NovelToon NovelToon
Dunia Raka

Dunia Raka

Status: sedang berlangsung
Genre:Perperangan / Penyelamat / Action / Spiritual / Epik Petualangan / Fantasi
Popularitas:398
Nilai: 5
Nama Author: Lukman Mubarok

Kisah perjalanan Raka melakukan ujian Prahya sebelum resmi menjadi Rasi seorang guru Spiritual.

Perjalanan terkadang tidaklah mudah tapi bisa melewatinya dengan kesabaran dan kebijaksanaan.

Kisah ini ada di zaman neolitikum atau zaman batu muda dimana orang orang berpindah tempat nomaden kini menetap peralatan dan berburu masih sederhana menggunakan batu di poles halus menjadi pisau batu, tombak batu dan panah batu.

Tapi ada satu Kerajaan besar zaman neolitikum yang sangat maju peradabannya bahkan sangat di takuti suku suku lain dan bahkan di negeri lain.

Kerajaan itu adalah Lakantara berdiri di atas tanah dengan tembok melingkar konsentris lapis ada 5 tembok dgn status yang berbeda.

Sudah mengenal sistem irigasi, pertanian, sosial, ekonomi dan senjata yang terbuat dari perunggu yang lebih keras dari senjata batu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lukman Mubarok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 34 - Tawa Pahit di Lembah

Di dalam lembah hutan itu udara terasa lebih kering daripada biasanya. Tidak ada kabut lembah karena masih musim panas sinarnya menembus dedaunan dengan jelas.

Raka berjalan paling depan, matanya menyisir setiap pohon asing yang tumbuh tinggi di antara rotan dan semak rimbun.

Hingga langkahnya terhenti di bawah sebuah pohon besar berkulit kasar, dengan buah hijau bundar sebesar kepalan tangan yang jatuh tersebar di tanah.

Raka jongkok, memungut salah satu buahnya.

Ia memecah kulit luarnya menggunakan kayu ranting.

Di dalamnya terdapat biji berwarna gelap, keras namun berminyak.

Ia menggosok bagian dalam biji itu dengan jari, lalu mengendusnya.

“Baunya…” gumam Raka pelan, “mirip minyak kemiri… tapi lebih tajam.”

Yuna yang sejak tadi mengikuti gerakannya dengan rasa ingin tahu mendekat sambil berjongkok.

“Apa itu?” tanyanya.

“Sejenis biji minyak,” jawab Raka sambil menekan biji itu di antara dua batu.

Sedikit minyak keluar, kental dan berwarna kekuningan.

Yuna yang penasaran langsung mengambil satu biji lain, memecahnya dengan giginya tanpa pikir panjang dan langsung menepuk lidahnya sambil meringis.

“Pahit! Ih, rasanya seperti akar busuk!” protesnya sambil meludah ke samping.

Raka menahan tawa.

“Yuna… itu bukan untuk dimakan.”

Yuna menatapnya dengan wajah bingung dan sedikit tersinggung.

“Kalau tidak enak… untuk apa kita ambil?”

Raka mengangkat sedikit minyak yang menempel di jarinya, memperlihatkannya pada Yuna.

“Untuk membuat minyak anti serangga. Campur dengan rumput rase… efeknya kuat sekali.”

Yuna berkedip, lalu mendekat lebih serius.

“…Jadi bukan makanan.”

“Tidak,” jawab Raka sambil tertawa kecil.

Yuna mendesah panjang, memandang biji pahit itu dengan tatapan penuh kecurigaan, lalu menjauh sambil mengusap lidahnya yang masih getir.

“Aku kira semua yang terlihat seperti kacang pasti enak…”

Raka tersenyum, memasukkan beberapa biji nyamplung ke dalam kantung di pinggangnya.

Ia tahu minyak ini akan sangat berguna nanti di saat kehabisan minyak anti serangga.

Yarun’ru yang berjalan sedikit di belakang hanya menggelengkan kepala pelan.

“Tolong,” katanya pada Raka, “pastikan Yuna tidak memakan apa pun sampai kau mengizinkan.”

Yuna menoleh cepat.

“Apa!? Aku tidak makan sembarangan! Aku hanya… mencoba.”

Raka menepuk bahunya sambil tertawa.

“Mulai sekarang, kalau kau ingin mencoba sesuatu… bilang dulu.”

Raka merogoh tas kulit kecilnya dan mengeluarkan sebuah batu pipih dengan lekukan di bagian tengah batu cekung yang selalu ia bawa.

Batu itu ia pilih secara khusus dari tepi sungai; lekukannya pas untuk menumbuk biji-bijian dan meracik ramuan.

Ia menumpuk biji nyamplung di atas batu datar, lalu memecahkannya dengan batu pipih satu per satu.

