Kisah perjalanan Raka melakukan ujian Prahya sebelum resmi menjadi Rasi seorang guru Spiritual.
Perjalanan terkadang tidaklah mudah tapi bisa melewatinya dengan kesabaran dan kebijaksanaan.
Kisah ini ada di zaman neolitikum atau zaman batu muda dimana orang orang berpindah tempat nomaden kini menetap peralatan dan berburu masih sederhana menggunakan batu di poles halus menjadi pisau batu, tombak batu dan panah batu.
Tapi ada satu Kerajaan besar zaman neolitikum yang sangat maju peradabannya bahkan sangat di takuti suku suku lain dan bahkan di negeri lain.
Kerajaan itu adalah Lakantara berdiri di atas tanah dengan tembok melingkar konsentris lapis ada 5 tembok dgn status yang berbeda.
Sudah mengenal sistem irigasi, pertanian, sosial, ekonomi dan senjata yang terbuat dari perunggu yang lebih keras dari senjata batu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lukman Mubarok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 - Sebelum Cahaya Turun
Raka kaget melihat Yarun'ru tiba-tiba menutup mulut dan menunduk, wajahnya menegang seolah menahan mual.
"Kenapa, Tuan Yarun'ru?" tanya Raka cepat, cemas.
Belum sempat dijawab, Yarun'ru memalingkan wajah, lalu mengeluarkan suara pelan, seperti menahan muntah.
Raka langsung menaruh makanan di tangannya belalang bakar kering.
"Apakah... makanan ini beracun?" gumamnya bingung.
Yarun'ru mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Raka berhenti.
Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, lalu berkata pelan dengan wajah sedikit memucat,
"Tidak... bukan racun. Hanya saja... aku belum pernah makan... makhluk berkaki enam."
Raka terdiam sebentar, menatap belalang di tangannya, lalu menatap Yarun'ru dengan ekspresi bingung.
"Belalang ini? Tapi di barat, kami biasa memakannya. Rasanya gurih dan asin."
Yarun'ru menatap Raka tak percaya.
"Di Lakantara, bahkan kuda pun diberi makan lebih layak dari itu," katanya setengah tertawa getir, lalu buru-buru menutup hidungnya saat Raka tanpa sengaja mengunyah sisa belalang di mulutnya.
Raka segera berhenti, lalu ikut tertawa kecil.
"Maaf, aku lupa kalau lidah orang istana tak biasa dengan rasa tanah dan abu."
Mereka berdua akhirnya tertawa kecil tawa yang terdengar janggal di tengah sunyi malam.
Namun, tawa itu membuat suasana yang semula tegang perlahan mencair.
Yarun'ru menggeleng pelan sambil tersenyum.
"Tidak kusangka, pewaris ajaran Rasi bisa makan dengan cara seperti pemburu padang. Kau benar-benar murid dari bumi, Raka."
Raka tersenyum sambil menatap bara api yang mulai meredup.
"Bumi tidak memilih. Kadang kita harus makan apa yang ia beri, bukan apa yang kita mau."
Mereka terdiam sejenak.
Suara angin gunung melintas pelan, membawa bau dedaunan basah dan kabut yang turun dari puncak.
Yarun'ru lalu menambahkan ranting ke dalam api.
"Lucu," katanya, "tadi aku hampir muntah karena seekor belalang, padahal aku pernah menatap kematian tanpa gentar."
Raka menatapnya penuh rasa ingin tahu.
"Kadang, hal kecil justru menguji siapa kita sebenarnya," balasnya.
Yarun'ru tersenyum samar, lalu menatap api yang menari di depan mereka.
"Benar. Tapi malam ini aku belajar satu hal darimu bahwa keberanian tidak selalu dari pedang, tapi juga dari perut yang mau menerima pemberian bumi."
Raka tertawa pelan.
"Kalau begitu, kau baru saja melewati ujian pertama dari bumi, Tuan Yarun'ru. Lain kali, aku akan carikan makanan yang lebih 'layak' bagi darah istana."
"Tidak perlu," balas Yarun'ru, menatapnya dengan nada hangat.
"Mungkin suatu saat aku akan belajar memakan belalang juga."
