“Sekarang, angkat kakimu dari rumah ini! Bawa juga bayi perempuanmu yang tidak berguna itu!”
Diusir dari rumah suaminya, terlunta-lunta di tengah malam yang dingin, membuat Sulastri berakhir di rumah Petter Van Beek, Tuan Londo yang terkenal kejam.
Namun, keberadaanya di rumah Petter menimbulkan fitnah di kalangan penduduk desa. Ia di cap sebagai gundik.
Mampukah Sulastri menepis segala tuduhan penduduk desa, dan mengungkap siapa gundik sebenarnya? Berhasilkah dia menjadi tengkulak dan membalas dendam pada mantan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sulastri 17
Matahari baru mengintip di kaki barat, kokok ayam riuh terombang-ambing penjual dan pembeli yang sedang tawar menawar. Di jalanan grobak-grobak pembawa hasil panenan mengantri, buruh pikul mondar-mandir mengantarkan barang dagangan.
Pasaran kliwon memang selalu ramai dengan pedagang-pedagang pendatang, sekedar mencari peruntungan.
Di tengah pasar, para biang gosip sibuk menyusun dagangan sembari menutup hidung rapat.
“Ora, lo, Jah. Opo seng kok uyuhne? Ngasi seminggu jek malek ambune?!” oceh Nur.
(Nggak, lo, Jah. Apa yang kamu kencingkan? Sampai seminggu baunya masih tajam).
Paerah yang sedang menyusun cabai terbahak seketika. “Lha iya, to, Nur. Kalau pas rasan-rasan ae sampe miring-miring mulutnya, giliran didatangi … ngompol.”
Ijah menggaruk tengkuknya yang tak gatal sembari cengengesan. “Gemeteran tenan aku pas itu.”
“Tapi aneh, lo, mosok Den Kartijo sampe turun ke pasar buat tanya? Apa si Kumis itu nggak laporan?” tanya Nur sembari menyiramkan air sirih bercampur jeruk nipis di sekitar lapaknya.
“Wes laporan, tapi tidak digubris,” sahut si Kumis—Kasman yang tiba-tiba datang.
“Panjang umur tenan kamu, Pakde,” celetuk Ijah.
Kasman menyeringai tipis. “Buntelke(bungkusin) jamu Pahitan sama sirih dua, terus paremnya satu.”
“Buat siapa, Man. Kok njamu mbarang?” tanya Paerah.
“Ndoro ayu.”
“Biyuh, sampean itu jane kusir dokar apa suaminya, to, Pakde? Kok semua di kerjani,” seru Nur sambil menyiapkan pesanan.
Kasman menghela napas pelan, jari-jarinya memelintir ujung kumis. “Namanya juga jongos, ya kudu manut juragan'e. Sama kaya gundik, manut yang ngeloni.”
Paerah yang sedang berdiri di samping Kasman sontak memukul pundak laki-laki itu. “Koe itu kalo ngomong kok mesti sukur mlinyeh (asal mangap), Man. Jian ora dwe wedi blas.” (Tidak punya takut sama sekali)
Kasman tertawa pendek, suaranya pelan namun penuh kepura-puraan. “Ya benar to, Lastri buktinya. Dijemput baik-baik, eh … malah suaminya dihajar Londo diam saja. Ujung-ujungnya Ndoro putri lagi yang ngurusi.”
Tiga biang gosip pun terbelalak seketika, Ijah yang sedari tadi sedang menimbang kopi langsung menghentikan kegiatannya, begitu juga Paerah, cabai-cabai yang sedang dipilah bagian busuknya kembali bercampur dalam satu tampah.
“Piye maksude, Man?!”
Kasman menatap sekitar, lalu mecondongkan badannya ke lapak milik Ijah. “Kemarin Den bagus itu datang, berniat mau menjemput Lastri, malah bonyok dihajar Londo.”
Ijah menegakkan berdirinya, kedua tanganya mengelus dada—tak percaya. “Kok sampe segitunya, to?”
“Ya, begitulah perempuan, kalau sudah edan sama batang lupa segalanya,” sahut Kasman. “Uwes semua jamunya, Yu?” lanjutnya.
“Uwes, Pakde.”
“Piro?”
“Rong perak(dua perak),” sahut Nur sembari menyodorkan pesanan jamu milik Kasman.
Kasman pun menyodorkan dua koin uang satu perakan. Laki-laki itu kemudian berlalu pergi meninggalkan para biang gosip yang saling berpandang-pandangan—tak percaya dengan kabar yang baru saja didengarnya.
