NovelToon NovelToon
Time Travel: Kali Ini Aku Akan Mengalah

Time Travel: Kali Ini Aku Akan Mengalah

Status: sedang berlangsung
Genre:Pengganti / Keluarga / Time Travel / Reinkarnasi / Fantasi Wanita / Mengubah Takdir
Popularitas:7.3k
Nilai: 5
Nama Author: Aplolyn

Di kehidupan sebelumnya, Emily begitu membenci Emy yang di adopsi untuk menggantikan dirinya yang hilang di usia 7 tahun, dia melakukan segala hal agar keluarganya kembali menyayanginya dan mengusir Emy.
Namun sayang sekali, tindakan jahatnya justru membuatnya makin di benci oleh keluarganya sampai akhirnya dia meninggal dalam kesakitan dan kesendiriannya..
"Jika saja aku di beri kesempatan untuk mengulang semuanya.. aku pasti akan mengalah.. aku janji.."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aplolyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 17

Keesokan harinya, suasana rumah besar keluarga Hambert terasa berat. Ayah duduk di ruang tamu dengan wajah serius, sementara Emy duduk di sampingnya dengan mata merah seolah habis menangis.

Emily baru saja turun dari tangga ketika pandangan mereka bertemu.

“Emily,” suara ayahnya berat dan dingin, “duduk.”

Emily tahu, nada itu bukan nada permintaan, melainkan perintah. Dengan hati-hati ia mendekat dan duduk di kursi seberang. Tatapan Emy penuh kemenangan, meski wajahnya berpura-pura murung.

Ayah meletakkan sebuah ponsel di meja. “Jelaskan ini.”

Emily tertegun melihat rekaman suara di layar ponsel. Itu adalah rekaman dirinya.. atau lebih tepatnya, suara yang sangat mirip dengannya. Isinya penuh kalimat marah, menghina ayah dan Ethan.

“Ayah, itu bukan aku! Aku nggak pernah bilang kayak gitu!” seru Emily panik.

Emy menunduk sambil menyeka air matanya. “Ayah.. aku juga awalnya nggak mau bilang, tapi aku nggak tahan lagi kalau Kak Emily terus begini. Aku sayang sama Ayah, tapi.. Kak Emily sepertinya memang benci sama keluarga ini.”

Emily menoleh cepat ke arah Emy. “Kamu bohong! Itu pasti kamu yang atur semua! Suara itu bisa aja dipalsukan!”

Ayah menggebrak meja dengan keras. “Cukup, Emily! Selama ini aku sudah menutup mata. Tapi kali ini sudah keterlaluan!”

Emily tercekat. Jantungnya berdetak kencang.

“Ayah.. tolong dengar aku dulu. Aku..”

“Tidak ada yang perlu di dengar!” potong ayah dengan suara lantang. “Dari kecil kau memang selalu membuat masalah. Sekarang bahkan berani menghina ayahmu sendiri?!”

Suasana makin mencekam. Ethan yang baru pulang kerja ikut masuk ke ruang tamu, melihat semua itu. Ia terdiam, matanya bergeser dari Emily ke Emy.

“Emily,” kata ayah lagi, nadanya menusuk, “aku kecewa padamu. Jika kau tidak bisa berubah, maka jangan salahkan aku bila.. aku tidak lagi menganggapmu sebagai anak.”

Kata-kata itu menghantam Emily seakan dunia runtuh di sekelilingnya. Tubuhnya gemetar, matanya panas.

“Ayah.. kau benar-benar lebih percaya pada Emy daripada aku?” suaranya bergetar, hampir pecah.

Ayah tidak menjawab. Diamnya sudah cukup jadi jawaban.

Emy segera memeluk ayah, pura-pura tersedu. “Ayah.. jangan marah lagi. Aku yakin Kak Emily hanya.. tersesat. Tapi aku selalu sayang sama dia.”

Emily menatap adegan itu dengan perasaan hancur. Ia bisa melihat senyum licik terselip di wajah Emy saat memeluk ayah, meski hanya sekilas.

Di sudut ruangan, Ethan menunduk. Meski hatinya masih bergejolak, keraguannya pada Emily semakin kuat. Baginya, semua bukti seolah menuntun ke arah yang sama: Emily bersalah.

Emily berdiri, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. “Kalau begitu.. aku nggak ada artinya lagi di rumah ini.”

