Kisah perjalanan Raka melakukan ujian Prahya sebelum resmi menjadi Rasi seorang guru Spiritual.
Perjalanan terkadang tidaklah mudah tapi bisa melewatinya dengan kesabaran dan kebijaksanaan.
Kisah ini ada di zaman neolitikum atau zaman batu muda dimana orang orang berpindah tempat nomaden kini menetap peralatan dan berburu masih sederhana menggunakan batu di poles halus menjadi pisau batu, tombak batu dan panah batu.
Tapi ada satu Kerajaan besar zaman neolitikum yang sangat maju peradabannya bahkan sangat di takuti suku suku lain dan bahkan di negeri lain.
Kerajaan itu adalah Lakantara berdiri di atas tanah dengan tembok melingkar konsentris lapis ada 5 tembok dgn status yang berbeda.
Sudah mengenal sistem irigasi, pertanian, sosial, ekonomi dan senjata yang terbuat dari perunggu yang lebih keras dari senjata batu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lukman Mubarok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 - Seruan Akar dan Bayangan Ama
Raka memperhatikan kepala buaya itu dengan lebih jelas. Sisiknya keras, berlapis hijau tua dan hitam, memantulkan cahaya temaram dari kanopi abadi.
Ukurannya membuat bulu kuduk berdiri hanya kepala saja sudah sebesar setengah tubuh manusia dewasa, sementara sisa badannya tenggelam di bawah lumpur rawa yang surut.
Bayangan tubuh raksasanya membuat air di sekitar bergerak perlahan, seolah seluruh rawa bernafas bersama makhluk itu.
Tak jauh dari bangkai buaya yang terbenam, ular raksasa yang baru saja ditebas Yarun’ru Beta tergeletak di lumpur.
Sisiknya merah tua bercampur hitam, tersusun membentuk motif ketupat besar yang tampak jelas meski sebagian tertutup darah dan lumpur.
Tubuhnya sebesar leher manusia dewasa, memanjang seperti batang pohon yang tumbang.
Pemandangan itu membuat ingatan Raka kembali ke perjalanan sebelum mereka mencapai Suku Latahna ular sisik biru dengan ukuran tubuh yang nyaris sama.
Senada dalam kekuatan dan kelicinan, namun berbeda dalam warna dan karakter.
Seolah bumi purba ini menyimpan berbagai cabang keturunan makhluk-makhluk raksasa, masing-masing menguasai wilayahnya sendiri.
Raka menelan ludah, bukan karena takut semata, tapi karena sadar:
setiap langkah selalu diawasi oleh mata-mata yang tersembunyi.
Yarun’ru memotong daging ular tipis-tipis dengan belati. Gerakannya cepat, terlatih, seolah ia sudah sering melakukannya. Potongan daging itu kemudian ia tata di atas ranting-ranting kayu yang disusun longgar di atas api unggun yang mulai meredup. Asap tebal putih kebiruan naik pelan, menyelimuti daging, membuatnya perlahan mengering tanpa gosong.
Raka memperhatikan dengan saksama.
“Caramu sama seperti orang Latahna saat mengasapi ikan,” katanya pelan. “Kau belajar dari mana?”
Yarun’ru berhenti sejenak, matanya memandangi daging yang mulai mengilat oleh asap. Senyumnya tipis lebih mirip kenangan pahit daripada kebanggaan.
“Dari umur siklus ke-10,” katanya, “aku sering berada di luar tembok bersama pelayan pribadiku, juga dua pengawal, berpindah dari desa ke desa, suku ke suku… selama tiga siklus lamanya.
Aku belajar banyak dari mereka cara bertahan hidup, mencari air, dan memasak seperti ini.”
Ia menarik napas, menahan sesuatu di dadanya.
“Ketika aku pulang… aku tidak diizinkan masuk lagi. Penjaga bilang itu perintah langsung Yarun Rahu Ama.”
Ia menyentuh gagang pedangnya, seperti mengingat sesuatu yang berat.
“Yang diberikan padaku hanya jirah dan pedang… untuk bertahan hidup di luar.
Pelayan dan pengawal yang dulu menemaniku pun diperintahkan meninggalkanku.”
Raka terdiam, tak menyangka sedalam itu luka yang dibawa Yarun’ru.
“Waktu itu,” lanjut Yarun’ru, “jirah ini terlalu besar. Pedangnya terlalu berat untuk tubuhku.”