Api di antara mereka menyala lembut.
Dua sosok berbeda asal, kini duduk berdampingan dalam satu cahaya kecil seolah bumi sendiri sedang mempertemukan dua hati yang dipisahkan tembok.
Raka pun mengeluarkan sesuatu dari gulungan kain serat sepotong ikan asap yang dibungkus daun talas.
Aroma gurihnya segera memenuhi pondok kecil itu, bercampur dengan bau asap kayu yang lembut.
"Ini... ikan asap dari suku Latahna," kata Raka sambil tersenyum,
"aku mengasapinya 5 hari lalu. Masih layak dimakan."
Ia memotong sebagian kecil, lalu menyerahkannya pada Yarun'ru Beta.
"Tapi panaskan dulu di dekat api. Dagingnya akan lebih lembut."
Yarun'ru menerima dengan hati-hati, menaruh potongan itu di ujung tongkat kecil, lalu memanaskannya di atas bara.
Asap tipis mengepul, mengeluarkan aroma tajam yang menggoda tapi bagi Yarun'ru, aromanya terasa asing, seperti sesuatu yang terlalu kuat dan kasar.
Setelah agak hangat, ia mencicipinya pelan.
Sekejap, wajahnya berubah.
Bukan jijik tapi jelas rasa yang asing membuat lidahnya menegang.
Raka menatapnya penasaran.
"Tidak enak?" tanya Raka pelan.
Yarun'ru menggeleng cepat, berusaha sopan.
"Tidak... hanya... terlalu... hhhmm," katanya, mencoba mencari kata yang halus.
Raka menahan tawa, tapi akhirnya tak kuat juga.
"Rasa bumi memang tak pandai berbohong," ujarnya.
Yarun'ru tersenyum kecut, lalu membuka kantung kecil di pinggangnya.
Ia mencubit sedikit garam halus dari dalam, menaburkannya di ujung jarinya, kemudian mengusapkannya perlahan ke permukaan daging asap itu.
Ia mencoba lagi, kali ini wajahnya sedikit lebih tenang.
"Hmm... baru terasa hidup," katanya sambil mengangguk kecil.
Raka menatapnya dengan senyum geli.
"Lidah istana rupanya tak mau kalah dari garam bumi."
Yarun'ru tertawa pelan.
"Bukan soal kalah atau menang... hanya soal mengenal rasa. Kadang, garam kecil bisa membuat yang sederhana jadi berarti."
Raka mengangguk.
"Dan kadang, kesederhanaan justru membuat garam jadi berguna."
Keduanya pun makan dalam diam, ditemani api kecil yang terus menari di tengah malam.
Hening tapi hangat seperti dua dunia yang perlahan mulai belajar memahami satu sama lain, sesuap demi sesuap.
Yarun'ru berdiri perlahan, menepuk debu di lututnya.
Ia berjalan ke sudut pondok, mengambil sesuatu yang tertutup daun pisang besar.
Daun itu masih lembap, menandakan baru saja dipetik dari hutan sekitar.
"Ini... bekal dari lembah timur," katanya sambil membuka lipatan daun pisang dengan hati-hati.
Aroma manis segera menyebar, lembut tapi kuat aroma buah matang yang menenangkan.
Ternyata di dalamnya tersimpan potongan buah nangka yang telah dikupas rapi, daging buahnya kuning keemasan, berkilau di bawah pantulan cahaya api.
Yarun'ru mengambil sepotong, lalu menyodorkannya pada Raka dengan senyum hangat.
"Cobalah. Nangka ini tumbuh di lereng Asalga bagian timur. Mengambil buah nangka sudah jatuh ke tanah."
Raka menerima potongan itu perlahan, mencium aromanya sebentar, lalu menggigit sedikit.
Rasa manisnya langsung memenuhi lidah hangat, lembut, dan sedikit bergetah.
"Manis sekali..." katanya sambil tersenyum. "Aromanya begitu harum"
Yarun'ru tertawa kecil, lalu duduk kembali di dekat api.
"Begitulah buah dari tanah yang dijaga bumi yang wilayahnya di jaga harimau, mengambilnya buah matang sudah jatuh di atas tanah."
