Di bawah pesona abadi Kota Roma, tersembunyi dunia bawah yang dipimpin oleh Azey Denizer, seorang maestro mafia yang kejam dan tak tersentuh. Hidupnya adalah sebuah simfoni yang terdiri dari darah, kekuasaan, dan pengkhianatan.
Sampai suatu hari, langitnya disinari oleh Kim Taeri—seorang gadis pertukaran pelajar asal Korea yang kepolosannya menyilaukan bagaikan matahari. Bagi Azey, Taeri bukan sekadar wanita. Dia adalah sebuah mahakarya yang lugu, sebuah obsesi yang harus dimiliki, dijaga, dan dirantai selamanya dalam pelukannya.
Namun, cinta Azey bukanlah kisah dongeng. Itu adalah labirin gelap yang penuh dengan manipulasi, permainan psikologis, dan bahaya mematikan. Saat musuh-musuh bebuyutannya dari dunia bawah tanah dan masa kelam keluarganya sendiri mulai memburu Taeri, Azey harus memilih: apakah dia akan melepaskan mataharinya untuk menyelamatkannya, atau justru menguncinya lebih dalam dalam sangkar emasnya, meski itu akan menghancurkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Veronica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
art gallery
Lima belas menit perjalanan, mereka sampai di sebuah bangunan bergaya klasik yang membuat mata Taeri membulat. Pilar-pilarnya menjulang tinggi, terlalu megah untuk sekadar tempat singgah biasa. “Bangunan apa ini, Azey?” tanyanya pelan, ada nada ingin tahu bercampur kecemasan. "Kenapa kamu membawaku ke sini?"
Azey menatapnya lekat, tatapannya intens dan menusuk. “Galeri seni,” ujarnya tenang, seolah itu adalah hal yang paling wajar di dunia. “Aku membelinya untukmu.”
Taeri mengerjap, raut wajahnya sedikit berubah, ada ketakutan yang mulai muncul. “Untukku?” bisiknya, nyaris tak terdengar. Azey mengangguk tipis, senyum samar bermain di sudut bibirnya. “Ya, Taeri. Setiap ruang di dalamnya akan mengenalmu, bahkan lebih baik dari dirimu sendiri.”
Azey membuka pintu mobil dan mengulurkan tangan pada Taeri. “Ayo, Taeri. Masuklah,” ujarnya tegas namun terdengar lembut. "Kau pasti akan menemukan sesuatu yang menarik di setiap lukisan di sana."
Taeri turun dari mobil dengan jantung berdebar. “Aku… aku tidak ingin, Azey,” bisiknya, suaranya hampir hilang. “Aku tidak bisa menerima semua ini. Kamu… ini bukan permintaan maaf, tapi cara untuk mengikatku lebih dalam padamu.”
Azey melangkah mendekat, membelai pipi Taeri dengan lembut namun terasa posesif. “Tidak ada yang bisa menolakku, Taeri,” ujarnya pelan, suaranya berbisik di telinganya. “Kau pikir aku memberimu pilihan? Ini bukan tentang persetujuanmu. Ini tentang kita. Dan aku… aku sudah terlalu jauh untuk membiarkanmu pergi, Taeri.”
Taeri menghela napas berat, frustrasi mencengkeram dadanya. Azey selalu berhasil membuatnya merasa terperangkap. Dengan langkah berat, Taeri akhirnya mengikuti Azey masuk ke dalam galeri. “Aku… sepertinya aku memang tidak punya pilihan, ya?” desisnya pelan, ada nada kesal yang bercampur dengan rasa pasrah. "Awas aja kalau aku dikasih beginian terus kamu minta yang aneh-aneh."
Azey menoleh sekilas, senyumnya tipis dan dingin. “Kau selalu punya pilihan, sayang,” ujarnya lirih, seolah membisikkan sebuah rahasia. “Hanya saja, kadang pilihan terbaik adalah pilihan yang orang lain buat untukmu.” Ia mendorong pintu besar, menuntun Taeri masuk ke sebuah ruang yang luas dan sunyi, dinding-dindingnya dipenuhi karya seni yang megah dan terasa mengintimidasi.