Setelah daging bijinya terkumpul, ia menambahkan sedikit air sungai dan mulai menumbuknya.

Yuna duduk bersila, kini siap mengamati, pipinya masih masam.

“Kau selalu melakukan hal-hal aneh, Raka.”

“Ini cara lama,” ujarnya sambil terus menumbuk.

“Daging bijinya harus direbus dulu agar racunnya hilang.

Setelah itu, baru diperas untuk mendapatkan minyaknya.”

Yuna memiringkan kepala.

“Jadi… itu tidak boleh dimakan?”

“Tidak. Tapi setelah direbus dan dibersihkan, aman untuk dijadikan minyak.”

Setelah tumbukan itu menjadi bubur pekat, Raka memindahkannya ke wadah batu cekung.

Kemudian ia letakkan di atas batu datar, membuat semacam tungku sederhana.

Ia menyalakan api kecil Yuna membantu dengan cepat, menggesek dua tongkat kering hingga asap tipis muncul.

Bubur biji nyamplung direbus pelan.

Aroma khas minyak mulai tercium.

Ketika cairan berminyak perlahan muncul di permukaan, Raka mematikan api dan menunggu uapnya mereda.

Ia menyendoki lapisan minyak itu, memindahkannya ke wadah bambu bekas minyak kemiri, serai batu dan getah damar.

Lalu ia mengambil segenggam rumput rase di dalam tas kantong tanaman liar beraroma kuat yang digunakan untuk mengusir serangga.

Setelah itu, ia mengambil helaian rumput rase dari ikatan kecil.

Rumput itu beraroma tajam, tidak perlu ditumbuk; cukup diremas kuat hingga seratnya pecah dan mengeluarkan bau khas yang menusuk.

Ia mencampurkannya langsung ke dalam minyak nyamplung di wadah bambu dan mengaduknya perlahan.

Aroma bercampur itu langsung naik hangat, pahit, dan menyinggung hidung.

Yuna mengibaskan tangan.

“Baunya seperti organ binatang mati.”

“Kalau baunya kuat, serangga tidak akan mendekat,” kata Raka sambil tetap mengaduk.

Setelah adonan cukup kental, Raka meraup sedikit dan mengoleskannya tipis-tipis di lengan, leher, dan bagian wajah.

“Oleskan ini, Yuna,” katanya sambil memberikan sedikit.

Yuna mengambilnya, mengendus… lalu mengernyit lagi.

“Ini tidak enak…”

Tapi ia tetap mengoleskannya.

Setelah selesai, ia tersenyum bangga.

“Ah! Aku bau seperti pohon tua!”

Raka hanya tertawa pelan.

Yarun’ru yang baru mendekat berhenti di tengah langkah, hidungnya mengerut.

“Apa bau menusuk ini?”

Raka hanya menghela napas pasrah.

“Itu… minyak nyamplung.”

Yarun’ru memandang Yuna.

Yuna berdiri tegak, bangga.

“Aku bebas serangga sekarang!”

Yarun’ru menutupi hidung.

“Dan aku bebas dari jarak lima langkah darimu.”

Raka tertawa keras untuk pertama kalinya sejak perjalanan dimulai.

Di antara pepohonan lembah yang tenang, untuk sejenak, mereka bertiga seperti teman lama yang tak memikul beban apa pun.

Minyak itu mungkin sederhana, dibuat dengan alat seadanya, namun bagi ketiganya… itu adalah pelindung penting dalam perjalanan panjang menuju suku Yaka.

Raka jongkok di dekat tungku kecil batu pipih.

Ia membuka kantung kulit tua yang selalu ia bawa sejak meninggalkan Desa Gajo.

Yuna mendekat dan langsung memicingkan mata.

“Apa itu? Batu manisan?”

“Kalau ini manisan, lidahmu akan hilang,” jawab Raka sambil tersenyum miring.

Ia mengeluarkan beberapa potong kristal kecokelatan, berbentuk tak beraturan, keras, dan ringan.

Yarun’ru yang berdiri di belakang ikut memperhatikan.

“Itu bukan batu.”

“Bukan.”

Raka mengangguk sambil meletakkan satu kristal di atas batu datar dekat api kecil.

“Ini getah damar. Dari pohon besar di tanah jauh… di utara gunung salak atau tepatnya di wilayah Timangga.”

Yarun'ru terdengar terkejut.

“Timangga? Itu jauh sekali dari sini… bagaimana bisa ada di Desa Gajo?”

Raka mengangkat bahu.

“Pedagang jauh atau pengembara membawa banyak hal aneh. Getah ini salah satunya.”

Api pelan mulai menghangatkan kristal itu.

Perlahan… permukaannya melembut.