Raka menatap buah di tangannya lama, lalu berkata pelan,
"Di barat, orang lebih sering memetik sebelum waktunya, karena takut kalah cepat dari burung dan binatang lainnya. Tapi rasanya memang tak semanis ini."
Yarun'ru mengangguk.
"Bumi akan memberi yang manis, kalau kita sabar menunggu waktunya."
Raka tersenyum, mengangguk setuju.
Ia menatap api, lalu menatap buah nangka yang tersisa di tangannya.
"Mungkin bumi memang seperti buah ini," katanya pelan.
"Kalau dipaksa terbuka sebelum matang, yang keluar bukan manis... tapi getah."
Yarun'ru terdiam sejenak, menatap bara api yang berpendar merah di depan mereka.
"Dan manusia," balasnya lirih, "sering lupa bahwa kesabaran adalah bagian dari rasa syukur."
Keduanya lalu makan dalam diam, menatap bara api yang mulai mengecil.
Suasana malam terasa damai.
Angin dari puncak membawa aroma bunga liar dan suara serangga dari kejauhan.
Yarun'ru mulai terlihat lelah. Matanya sayu, suaranya menurun.
Ia menyiapkan alas tidur dari kain serat, lalu mengeluarkan sebotol kecil dari tembaga membuka penutup kayu minyaknya berwarna kehijauan.
Dengan gerakan lembut, ia meneteskan minyak itu di permukaan kain alas tidur, meratakannya dengan telapak tangan.
"Akar wangi," ucapnya pelan. "Kalau dioles pakai jni, serangga tak akan berani mendekat."
Aroma harum segera memenuhi udara lembut, menenangkan, seperti tanah basah yang bercampur wangi akar dan bunga liar.
Raka memperhatikan, lalu tersenyum kecil.
"Harumnya berbeda," katanya. "Lebih hangat daripada ramuan punyaku."
Raka mengeluarkan kantong kecil dari kain seratnya, memperlihatkan sisa minyak buatan sendiri.
"Minyak kemiri, serai batu, dan sedikit getah damar. Biasanya cukup untuk mengusir serangga, tapi aromanya terlalu tajam."
Yarun'ru menoleh sambil tersenyum tipis. "Akar wangi tak hanya mengusir serangga, tapi juga menenangkan hati."
Ia menyodorkan botol kecilnya ke arah Raka. "Coba saja di alasmu."
Raka meneteskan sedikit di kain serat miliknya.
Aroma hangatnya langsung mengisi hidung tidak menusuk seperti serai batu, juga tak lengket seperti kemiri.
"Lembut sekali... rasanya seperti hutan yang baru saja diguyur hujan," gumamnya.
Yarun'ru hanya tersenyum, lalu merebahkan diri di sisi lain api unggun.
"Tidurlah, Raka. Angin Asalga akan tenang malam ini."
Dalam beberapa helaan napas, Yarun'ru sudah terlelap.
Raka menatapnya sebentar, lalu menatap bara api yang mulai meredup.
Aroma akar wangi perlahan menenangkan pikirannya, menuntunnya menuju tidur yang damai.
Pagi itu, kabut tipis masih menggantung di lereng Gunung Asalga.
Udara terasa lembap dan sejuk, daun-daun bergetar pelan diterpa angin yang turun dari puncak.
Yarun'ru Beta terbangun dari tidurnya.
Ia menatap sekeliling api di dalam pondok telah padam, tapi aroma asap tipis masih tersisa di udara.
Ketika menoleh keluar, ia melihat sosok Raka duduk di atas sebuah batu besar agak datar tak jauh dari pondok.
Raka duduk bersila menghadap di mana Cahaya baru saja menembus kabut.
Cahaya lembut di wajahnya, dan dari bibirnya mengalun lantunan wahyu yang tenang namun bergetar makna:
"Barang siapa mengambil barang bukan haknya,
maka baginya bukan bagian dari keimanan."
"Tangan yang kuat, bila dibarengi lisan keyakinan,
akan mampu menundukkan segala kesulitan."