"Terserah kamu saja," sahut Taeri kesal, mencoba menyembunyikan keterkejutannya. Ia mengangkat alis, matanya menyapu setiap detail ruangan. “Berapa harga galeri ini?” tanyanya penasaran, mencoba mengalihkan perhatian.
Azey tersenyum, menatapnya intens, suaranya rendah dan mantap. “Lima puluh delapan juta euro,” ujarnya tegas, kemudian menambahkan dengan nada posesif yang membuat bulu kuduk Taeri meremang, “Dan itu… masih kurang untuk menggambarkan betapa berharganya dirimu.”
Mata Taeri melebar, napasnya tercekat. “Apa… apa maksudmu… lima puluh delapan juta euro?!” ujarnya hampir berteriak, suaranya serak karena terkejut dan takut. Tubuhnya terasa lemas, seolah semua kekuatan telah meninggalkannya. “Kamu benar-benar pria gila yang pernah kukenal, Azey,” desisnya, menuding Azey dengan tangan gemetar.
Azey tetap tenang, langkahnya lambat namun pasti mendekat ke arah Taeri. “Uang bukanlah apa-apa bagi kita, sayang,” ucapnya lirih, seolah merayu. “Bukan jumlah itu yang penting. Kaulah yang lebih berharga dari semua ini.”
Dari sudut ruangan, Leonardo mendekat ke arah mereka. “Sesuai arahan, Tuan,” katanya cepat, memberi isyarat ke area yang sudah disiapkan. Dengan sikap sigap, ia mengawal kedua majikannya menuju ruang khusus yang nantinya akan menjadi wilayah Taeri.
Leonardo menunduk hormat, lalu menunjuk ke arah sebuah pintu besar yang tampak mewah. “Ruang khusus direktur, sudah dipersiapkan,” ujarnya tegas, suaranya cepat namun terkontrol. "Semua keperluan Nona untuk mengelola galeri seni ini sudah disiapkan dengan sempurna." Azey mengangguk datar sebagai jawaban. Perlahan, Leonardo mundur dan menghilang, meninggalkan Taeri dan Azey di tengah kesunyian galeri yang megah dan intimidatif.
Taeri menatap Azey, keningnya berkerut, suaranya lembut namun terdengar tegang. “Azey… kenapa kamu melakukan semua ini… untukku?” bisiknya, nada suaranya campur aduk antara takjub dan kebingungan. "Apa sebenarnya yang kamu inginkan? Aku tidak pernah memintamu melakukan semua ini."
Kebingungan Taeri semakin menjadi-jadi. Sikap Azey semakin hari semakin berbeda, seolah setiap detik ia berusaha menjerat Taeri dalam kehidupan yang tidak bisa ia pahami. Taeri semakin takut, takut jika versi Azey yang sekarang tidak akan pernah bisa ia benci.
Azey melangkah mendekat, tangan kuatnya melingkari pinggang Taeri dan mengecup bibirnya sekilas, sentuhan yang terasa posesif. “Tentu saja, semua ini untuk kebahagiaanmu,” ucapnya rendah, suaranya tegas namun terdengar hangat di telinga Taeri. “Semua ini… untuk mewujudkan mimpimu. Agar kau tak perlu lagi ragu, tak perlu lagi menunggu untuk menjadi seorang seniman, sayang.”
Taeri menahan napas, tubuhnya terasa hangat dalam pelukan Azey, namun hatinya bergetar antara kekaguman dan ketakutan. Ruangan itu terasa seperti menelan mereka, dingin namun penuh janji yang sulit ia tolak.
Taeri melepaskan pelukan Azey perlahan, menatapnya dengan sorot mata yang penuh tekad. “Aku… aku tidak membutuhkan bantuanmu untuk meraih mimpiku, Azey,” ujarnya tegas, nadanya bergetar antara marah dan keyakinan. "Sejak kecil, aku sudah dididik untuk mendapatkan semua yang kuinginkan dengan usaha sendiri. Kenapa kau meremehkanku? Apa aku serendah itu di matamu, Azey?" Tubuhnya menegang, wajahnya berusaha menyembunyikan rasa sedih yang tak bisa sepenuhnya ia kontrol.