Ia menelan ludah.
“Dan ketika aku tiba di desa-desa yang dulu kukunjungi… mereka memandangku berbeda. Tatapan mereka… seperti melihat bencana.”
Yarun’ru menirukan suara seseorang, lirih namun penuh tekanan:
“Kau pembunuh bayi suci tak berdosa… pergilah! Kau membawa malapetaka Api Hijau!”
Api unggun berderak pelan. Raka tak sanggup langsung merespons. Angin meniupkan bau kayu dan asap, tetapi suasana jadi lebih berat dari sebelumnya.
Tiba-tiba—SKREEEEEEEEEET!!
Suara melengking mengoyak langit senja.
Begitu keras dan dekat hingga Raka refleks meraih tombak batu sementara Yarun’ru langsung berdiri, tangan menempel pada gagang pedangnya.
Mereka menatap ke atas.
Bayangan-bayangan besar melintas cepat di antara celah pepohonan rawa.
Sayap hitam kecokelatan terbentang lebar, mengepak kuat hingga angin berputar dan ranting kering berjatuhan.
Raka mengerutkan mata.
“Apa itu…?”
Salah satu makhluk itu menukik.
Barulah terlihat jelas beberapa ekor burung bangkai raksasa, sebesar manusia dewaaa, dengan leher panjang botak dan paruh melengkung tajam seperti sabit tulang.
Mata mereka merah kusam, liar, dan kelaparan.
Dengan jeritan serak, burung pertama mendarat di bangkai ular raksasa. Paruhnya langsung menyambar daging merah yang tersisa, mengoyak, mencabik, dan menelan tanpa peduli Raka dan Yarun’ru berada hanya beberapa langkah dari sana.
Dua ekor lainnya hinggap di atas kepala buaya yang masih setengah tenggelam, menancapkan cakar dan menggerogoti sisanya.
Raka berbisik, napasnya tertahan,
“Mereka besar sekali…”
Yarun’ru tidak memalingkan pandangan dari langit, pedang setengah terhunus.
“Mereka datang ketika mencium darah makhluk besar.
Kita harus tetap waspada… kalau jumlahnya bertambah, mereka bisa menyerang siapa saja.”
Burung-burung itu mengeluarkan suara parau saling berebut daging, sayap mengepak liar, menyibakkan lumpur dan rumput rawa.
Yarun’ru menatap burung-burung bangkai yang mulai semakin banyak berdatangan.
Sayap-sayap besar itu mengepak, saling berebut bangkai hingga air rawa terciprat ke segala arah. Aroma darah dan lumpur semakin menusuk.
“Pergi sekarang,” ucap Yarun’ru pendek, nada waspada tapi tenang.
Raka mengangguk cepat. Mereka berdua mengangkat barang bawaan, memastikan daging ular yang sudah diasapi tersimpan aman dalam kantong serat tipis, kering, dan cukup untuk bertahan tiga sampai lima hari.
Talas liar yang tadi mereka cabut dari tepi rawa sudah diikat dengan serat tanaman, sementara pisang liar yang tumbuh rimbun di dekat batang-batang enceng gondok menjadi tambahan bekal yang sangat berharga.
Mereka melangkah menjauh dari tepi rawa, lumpur masih menempel di kaki dan bau asap masih terasa pada pakaian mereka.
Di belakang, terdengar suara keras paruh-paruh besar kembali mencabik bangkai dengan liar.
Raka sempat menoleh sekali, menelan ludah melihat puluhan burung memenuhi permukaan air keruh itu.
“Untung kita pergi sebelum mereka mengira kita bagian dari makanannya,” gumamnya.
Yarun’ru hanya mengencangkan ikatan pedangnya dan berkata pelan,
“Rawa ini memberi keselamatan… dan hampir mengambil nyawa.
Kita tak perlu kembali ke sini dalam waktu dekat.”
Mereka terus berjalan meninggalkan rawa, memasuki jalur tanah yang lebih keras, arah pepohonan mulai lebih rapat tanda bahwa perjalanan menuju wilayah berikutnya baru saja dimulai.
“Akhirnya kita bisa berteduh,” ujar Raka sambil menurunkan tas bambunya.
Mereka berhenti di bawah sebuah pohon besar yang masih rimbun, meski tanda-tanda musim panas mulai terlihat jelas.