Dia berbalik dan berlari ke kamarnya, meninggalkan ayah dan Ethan yang terdiam, sementara Emy tersenyum samar di balik tangis pura-puranya.

Malam itu, setelah Emily mengurung diri di kamar, Emy berdiri di depan cermin kamarnya sendiri. Wajahnya yang lembut memantulkan senyum tipis penuh rencana.

“Sebentar lagi, Kak Emily… kau akan keluar dari rumah ini dengan sendirinya,” bisiknya pada pantulan dirinya.

Emy membuka laptopnya. Ada beberapa dokumen yang sudah dia siapkan, bukti transfer palsu, tangkapan layar pesan singkat yang sengaja dia edit, seolah-olah Emily berhubungan dengan orang luar untuk menjual informasi perusahaan ayah mereka.

Dia tahu, titik terlemah ayah adalah loyalitas. Selama ini, ayah selalu menganggap keluarga dan nama besar Hambert sebagai harga mati. Sekali Emily terlihat seperti mengkhianati keluarga, maka tamatlah riwayatnya.

“Besok.. aku akan tunjukkan ini pada Ayah,” gumamnya, matanya berkilat. “Dan Ethan.. kau pasti akan ikut menjauh darinya.”

***

Keesokan paginya, Emy menunggu moment yang tepat. Saat ayah sedang bersiap berangkat kerja, dia mengetuk pintu ruang kerja.

“Ayah..” suaranya lirih, pura-pura ragu. “Aku nggak tahu harus bilang ke siapa lagi. Tapi aku temukan sesuatu yang.. membuatku takut.”

Ayah mengangkat wajahnya. “Apa lagi, Emy?”

Dengan tangan bergetar, aktingnya begitu meyakinkan, Emy menyerahkan laptop yang sudah ia siapkan.

Di layar, terlihat email yang dikirim atas nama Emily, berisi janji untuk memberikan dokumen perusahaan pada seorang investor asing dengan imbalan uang.

Ayah membaca dengan wajah yang semakin mengeras. “Ini.. Emily?”

Emy mengangguk pelan. “Aku juga kaget, Yah. Aku tahu Kak Emily kadang keras kepala.. tapi aku nggak nyangka sampai seperti ini. Aku takut Ayah marah kalau aku simpan sendiri, jadi.. lebih baik aku jujur.”

Ayah berdiri, napasnya berat. Tangannya mengepal di meja.

“Emily sudah keterlaluan! Dia bukan hanya melawan keluarganya, tapi juga mencoba menjatuhkan perusahaan yang kubangun dengan darah dan keringat!”

Emy pura-pura menahan tangis. “Ayah, jangan marahi Kak Emily terlalu keras.. aku yakin dia pasti ada alasan.”

Tapi di dalam hatinya, Emy tertawa puas. Ia tahu kata-kata itu hanya akan membuat ayah semakin yakin bahwa dialah anak yang baik dan setia.

Sementara itu, Ethan yang mendengar percakapan itu dari balik pintu semakin goyah. Dalam benaknya muncul gambaran Emily yang selalu membantah, bersikap keras, dan kini.. semua itu tampak masuk akal.

“Jadi benar.. Emily tega melakukan ini?” pikirnya, matanya meredup.

Emy menatap pintu sebentar, menyadari Ethan mendengar. Senyumnya melebar tanpa terlihat siapa pun.

“Sekarang tinggal tunggu waktu.. sebentar lagi Kak Emily akan sendirian, tanpa siapa pun di sisinya.”

Sore itu, ruang makan keluarga Hambert terasa lebih dingin dari biasanya. Emily baru saja duduk, mencoba menahan perasaan lelah setelah hari yang panjang, ketika ayahnya menatapnya dengan sorot mata tajam.

“Emily,” suara berat itu menggelegar, membuat garpu di tangannya hampir terjatuh.

“Ya, Ayah?” jawabnya hati-hati, merasa ada sesuatu yang tak beres.

Ayah meletakkan beberapa lembar kertas di atas meja. Dari jauh Emily bisa melihat, itu adalah tangkapan layar email.

“Jelaskan ini.”

Emily meraih kertas itu dengan alis berkerut. Matanya melebar saat membaca. Sebuah email, seolah-olah dikirim dari alamatnya, berisi negosiasi dengan pihak asing untuk menjual dokumen internal perusahaan.

“Itu.. bukan aku, Ayah!” seru Emily cepat, wajahnya pucat. “Aku nggak pernah kirim email seperti ini!”