Pinggirnya mencair menjadi cairan kental kekuningan yang harum samar.

Yuna membungkuk lebih dekat, hidungnya bergerak-gerak.

“Baunya seperti kayu yang baru ditebang… manis… tapi juga agak panas.”

“Damar memang begitu,” kata Raka.

“Kalau keras, mudah dibawa. Kalau dicairkan, bisa kita pakai untuk banyak hal.”

Yarun’ru mengangguk setuju.

“Di perahu kerajaan Maritara, damar dipakai untuk melapisi kulit kayu agar tidak bocor.”

Raka mengambil sepotong ranting, mencelupkan ujungnya ke damar cair yang bening seperti madu panas.

Cairannya mengilap, bergerak lambat.

“Dan,” lanjutnya,

“kalau dicampur sedikit ke wadah minyak nyamplung campuran rase…”

Ia mengangkat ranting itu, damar menetes kecil seperti lilin.

“…kita bisa membuat pelindung dari serangga. Atau penguat api saat hujan.”

Begitu damar itu tercampur, aromanya berubah tidak hanya segar, tapi juga hangat dan menenangkan, seperti bau tanah kering saat pertama kali tersiram hujan.

Yarun’ru mencondongkan tubuh.

“Ini… wangi sekali,” katanya heran. “Ada rasa rumah. Ada rasa akar.”

Raka tersenyum. “Ya. Kalau kamu suka akar wangi, pasti suka ini.”

Yarun’ru mengambil sedikit campuran itu dengan jari, menggosokkannya ke lengan dan leher.

Hangat. Tidak menusuk. Aromanya bersih, tapi memiliki kedalaman seperti asap tipis dari perapian malam hari.

Yuna mengendus-endus dari belakang.

“Hmm~ wanginya bikin perut lapar,” ujarnya polos sambil tersenyum senang.

Yarun’ru tertawa kecil.

“Ini untuk menenangkan, bukan dimakan.”

Namun diam-diam, ia mengambil selembar kain serat miliknya, meneteskan sedikit campuran itu, lalu menyelipkannya ke dalam lipatan jubahnya tepat di dada.

Aroma hangat yang menenangkan itu akan menemaninya sepanjang perjalanan menuju suku Yaka.

Yuna tersenyum lebar, matanya berbinar.

“Aku suka… benda kecil dari tempat jauh bisa membuat kita aman di hutan ini.”

Raka menoleh, sedikit terkejut, lalu tertawa pelan.

“Akhirnya kau belajar tidak menggigit semua yang kau lihat.”

Yuna langsung mendelik.

“Aku hanya salah sekali!”

Yarun’ru menahan tawa, wajahnya tetap tegas tapi bibirnya bergerak.

“Lebih baik kau jangan mencoba menggigit damar. Kau bisa kehilangan gigi.”

Yuna mendesah, memasukkan rambut ke belakang telinga.

“Tenang. Setelah pengalaman dengan biji nyamplung itu, aku sudah kapok.”

Raka kembali menatap damar cair yang mulai mengental saat jauh dari api.

“Apa pun yang kita temukan… selama bisa membantu perjalanan, harus kita bawa.”

Ia menyendoki damar cair itu ke wadah kecil yang terbuat dari bambu.

Bentuknya mengeras perlahan, berubah kembali menjadi kristal padat.

“Begini,” katanya sambil menutupnya rapat.

“Kita bisa menggunakannya kapan pun perlu.”

Di antara tiga orang itu, hanya Yuna yang benar-benar kagum.

“Kristal dari tanah jauh,” gumamnya.

“Semua hal di dunia ini… lebih ajaib dari yang kukira.”

Yarun’ru melangkah mendekati Raka setelah melihatnya hasilnya dan menyimpan sisa campuran minyak ke dalam kantong kulit.

Tanpa banyak kata, ia mengeluarkan botol tembaga kecil dari dalam sabuknya. Bentuknya ramping, tutupnya berulir, dan terdapat goresan-goresan halus seperti pernah digunakan leluhurnya.

Ia menyodorkannya pada Raka.

“Raka…,” ucap Yarun’ru pelan, namun suaranya terdengar lebih hangat dari biasanya.

“Aku ingin sedikit minyak yang kau buat tadi.”

Raka mengangkat alis. “Boleh, bukankah kau tidak suka aroma pekat ini?”

Yarun’ru tersenyum tipis, ekspresi yang jarang muncul di wajahnya.

“Justru karena itu,” katanya.

“Ketika kau mencampurinya dengan sejumput getah damar… aromanya berubah.”

Ia menutup mata sejenak, seakan sedang membayangkan sesuatu yang jauh.