Daun-daunnya masih hijau, tapi ujungnya menguning dan memudar, sebagian menggulung rapat untuk menahan hilangnya air.
Di beberapa tempat, ranting kering menggantung seperti tulang-tulang kecil yang rapuh.
Di bawahnya, tanah masih ditutupi rumput, tetapi warna hijaunya pudar, lebih kering saat diinjak dan bergaris cokelat di tepinya. Meski begitu, tempat itu masih cukup sejuk dibandingkan area terbuka.
Angin hampir tak bergerak; udara terasa padat dan panas menahan napas.
Yarun’ru meletakkan pedang di sampingnya, lalu berkata pelan,
“Musim panas memang begini… tapi selama pohon masih berdaun, kita masih punya bayangan untuk beristirahat.”
Raka bersandar pada batang pohon besar itu, mencoba menenangkan napas setelah perjalanan panjang. Udara panas membuat tubuhnya terasa berat.
Namun tiba-tiba ia mengangkat kepala, pandangannya terpaku pada sesuatu jauh di antara sela pepohonan.
Ia langsung berdiri.
“Yarun’ru… lihat itu,” ucapnya dengan suara menurun.
Yarun’ru menoleh, mengikuti arah tatapan Raka.
Di kejauhan, di balik rumput yang mulai menguning, terlihat bentuk gelap seperti patahan tanah.
Saat mereka melangkah lebih dekat, wujudnya semakin jelas:
Sebuah rumah tua, sudah rata dengan tanah.
Tiang-tiangnya tinggal potongan hitam, seperti bekas terbakar. Dinding bambunya rebah, tertutup campuran tanah, abu, dan waktu.
Di beberapa bagian, rumput liar dan sulur tanaman telah mengambil alih, menjalar di atas sisa-sisa kehidupan yang dulu pernah ada.
Angin panas musim ke-11 hanya menambah kesan sunyi dan terlupakan.
Raka menelan ludah.
“Ini… dulunya pemukiman?”
Yarun’ru berjongkok, memegang sepotong bambu hangus yang mudah hancur saat disentuh.
“Rumah yang ditinggalkan… atau rumah yang dilenyapkan,” katanya pelan, mata semakin berhati-hati.
“Jelas Ini… ulah manusia.”
Yarun’ru berdiri perlahan, masih memandangi sisa-sisa rumah yang hangus dimakan waktu.
Raka mengusap debu hitam dari jemarinya, dan tiba-tiba ia merasakan sesuatu seperti gelombang dingin merayap dari tulang belakang.
“Yarun’ru… ini bukan kebakaran biasa.”
Yarun’ru tidak menjawab, tapi tatapannya mengeras.
Potongan bambu yang ia pegang meski sudah tua dan rapuh masih menyimpan bekas potongan pedang yang samar oleh waktu.
Raka menahan napas.
“Ini.. Korban tragesi Api Hijau, bukan?”
Yarun’ru Beta menutup mata sejenak, seperti menanggung beban yang sangat lama.
“Tragedi itu terjadi lima belas siklus lalu…” suaranya berat.
“Dan bekasnya masih tinggal di sini.”
“…berarti kita sudah dekat. Sangat dekat dengan wilayah suku Yaka.”
Yarun’ru Beta memandangi puing-puing rumah yang hangus itu lama sekali, seperti sesuatu di dalam dirinya ikut terangkat dari masa lampau.
Raka menunggu, dan akhirnya Yarun’ru mulai berbicara suara pelan, tapi dalam.
“Di Lakantara… aku pernah mendengar sejarah lama.
Sejarah yang tak semua orang tahu, kecuali di dalam tembok.”
Ia menapaki tanah hangus itu pelan, seolah menelusuri jejak 80 siklus waktu.
“Delapan puluh siklus lalu, Suku Yaka bukan tinggal di hutan ini.
Mereka berasal dari lembah dekat Gunung Barumba.
Lalu mereka bergerak, berpindah-pindah, hingga akhirnya menetap di hutan jati di timur.”
Yarun’ru menahan napas sebelum melanjutkan.
“Tapi hutan jati itu dulunya wilayah Lakantara.”
Raka menoleh, matanya menyipit.
Yarun’ru melanjutkan:
“Kakekku Rahu Beren marah besar.
Ia bersama pasukan Lakantara, bersenjatakan tombak batu, bertempur untuk merebut kembali wilayah itu.”
Ia mengepalkan gagang pedangnya.
