Asila Angelica, merutuki kebodohannya setelah berurusan dengan pemuda asing yang ditemuinya malam itu. Siapa sangka, niatnya ingin menolong malah membuatnya terjebak dalam cinta satu malam hingga membuatnya mengandung bayi kembar.
Akankah Asila mencari pemuda itu dan meminta pertanggungjawabannya? Atau sebaliknya, dia putuskan untuk merawat bayinya secara diam-diam tanpa status?
Penasaran dengan kisahnya? Yuk, simak kisahnya hanya tersedia di Noveltoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Dw, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17. Tendangan Super
"Anak itu benar-benar ya! Berani sekali dia melawanku! Lihat aja nanti kalau ketemu!"
Edgar langsung emosi merasa direndahkan oleh bocah kembar itu. Hanya melihat hasil rekaman video dari asistennya saja sudah membuatnya darah tinggi. Bocah kecil itu sangat berbeda dengan anak-anak diusianya, selain cerdas dia juga pandai bicara. Ia akui kecerdasannya, tapi tetap saja membuatnya dongkol karena sudah berani merendahkannya.
"Aku harus menghubungi Asila."
Edgar merogoh saku celana dan mengambil benda pipih miliknya. Dia mencari nomer Asila namun sayang tak mendapatinya. Terlalu bodoh, bahkan ia tak berani meminta nomor kontak wanita itu.
"Sial! Bagaimana aku bisa menghubunginya sedangkan aku tidak punya nomornya?"
Dirga terkekeh. "Anda kurang ngopi Tuan. Kalau mau menghubungi seseorang tentunya anda harus memiliki nomernya, kalau nggak punya nomer kontaknya bagaimana anda bisa menghubunginya?"
Edgar mendengus dan memilih untuk mencari kontak Teddy. Dia memang cukup dekat dengan Teddy. Bahkan selama ini sering keluar kota bersama saat tugas, dan tak pernah disangka-sangka, wanita yang pernah memberinya kebahagiaan meskipun hanya satu malam ternyata saudara kandung dari sahabatnya itu.
("Halo Ted, kamu punya kontaknya Asila?")
Tanpa berbasa-basi Edgar langsung to the point ke pokok tujuannya.
("Ngapain kamu minta nomor kontak adikku? Ada urusan apa?" tanya Teddy dari dalam telepon.)
("Ya penting lah! Tolong kirim kontaknya ya?")
("Jangan macam-macam!")
("Enggak! Aku cuma butuh ngobrol doang! Ini tentang kejadian kemarin. Aku mau minta maaf.")
("Nanti kalau ada waktu aku main ke sana. Tolong kasih kontaknya, aku nggak ada banyak waktu buat basa-basi!")
("Maksa!")
("Ayolah! Please!")
("Oke-oke! Bawel amat!")
Tak lama dari itu sambungan terputus, Teddy mengirimkan nomor kontak Asila padanya.
Tak menunggu lama, Edgar pun langsung menghubungi Asila.
("Halo, dengan siapa ini?")
Suara wanita itu begitu lembut dan menyentuh. Hanya dengan mendengar suaranya saja sudah membuatnya tersenyum.
("Em... Ini aku, Edgar.")
("Oh... Kirain! Ada apa?")
("Em... Ada waktu nggak? Kita ketemuan yuk?")
'aduh...., gimana ini? Dia ngajak aku ketemuan? Buat apa dia ngajak ketemuan? Dari mana juga dia dapat nomer kontakku? Cowok itu bener-bener bikin pusing! Haruskah aku menuruti keinginannya? Aku yakin sekali dia memiliki rencana untuk menjebakku. Tidak lah...., mendingan aku tolak saja.'
Cukup lama Asila diam tak kunjung menjawab. Ia hanya sedang berpikir, bagaimana cara membuat alasan yang tepat agar tidak menyinggungnya.
("Halo, kamu masih di sana kan? Kok diem? Gimana? Kita bisa ketemuan kan?")
("Aduh.... Gimana ya? Kayaknya nggak bisa deh, hari ini aku udah ada janji ngajak anak-anakku keluar. Sorry ya?")
("Kalau gitu aku temani. Boleh ya?")
Pria itu benar-benar maksa. Bahkan dia rela untuk menjemputnya. Padahal niatnya ingin membohongi dengan dalih sibuk mengurus anak, tapi tetap saja tak membuatnya mengerti.
("Gimana ya, bukannya aku nolak, tapi aku nggak yakin anak-anakku mau jalan sama kamu. Mereka masih nggak mau berbaur dengan siapapun, apalagi setelah kejadian kemarin. Mendingan kita nggak usah ketemu, aku takut mereka bakalan marah sama aku. Mereka kalau udah ngambek susah bujuknya.")
