEMBUNUH SEPERTI MU,"
PLAK...
tamparan yang berulang itu kembali mendarat di pipiku hingga membuat tubuhku terhuyung ke belakang. Aku hanya terdiam, menahan semua kesakitan yang telah ayah berikan kepadaku. Aku selalu menantikan hari dimana aku dapat kembali tersenyum dan menghirup udara segar tanpa adanya bayang-bayang ketakutan yang menghantui.
Aku menunduk kan kepalaku, menahan air mataku yang hampir tumpah. Ayah pergi meninggalkan ku sendiri di rumah tamu begitu saja. Meninggalkan hawa dingin dan aroma kemarahan yang menggantung di udara.
...
Malam itu aku duduk di sudut kamar, meratapi betapa malangnya kehidupan yang aku jalani. Tubuhku masih terasa sakit, bukan hanya karena tamparan yang telah ayahku berikan tadi. Tetapi juga karena luka lama yang tak kunjung sembuh. Aku menatap langit-langit kamar yang gelap, dan dengan suara pelan aku mulai berbicara seolah-olah ibuku bisa mendengar ku.
" Maa... Raya lelah." Ucapku dengan airmata yang berlinang membasahi pipi. Hingga aku tersadar kembali bahwa ada pekerjaan yang belum aku lakukan yaitu menghidangkan makan malam.
Segera aku bangkit sembari mengusap air mataku, dan berjalan pelan menuju arah dapur. sesampainya di dapur, aku segera mengambil piring dan juga gelas dari dalam lemari. Lalu menyusunnya di atas meja makan, tak lupa dengan beberapa jenis menu makanan yang telah di buat oleh bik asih. Setelah merasa selesai aku segera kembali ke dapur untuk makan malam, pasalnya saat ini perutku terasa keroncongan dan aku juga membutuhkan tenaga untuk melanjutkan hidupku yang bagaikan di neraka ini.
Dari arah dapur, aku dapat melihat ayah bersama dengan Linda ibu tiri ku, sedang menuruni anak tangga dan disusul oleh Leo yang berjalan di belakang mereka, menuju ke arah meja makan. Saat di meja terdengar suara canda dan tawa di antara mereka, layaknya sebuah keluarga yang tengah di landa kebahagiaan. Sesekali aku mendengar mereka membahas tentang nilai sekolah Leo, Leo yang mendapat prestasi dalam bidang olahraga basket, serta prestasi-prestasi lain yang Leo dapatkan. Dari kejauhan terlihat, ayah ku sangat bangga terhadap putra sambung nya itu. Hingga ayah mengatakan akan mewariskan sebagaian besar perusahaan miliknya kepada Leo saat ia lulus universitas nanti.
Aku tidak iri pada Leo yang akan mendapatkan perusahaan milik ayah ku. aku hanya iri saat ia bisa mendapatkan kasih sayang ayah ku, yang selama ini tidak bisa aku dapatkan.
" Bagaimana rasanya di campakkan," ucap Leo yang entah sejak kapan dia berdiri dihadapan ku.
Aku tidak menghiraukan perkataan yang ia lontarkan, hanya sedikit melirik ke arah meja makan yang sudah kosong. Entah sudah berapa lama aku melamun, hingga piring nasi di hadapan ku saja belum tersentuh sama sekali.
" Bagaimana rasanya di benci oleh orang tua mu sendiri," ucap nya lagi dengan seringai yang menakutkan bagiku.
"Raya sudah selesai makan, Raya permisi dulu kak," ucapku seraya bangkit dari duduk karena tak ingin berlama-lama bersama dengan pria menakutkan itu.
PRRRANGG...
Suara pecahan piring yang menghantam lantai, nasi beserta lauk pauk yang belum sempat aku makan pun berserakan di lantai.
" Pungut," ucap Leo dingin, sembari menunjuk ke arah pecahan piring yang baru saja ia lemparkan.
" CEPAT,".
" Baik kak," sahutku, perlahan aku mulai berjongkok untuk memungut serpihan piring itu, tubuhku mulai gemetar karena ketakutan karena aku tahu, drama penyiksaan itu akan kembali terjadi.
" Aw, kak Leo ampun." ucapku, saat tangan ku di injak dengan kuat oleh Leo.
" Kamu, sudah berani mengabaikan ku yaa, apa telinga mu sudah berhenti berfungsi," ucap nya dengan kaki yang masih berada di atas telapak tangan ku.
Air mata ku mengalir deras, saat merasakan perih pada tangan ku yang terkena serpihan beling, darah segar mengalir cukup deras, hingga menimbulkan bercak merah pada lantai marmer yang berwarna putih.
" Ampun kak, Raya minta maaf... sakit kak,".
" Sialan,".
BUGHH...
Tendangan Leo mendarat tepat di perutku, keras dan tanpa ampun. Hingga membuat tubuhku terlempar ke belakang, seolah aku tidak lebih dari boneka kain yang tak berdaya. Perutku terasa sangat sakit akibat tendangan itu, hingga membuat aku kesulitan untuk bernafas, tubuh ku lemas dan aku nyaris pingsan. Dan tanpa rasa bersalah Leo berlalu pergi meninggalkan aku yang masih tergeletak sembari merintih kesakitan di atas lantai.
" Astagfirullah, non Raya." ucap bik asih, dan dengan cepat berlari ke arah ku untuk menolong ku.
" Non Raya nggak apa-apa?, sini biar bibi bantu," ucapnya mulai membantu ku untuk berdiri. Dan mendudukan ku kembali ke kursi. Mengambil kan aku segelas air putih agar aku merasa tenang. Perlahan ku teguk air dalam gelas tersebut hingga tak bersisa, dan mengatur kembali pernapasan ku yang sempat tersengal.
" Bik, tolong bantu aku ke kamar," ucapku dengan suara nyaris tak terdengar. Setelah sampai di kamar, bik asik lalu membantu untuk berbaring, dan dengan cepat ia kembali ke dapur untuk mengambil air hangat yang akan digunakan untuk membersihkan luka di tangan ku.
" Non, kenapa selalu seperti ini," ucapnya dengan air mata yang berlinang sembari menyeka darah yang terdapat pada tanganku, dan mencabut beberapa serpihan beling yang tertancap di sana.
" Non, ayo kita pergi dari sini,".
" Nggak bisa bik, jika aku pergi dari sini, mama akan kesusahan mencari ku," ucap ku tanpa ekspresi seakan tubuh ku telah kebal terhadap kekerasan fisik. Mendengar perkataan ku, entah mengapa tangis bik asih semakin kencang dan terdengar sangat menyayat hati.