Ijah berulang kali menghela napas, sembari menggeleng pelan. “Benar-benar tidak menyangka, bocah ayu tur alus tapi kelakuannya ngalah-ngalahi begenggek kawakkan.”(pe_lcur senior)
“Lha iyo, kasian istrinya yang sekarang, bagian ngurusin susahnya,” timpal Paerah.
“Piro harga kopi satu kilo, Mbak yu?” tanya seorang pembeli yang mampir di lapak milik Ijah.
“Satus perak,” sahut Ijah, ramah.
“Kok mahal bener, tidak boleh kurang?” tawar pembeli itu.
“Kalau mau saya kasih sembilan puluh lima perak, sudah paling murah itu,” sahut Ijah, kembali.
“Delapan puluh perak saja, kalau boleh. Saya ambil satu kilo,” si pembeli kembali menawar sembari berniat beranjak pergi.
“Tidak bisa, Mbokde. Sembilan puluh itu sudah mentok paling murah. Sampean mau cari dari ujung ke ujung juga tidak ada yang jual harga segitu,” Ijah mencoba meyakinkan calon pembelinya.
Pembeli itu kemudian kembali berdiri di lapak milik Ijah, memilih biji kopi yang akan dibelinya.
“Setengah kilo saja kalau gitu, Mbak yu,” pungkas si pembeli, membuat wajah Ijah tertekuk seketika.
“Kadung di turunin harganya, jebul cuma beli setengah,” protes Ijah sembari mulai menimbang biji kopi.
“Tak pikir-pikir, harga kopi kok lebih mahal dari harga gundik, kopi masih ditimbang ditawar, gundik ngangkang—gratisan,” celetuk Paerah.
“Bener, Rah. Aku kalo inget pas dia minum jamu, masih kaya ndak percaya, bocah sealus itu milih minggat dadi gundike Londo,” timpal Nur.
“Yang sampean maksud Lastri to, Mbak yu?” pembeli itu turut menyahut.
Ijah yang tadinya cemberut, melotot seketika. “Mbokd'e, kenal sama Lastri?”
Pembeli itu tersenyum samar. “Tetangga belakang rumah,” sahutnya, membuat para biang gosip merapatkan telinga seketika. “Sekarang orang tuanya malah bingung jual tanah, mau minggat dari desa saking malunya,” lanjutnya.
“Sampai mau minggat?!” tegas Paerah.
“Iyo, tapi tanah sudah di patok Den Kartijo, apa ada yang berani beli? Kalaupun nekat pasti panjang urusannya,” jelas si pembeli—sok tau.
Para biang gosip pun semakin menggeleng—tak percaya. Satu di antara mereka mengelus dada, satunya berdecak tak menyangka.
“Ya sudah, Mbakyu ini uang kopinya.”
Ijah yang masih mlongo sontak terkejut saat pembeli itu menjatuhkan uang-uang koin di timbangannya.
“Eh … iyo, Mbokd'e. Matursuwun,” ucapnya, saat pembeli itu sudah beranjak pergi.
“Bener-bener bikin wirang wong tuo,” celetuk Nur.
“Bukan wirang lagi, tapi ini sudah aib bukan cuma untuk keluarganya tapi juga desanya. Lihat saja orang tadi cerita saja sampai hati-hati ngomongnya,” timpal Paerah.
“Semoga keluarga kita di jauhkan dari orang seperti itu, Rah,” pungkas Ijah.
Ketiganya kemudian fokus pada lapak mereka seiring pasar yang mulai ramai pembeli. Gosip pagi itu pun teredam tawar-menawar dan gemerincing suara uang logam.
Sementara itu, di balik gerobak yang sedari tadi terparkir di belakang lapak jamu, Dasim mendengarkan dengan saksama.
Pemuda yang beberapa bulan menghilang kembali muncul saat juragan barunya memintanya mengantar berdagang di pasar desa punjer.
Dengan rahang yang mengerat, Dasim menahan amarah atas fitnah yang di tujukan pada Sulastri.
‘Aku harus mencari Den ayu secepatnya,’ geramnya dalam hati.
Bersambung.
Apakah Dasim akan jadi sosok pangeran berkuda untuk Sulastri?
Pantengin terus karya amatiran ini ....
Jangan lupa like dan komennya, misal mau berbaik hati bisa kasih bintang 5
Terimakasih🍁