Azey membungkuk sedikit, napasnya hangat menyentuh leher Taeri, dan ia mencium leher gadis itu pelan, sentuhan yang terasa menandai. “Aku tahu,” bisiknya rendah, suaranya tegas namun lembut. “Tidak ada yang meremehkanmu, sayang. Aku sangat percaya dengan kemampuanmu, Taeri. Tapi…” Senyumnya menyungging tipis, penuh ambiguitas yang membuat Taeri merinding, “Dunia kita sekarang bukan lagi kehidupanmu di Korea. Ini adalah dunia yang kubangun untuk mempermudah setiap jalanmu, meski dengan cara yang tidak seharusnya. Terimalah, sayang. Ini hanya hadiah kecil untuk gadisku.”
Taeri menelan ludah, dadanya berdebar kencang. Hatinya berkecamuk, antara jijik dan takjub. Setiap kata yang diucapkan Azey membekas di benaknya, meninggalkan jejak obsesinya yang jelas dan menakutkan. Setiap kali Taeri ingin membenci Azey, perasaannya selalu mengkhianatinya.
Dengan gerakan cepat, Taeri meninju dada Azey berulang kali, wajahnya memerah padam. “Kau gila! Apa kau pikir aku mau bermain-main dengan semua ini?!” teriaknya tajam, setiap pukulan menyuarakan kekesalan pada dirinya sendiri.
Azey menahan gerakan Taeri dengan lembut namun tegas, menghentikan tinjunya. “Tenanglah, sayang… aku hanya bercanda,” ucapnya pelan, mencoba menenangkan Taeri dengan sentuhan lembut. Ia mencium tangan Taeri, memberikan alasan yang terdengar masuk akal, "Aku tidak akan mengatur seluruh kehidupanmu. Aku hanya menyediakan tempat agar kau bisa memulai dari nol untuk mengejar cita-citamu."
Taeri masih menatapnya dengan tatapan kesal, tubuhnya gemetar karena emosi yang bercampur aduk. Azey menunduk sedikit, matanya menatap dalam ke mata Taeri, mencoba menyampaikan ketulusannya. “Aku hanya ingin kau tetap sibuk, Taeri. Punya sesuatu yang membuatmu termotivasi, … agar kau tidak mati kebosanan di mansion itu. Bukan karena aku mengurungmu.”
Ia merapikan helai rambut Taeri yang berantakan, sentuhan yang terasa posesif. "Jadi, semua ini bukan untukku, tapi untuk mengisi waktu luangmu. Kau bebas ingin mengelolanya sendiri atau tidak,” ujarnya tegas, namun ada nada mengikat yang tersembunyi.
“Aku… aku belum punya waktu untuk mengurus semua ini,” ujarnya tegas, nadanya frustrasi. Tangannya mencengkeram tangan Azey, seolah menahan diri agar tidak mundur. "Kau saja yang cari orang untuk mengelolanya. Ini kan ide gilamu, Azey."
Azey tersenyum tipis, lalu dengan gerakan tiba-tiba, ia mengangkat Taeri ke atas meja. Tubuh mereka menempel erat, menciptakan percikan yang membakar. Perlahan, ia mencium bibir Taeri, membuatnya membeku sesaat sebelum akhirnya membalas ciumannya. Ciuman itu terasa memabukkan, suara napas mereka yang memburu memenuhi ruangan.
Setelah menarik napas dalam, Azey mundur sedikit, namun tetap menahan pinggang Taeri, menjaga tubuh mereka tetap berdekatan. “Tenang,” ucapnya rendah, matanya menelusuri wajah Taeri yang merona. “Tidak perlu memikirkan semuanya. Ada orang yang akan mengurus galeri itu untukmu. Kau hanya perlu hadir… dan menikmatinya.”
Namun perlahan, tangan Azey bergerak turun, menyentuh pinggul Taeri dengan lembut. “Sepertinya kita bisa merayakan pembukaan galeri seni ini dengan cara yang lebih intim, sayang,” bisiknya menggoda.
Taeri menghentikan gerakan Azey, menunduk malu. “Kau benar-benar tidak tahu tempat, Azey,” ucapnya cepat, berusaha menutupi gejolak yang dirasakannya. “Sedikit pun kau tak bisa membedakan waktu dan tempat yang pantas untuk keinginanmu itu.” Ia menjauhkan tangan Azey dari tubuhnya dengan sedikit kesal.