“Tapi mereka kalah. Kakekku gugur. Banyak pasukan Lakantara tewas.”
Raka merasa ada sesuatu yang berat turun di hati Yarun’ru saat ia bercerita.
“Suku Yaka… mereka hebat dalam bertahan.
Panah batu mereka bisa menembus kulit rusa purba.
Tombak mereka cepat.
Dan mereka membuat jebakan…”
Ia menunjuk tanah yang retak di sekeliling mereka.
“…parit tersembunyi dengan pasak runcing di dasarnya.
Banyak laki-laki Lakantara mati tanpa sempat mengangkat senjata.”
Raka terdiam.
Yarun’ru menghela napas panjang, kemudian berkata:
“Saat itu ayahku Yarun Rahu baru berumur enam belas siklus.
Sedang menjalani ujian prahya di luar tembok.
Namun ia dipanggil pulang… untuk memimpin Lakantara setelah kematian kakekku.”
Suara Yarun’ru melembut.
Ada sedikit getir di sana.
“Dan kini, setelah semua itu… Suku Yaka mudah ditaklukkan.”
Ia menepuk pelan pedang perunggunya.
“Bukan karena mereka lemah.”
Ia memandang langit tertutup daun rimbun.
“Tapi karena aku punya ini jirah dan pedang buatan tembaga Lakantara. Senjata yang tidak mereka punya. Senjata… yang membuatku hidup di tanah yang dulu membuat keluargaku hancur.”
Raka bisa melihat pergulatan di mata Yarun’ru kebanggaan, luka lama, dan ironi sejarah yang berat.
Raka memandangi bekas rumah yang telah rata dengan tanah itu, lalu menoleh pada Yarun’ru Beta.
Suara Raka pelan, tapi sarat kebingungan.
“Aku pernah mendengar kabar dari akar Sajar… katanya Suku Yaka menebang pohon-pohon liar dengan paksa. Tanpa izin Sang Pencipta. Benarkah itu?”
Yarun’ru terdiam sejenak.
Ia menarik napas panjang, menatap reruntuhan arang hitam dan rumput liar yang menelan fondasi rumah itu.
“Tidak,” jawab Yarun’ru akhirnya, suaranya datar tapi penuh beban.
“Itu bukan ulah Suku Yaka.”
Raka mengerutkan kening.
“Lalu siapa yang melakukannya?”
Yarun’ru menatap jauh ke hutan jati, seolah bayangan masa lalu masih tertinggal di sana.
“Ayahku.”
Raka terdiam.
Yarun’ru melanjutkan, perlahan namun tegas:
“Yarun Rahu-lah yang memerintahkan Suku Yaka menebang pohon besar-besaran.”
“Bukan karena mereka ingin… tapi karena Lakantara menuntut kayu.”
Ia menggeser pedangnya sedikit, mengingat masa lalu yang pahit.
“Pohon jati purba itu… butuh lima hingga tujuh hari untuk tumbang hanya dengan kapak batu.”
“Setiap tebasan membutuhkan tenaga. Setiap luka pada batang membuat mereka bersalah pada tanah.”
Raka memandang Yarun’ru dengan mata membesar.
“Jadi selama ini… Suku Yaka dituduh merusak alam padahal itu perintah Lakantara?”
Yarun’ru mengangguk pelan.
“Kayu itu dipakai untuk rumah-rumah baru…”
“Untuk arang…”
“Untuk api tempa…”
“Dan untuk kebutuhan Lakantara yang tak pernah berhenti.”
Ia menatap tanah retak di bawah mereka.
“Suku Yaka hanya mengikuti perintah. Mereka tidak pernah menginginkan ini hutan gundul, tanah terbakar.
Mereka hanya ingin bertahan hidup.”
Raka merasakan angin panas menyapu wajahnya, membawa bau debu dan arang lama.
“Kalau begitu… tuduhan dari akar Sajar salah besar,” gumamnya pelan.
Yarun’ru menatap Raka.
“Di dunia ini, Raka… kebenaran mudah dibengkokkan.”
“Dan kadang orang yang paling dituduh… justru adalah orang yang paling taat pada alam.”
Raka mengangkat tangan deket kepala dan mata menatap tanah seolah olah bingung.
“Jika akar Sajar salah… atau jika Yarun’ru berbohong… apa yang kupercayai selama ini mungkin tidak pernah benar sejak awal.”