Ayah membanting tangannya ke meja. Suara dentumannya membuat Ethan dan Emy yang duduk di sisi lain meja tersentak.

“Berhenti bohong, Emily! Kau pikir aku bodoh? Email ini jelas-jelas dikirim dari akunmu!”

Emily menggeleng keras. “Ayah harus percaya aku! Aku bahkan nggak tahu cara dapat dokumen-dokumen perusahaan. Aku cuma..”

“Cukup!” potong ayah, nadanya penuh kekecewaan. “Sejak kau kembali, masalah selalu datang. Kau melawan Emy, membuat keributan di kampus, dan sekarang mencoba menghancurkan nama keluarga ini. Apa kau memang tidak pernah peduli pada keluarga ini?”

Emily merasa dadanya sesak. Ia menoleh ke arah Ethan, berharap kakaknya membela. Namun Ethan hanya menatapnya dengan ragu, seolah tak yakin lagi padanya.

“Ethan.. kau juga percaya aku kan?” suaranya lirih, hampir patah.

Ethan menunduk, enggan bertemu tatap dengan Emily. “Emily.. aku nggak tahu harus percaya siapa sekarang.”

Itu lebih menusuk dari seribu tuduhan.

Sementara itu, Emy duduk diam di kursinya, wajahnya dipenuhi ekspresi prihatin yang begitu meyakinkan. Sesekali ia menunduk, pura-pura menahan tangis. Tapi tatapan singkatnya pada Emily, hanya sepersekian detik namun sangat menyatakan bahwa dirinya penuh kemenangan.

Ayah akhirnya berdiri, napasnya berat. “Mulai hari ini, aku tidak ingin kau ikut campur dalam urusan keluarga maupun perusahaan. Kalau masih ada satu kesalahan lagi… jangan harap kau bisa tinggal di rumah ini!”

Emily terpaku di kursinya. Matanya memanas, hatinya seperti hancur. Ia ingin berteriak, membela diri, tapi semua kata-kata tersangkut di tenggorokannya.

Satu-satunya hal yang dia tahu bahwa dirinya baru saja dijebak.

Dan yang lebih menyakitkan, ayahnya mempercayai kebohongan itu lebih dari dirinya.

Malam itu, Emily duduk sendiri di kamarnya. Lampu redup, dan buku sketsanya terbuka di pangkuan.

Tangannya bergetar, kuas yang biasanya ia gunakan untuk menghidupkan lukisan kini hanya menggores kosong tanpa bentuk.

Sejak percakapan di ruang makan tadi, telinganya terus terngiang suara ayahnya, suara yang saat kecil selalu menjadi tempatnya mencari perlindungan.

"Kalau masih ada satu kesalahan lagi.. jangan harap kau bisa tinggal di rumah ini!"

Kalimat itu menusuk begitu dalam.

Emily terisak pelan, menutup wajah dengan kedua tangannya. Selama ini ia berusaha bersikap baik, menahan diri agar tidak membuat masalah, bahkan rela mengikuti Emy meski hatinya menolak. Tapi hasilnya? Tetap saja ia yang disalahkan.

“Kenapa aku selalu yang jadi salah? Aku nggak pernah dimengerti.." bisiknya lirih.

Di kamar sebelah, Emy tertawa kecil sambil menelpon seseorang. Emily bisa mendengarnya samar, suara yang penuh kepuasan, seolah semua rencananya berjalan sesuai harapan. Itu semakin membuat hati Emily runtuh.

“Ayah nggak akan pernah percaya aku"

“Ethan pun mulai ragu… siapa lagi yang bisa kuandalkan?”

Untuk pertama kalinya, Emily merasakan kembali bagaimana kecewanya dia dulu pada ayah dan kakaknya yang selalu memihak pada Emy. benar-benar sendirian di rumahnya sendiri.

Mungkin benar, Emy adalah sosok anak yang di idamkan merema, apalagi mereka mengadopsinya ketika Emily hilang, pasti sudah banyak kenangan yang Emy buat bersama ayah, kakaknya dan juga almarhum ibunya.

Dia adalah anak kandung yang malah seperti bayangan dalam keluarga tersebut.

1
Cty Badria
tinggal keluarga y hanya ngangap alat, tidak suka jalan y bertele, pu nya lemah banget
Lynn_: Terimakasih sudah mampir ya kak😇
total 1 replies
Fransiska Husun
masih nyimak thor
Fransiska Husun: /Determined//Determined/
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!