"Sekarang minggir, aku sedang datang bulan. Tidak ada waktu untuk meladeni fantasi gilamu," lalu ia melompat turun dari meja, langkahnya cepat dan tegas menuju ruang direktur tanpa menoleh lagi.
Azey tidak menahan, hanya menatap punggung Taeri yang menjauh dengan senyum kecil yang penuh arti. “Kau tahu,” lirihnya, ada getaran aneh dalam suaranya, “kau terlihat sangat manis saat sedang salah tingkah.”
Taeri berhenti sejenak di ambang pintu, jantungnya berdetak cepat, namun ia memilih untuk tidak menjawab. Suara Azey masih terngiang di telinganya, seperti bisikan lembut yang menakutkan namun juga sangat memabukkan.
____________________________________
Di bar, Pak Marcelo menatap gelasnya yang kosong, menuang lagi hingga meluber, seolah ingin meluapkan perasaannya yang meluap-luap. “Dia menolak… begitu saja,” gumamnya lirih, suaranya serak. “Kupikir aku bisa membawanya pergi… tapi dia sudah terlalu jauh tenggelam.” Tangannya terkepal, memukul meja dengan frustrasi.
Pelayan menatapnya ragu, tapi Marcelo hanya tersenyum miris. “Lucu, ya?” ucapnya getir. “Aku menawarkan kebebasan, tapi dia memilih kurungan emas. Memilih hidup dengan orang yang sangat berbahaya.” Tawa kecilnya terdengar pahit. Pelayan itu hanya bisa diam, tak mengerti apa yang tengah terjadi.
Marcelo meneguk habis minumannya, kata-kata Taeri terngiang di benaknya. “Mungkin dia memang pantas di sana,” gumamnya datar. “Atau aku yang terlalu bodoh… mengira dia ingin diselamatkan hahaha.” Tawanya terdengar putus asa.
Saat itulah, Yuna, yang kebetulan lewat, mengenali mobil Marcelo di depan bar. Dengan langkah cepat, ia memasuki bar, matanya langsung mencari sosok Marcelo. Hatinya perih melihat pria yang dicintainya itu merana.
Yuna mendekat dengan cemas.
“Pak Marcelo…” panggilnya lembut, penuh kekhawatiran. Ia duduk di sampingnya dan mengusap punggungnya perlahan.
Marcelo mendengus sinis, tawanya terdengar getir. “Kau tahu, Yuna… dia menolak tawaranku. Memilih bersamanya. Dengan orang itu.” Ucapnya tanpa sadar, membuat hati Yuna semakin sakit. Pria yang dicintainya mabuk karena wanita lain, dan wanita itu adalah sahabatnya sendiri.
“Taeri pasti punya alasan,” ujar Yuna mencoba tegar.
“Mungkin bukan karena dia tidak ingin diselamatkan, tapi… caranya berbeda. Terkadang, orang lebih memilih luka yang sudah dikenalnya, daripada uluran tangan yang mungkin tak cukup kuat menahannya.” Kata-kata itu terucap dengan getir, Yuna pun merasakan hal yang sama. Dia mencintai Marcelo, tetapi tahu bahwa cintanya mungkin tak akan pernah terbalas.
Marcelo terdiam, menatap gelas kosongnya. Kata-kata Yuna menyentuh hatinya, menenangkan sekaligus menyakitkan. Ia seolah melihat bayangannya sendiri dalam diri Taeri.
Marcelo menggenggam gelasnya erat. “Aku tidak menyalahkannya,” ucapnya serak. “Mungkin aku terlalu memaksakan kehendakku, terlalu yakin bisa menyelamatkan seseorang yang sudah memilih jalannya.” Ia tertawa hambar, lalu memaksakan senyum ke arah Yuna.
Yuna menatapnya lama, menarik napas dalam. “Pak, jangan menyerah,” ucapnya lembut namun tegas. Ia bangkit dan membantu Marcelo berdiri. “Ayo pulang. Tidak ada gunanya terus meratapi keadaan.”
Marcelo mengangguk lemah, membiarkan Yuna membopongnya keluar dari bar. Fisiknya mungkin menyerah, namun tekadnya masih membara. Ia masih berharap, suatu saat nanti, akan ada celah untuk menyelamatkan wanita yang dicintainya, meskipun itu berarti menyakiti hati Yuna, gadis yang selalu ada untuknya.