“Aku seperti mencium kembali wangi tanah kelahiranku… akar wangi yang dipanaskan sore hari… udara hangat dari perapian kakek.”

Napasnya sedikit gemetar.

“Aroma itu… rumah.”

Tanpa menjawab, Raka membuka tutup botol tembaga kecil itu dan menuangkan sedikit minyak campuran ke dalamnya.

Warnanya kekuningan, sedikit lebih pekat dari minyak kemiri, dengan kilau halus dari sisa damar yang mulai meleleh.

Saat botol ditutup kembali, Yarun’ru memegangnya dengan kedua tangan bukan sekadar mengambil, tetapi seolah sedang menerima sesuatu yang berharga.

Raka bertanya lirih, “Memang sehangat itu aromanya bagimu?”

Yarun’ru mengangguk.

“Aku biasa tidur dengan bau akar wangi dan damar. Tanpa itu… aku sulit tenang.”

Ia menyelipkan botol itu ke dalam sabuknya dengan hati-hati.

“Terima kasih, Raka.”

Yuna yang dari tadi memperhatikan, ikut tersenyum dan bersenandung kecil, seolah mengerti betapa mahalnya kenangan yang dikemas dalam botol kecil itu.

Yuna yang sedari tadi hanya mengamati dengan kepala miring seperti anak kucing akhirnya mengangkat tangannya.

“Kenapa kalian selalu mengoles-oles itu ke kulit?” tanyanya polos sambil menunjuk botol kecil yang dipegang Yarun’ru.

“Selama aku tinggal di rumahku… tidak pernah ada serangga apa pun menggigitku.

Kenapa kalian digigit?”

Raka tersenyum kecil, sementara Yarun’ru menghela napas pelan bukan kesal, tapi seperti baru memahami sesuatu.

“Yuna…” ucap Yarun’ru sambil menatapnya.

“Tempat tinggalmu itu… saat kami masuk pertama kali, aku melihat sendiri sekitarnya dan penutup kayunya dipenuhi rumput rase.”

Raka mengangguk cepat. “Iya. Baunya mirip serai. Bahkan dari luar sudah tercium dikit. Serangga mana pun pasti menjauh.”

Yuna berkedip dua kali, tampak bingung.

“Oh… jadi rumput-rumput itu… yang membuatku tidak pernah digigit?”

“Betul,” jawab Raka.

“Aroma rumput rase atau serai wangi memang mengusir serangga.

Kamu tinggal di bawah tanah, ruangnya tertutup, dan penuh dengan tanaman itu.

Kamu seperti hidup di dalam benteng aroma.”

Yuna mengangguk-angguk pelan, wajahnya seperti baru menyadari sesuatu yang sangat sederhana.

“Ah… pantesan,” gumamnya sambil menepuk pipi.

“Aku kira serangga-serangga itu cuma tidak suka aku saja.”

Yarun’ru sedikit tertawa.

“Bukan begitu.

Justru kamu yang selama ini hidup paling aman dari gigitan serangga.”

Yuna tersenyum bangga, kedua tangan di pinggang, seolah berhasil memenangkan sesuatu tanpa ia sadari selama ini.

Yarun’ru tiba-tiba berhenti berjalan.

Langkah kakinya yang biasanya mantap kini menancap dalam pada tanah lembap di jalur hutan.

Bahunya menegang terlihat jelas meski ditutupi jubah perjalanan.

Ia menoleh perlahan ke belakang, wajahnya berubah serius, jauh dari tawa ringan beberapa menit lalu.

“Raka. Yuna.”

Suaranya rendah… tapi tegas.

“Kemarilah.”

Raka refleks menghentikan langkah, jantungnya berdegup sedikit lebih cepat.

Ada sesuatu pada nada Yarun’ru yang tidak biasa seakan-akan seluruh hutan mendengarkan.

Yuna, yang sedari tadi melompat-lompat memungut daun dan menyenandungkan “nanana…”, ikut terdiam.

Ia menatap Yarun’ru dengan matanya yang besar dan polos, kepalanya sedikit miring.

“Ada a..pa?” tanya Raka, mendekat dua langkah.

Yarun’ru tidak langsung menjawab.

Ia hanya mengangkat satu tangan, memberi isyarat agar mereka mendekat lebih dekat lagi.

Matanya menyapu sekitar ke pepohonan, ke semak yang bergerak ringan, ke jalur tanah yang tadi mereka lalui.

Lalu ia berbisik dengan suara yang hampir tenggelam oleh angin panas musim kering:

“Aku….”

1
Adrian Koto
gaya penulisannya asik jg. mengalir 👍
Lukman Mubarok: 🙏Terimakasih kak
total 1 replies
Nixney.ie
Mesti dibaca ulang!
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
Tít láo
Gak bisa move on! 😍
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!