("Yaudah deh, kalau aku ada waktu nanti mau main ke rumahmu. Kira-kira jam berapa kamu ada di rumah?")
Asila menjauhkan handphonenya dengan menggerutu. 'Ini orang kenapa sih! Maksa banget mau ngajak ketemu! Gimana aku mau buat alasan lagi?'
("Halo, Asila! Kok diem aja sih?")
("Em... Ini aku masih sibuk ngemas baju.")
("Loh, ngemas baju? Memangnya kamu mau ke mana lagi? Mau pergi lagi?")
("Belum sih..., nggak tau nanti. Yaudah dulu ya? Aku selesaikan dulu pekerjaanku. Kamu juga masih sibuk kan? Selamat beraktivitas!")
Asila langsung menutup sambungannya. Edgar hanya bisa pasrah saat wanita itu berusaha untuk bersikap cuek padanya.
"Bagaimana Tuan? Apakah nyonya Asila...?"
"Dia bersikap cuek padaku! Sepertinya dia masih marah. Kayaknya aku ke sana aja deh! Aku nggak bakalan bisa tenang sebelum bertemu dengannya!"
Edgar meraih jas kerjanya yang disampirkan di belakang kursi kerjanya. Dia bertekad untuk menemui Asila meskipun wanita itu berusaha untuk menghindarinya.
"Tapi sebentar lagi kita ada jadwal rapat Tuan!"
"Urus sendiri! Kamu sudah terbiasa mengurus rapat, aku percayakan padamu!"
Edgar langsung nyelonong pergi meninggalkan ruangannya. Dirga sampai terheran-heran, tidak biasanya bosnya itu bersikap aneh. Bahkan setiap harinya selalu memasang muka datar nan dingin.
"Ini orang benar-benar aneh. Tidak biasanya dia seperti ini. Apa sih yang membuatnya berubah? Setelah pertemuannya dengan nyonya Asila dia nggak bisa tenang seperti biasanya. Kayaknya ada yang nggak beres deh, aku harus mencaritahunya!"
***
"Dylan! Sheila! Kalau bermain bola jangan di dalam rumah, nanti kalau kena kaca atau barang-barang yang ada di rumah bisa pecah! Kalau main itu di halaman belakang!"
Semenjak pulang dari sekolah kedua bocah kembar itu asik bermain bola di di dalam rumah. Mereka tak peduli teguran dari ibunya, karena sang kakek tak pernah mempermasalahkannya.
"Di halaman panas mom, di sini saja," bantahnya tanpa menoleh.
"Tapi bisa mengenai kaca! Mommy nggak mau tahu! Pokoknya kalian kalau main di luar, atau nggak usah main sekalian! Orang dikasih tahu kok ngeyel! Ayo sana keluar!"
"Huh! Mommy ini menjengkelkan! Kami kan sudah hati-hati! Lagian nggak ada yang pecah kacanya!"
Masih juga tak menggubris ocehan ibunya, bocah laki-laki itu menunjukkan kemampuannya dalam bermain bola. "Dek, lihat dek, aku bisa membawa bola ini melayang keluar," celetuknya.
"Benarkah? Coba tunjukkan," sahut Sheila.
"Oke, lihat baik-baik ya? TENDANGAN.... SUPER....."
Dylan menendang begitu kuat ke arah pintu depan. Tanpa disadari ada seseorang yang berdiri di depan pintu.
"Aduh!"
Bola yang ditendang melayang keluar mengenai orang tersebut.
"Eh...., kena orang!"
Kedua bocah itu tercengang ketika melihat bolanya melayang mengenai jidat pria yang begitu dibencinya.
"Kau!"
Edgar meringis kesakitan. Jidatnya sampai berdenyut terkena tendangan bola yang cukup kuat.
Seketika bocah laki-laki itu menertawainya. "Hahahaha.... Rasain! Salah sendiri ngapain berdiri di situ."
"Kalian itu kenapa sih! Selalu saja bikin masalah! Bermain di dalam rumah. Kalau kena orang gini kan sakit!"
"Sakit ya? Rasain! Lagian ngapain datang ke sini? Nggak diundang juga!"
Edgar mengeram dengan tangan terkepal. Andaikan seumuran dengannya pasti akan dibuat babak belur itu bocah.
Mendengar anak-anaknya berisik, Asila datang dari dalam dapur berniat untuk menegurnya. Ia terkejut ketika mendapati seseorang di depan pintu dengan memegangi jidatnya.
"Loh, kok kamu ada di sini? Udah dari tadi?"
"Barusan, tapi lihat deh, jidatku pening. Ini semua gara-gara ulah mereka!"
Asila menautkan alisnya. "Hah?! Gara-gara mereka? Memangnya apa yang sudah mereka lakukan padamu?"
"Mereka menendang bola hingga mengenai jidatku!"