"Telah Kuciptakan manusia sebagai pemimpin bumi,
untuk mengurus alam dan merawat kehidupan."
"Wahyu tidak menampakkan diri pada mereka yang mencari kekuatan,
tetapi pada yang rela kehilangan segalanya.
Hanya mereka yang menyucikan diri dapat menapaki jejak Sang Penerima Wahyu."
Suara Raka lembut, tapi menggema di antara pepohonan dan batu.
Burung-burung yang baru bangun seakan berhenti berkicau, mendengarkan.
Yarun'ru berdiri dipintu pondok, menatap dalam diam.
Ia tahu, yang sedang dibacanya bukan sekadar doa, melainkan pesan dari langit yang masih hidup di bumi.
Dalam benaknya, suara masa lalu perlahan bergema suara seorang tua yang lembut tapi dalam, dari balik jeruji besi yang lembap.
Dulu, Yarun'ru hanya anak kecil yang menatap dengan mata heran dari celah pintu penjara, belum mengerti arti kata-kata itu.
Tapi kini, di siklus ke-15 kehidupannya, semuanya terasa seperti potongan teka-teki yang akhirnya menyatu.
Raka bangkit menunduk, berlutut di atas batu kemudian bersujud lama dengan kedua tangannya menyentuh pijakan.
Angin pagi berhembus melewati rambutnya, membawa aroma tanah basah dan getah pohon seolah alam pun turut bersujud bersamanya.
Raka perlahan bangkit dari sujudnya.
Yarun'ru Beta masih berdiri di ambang pintu pondok, menatap sosok itu lama.
Hatinya bergetar bukan karena lantunan syairnya, tapi karena ia mengenali sebagian dari kata-kata itu.
Langkahnya mendekat pelan.
Daun kering di bawah kakinya berderak lembut.
Ketika jarak sudah cukup dekat, Yarun'ru berkata dengan suara rendah namun jelas:
"Kalimat itu..."
Ia berhenti sejenak, menatap Raka dengan mata yang penuh kenangan.
"Aku pernah mendengarnya."
Yarun'ru menatap jauh ke arah lembah, di mana kabut mulai terangkat, memperlihatkan jalan kecil menuju hutan.
"Bahwa wahyu bukan sekadar suara dari langit,
tapi panggilan yang menuntun langkah kita di bumi."
Ia menarik napas panjang, seperti menahan sesuatu yang sudah lama disimpan.
"Saat aku masih di istana, ayahku memenjarakan beliau di ruang bawah tanah karena dianggap mengajarkan sesuatu yang menentang hukum Lakantara.
Aku... menyelinap ke sana.
Setiap kali penjaga tertidur, aku mendengarkan beliau melantunkan kalimat seperti itu."
Pandangan Yarun'ru menerawang, suaranya melembut penuh hormat.
"Beliau berkata... wahyu bukan milik para penguasa,
tapi milik mereka yang menjaga hati dari keserakahan."
Raka terdiam, matanya perlahan melembut.
"Jadi kau juga pernah mendengarnya langsung..."
Yarun'ru mengangguk perlahan.
"Aku tidak mengerti semua maknanya waktu itu.
Tapi setiap kali beliau bicara, udara di sekitarnya terasa berbeda.
Seolah penjara itu berubah jadi tempat suci."
Ia menatap Raka dalam-dalam.
"Dan pagi ini, ketika kau membaca syair yang sama... aku merasakan hal itu lagi."
Raka menunduk, menatap tanah.
"Wahyu itu masih hidup, Tuan Yarun'ru.
Ia berpindah bukan lewat warisan darah, tapi lewat hati yang masih sanggup mendengarnya."
Yarun'ru terdiam lama.
Angin pagi berhembus lembut di antara mereka, membawa aroma akar wangi dan tanah basah.
Di antara kabut Asalga, dua jiwa dari dunia berbeda akhirnya menemukan bahasa yang sama bahasa wahyu.
Yarun'ru melangkah pelan, lalu menarik pedang dari sarungnya.
Cahaya pagi memantul di bilah logam itu.
Raka tertegun, tak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Raka terlihat bingung apa yang di lakukan Yarun?