NovelToon NovelToon
Jodohku Adalah Sahabat Dari Mantan Ku

Jodohku Adalah Sahabat Dari Mantan Ku

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Agnura

cerita ini aku ambil dari kisah aku sendiri

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agnura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Eps # Cila sampai di rumah

Sore itu, langit mulai memerah di sebelah barat ketika itu

cila baru saja tiba di rumah. Suara langkahnya terdengar pelan di halaman yang masih lembab sisa hujan sore. Udara terasa sejuk, dan aroma tanah bercampur rumput basah menyambutnya begitu dia membuka pagar besi yang mulai berkarat di sisi kanan rumah.

Rumah itu sederhana, berdinding bata, tapi selalu terasa hangat karena di sanalah tempat cila bisa pulang dan merasa aman. Mama dan ka Angga yang menggandeng tangan aku dengan senyum yang khas senyum yang selalu membuat dada cila terasa hangat. Di samping itu, ada ayah yang sudah menunggu kedatanganku, ka angga adalah laki-laki yang sudah beberapa minggu ini sering datang ke rumah sakit membantu Ayah menjaga cila.

“Kita Sudah pulang, nak !” sapa Mama sambil tersenyum.

“Iya, Ma,” jawab cila pelan, menaruh tasnya di kursi rotan dekat pintu. “Macet banget ya di jalan. Aku sampai capek”

Mama mengangguk, lalu menoleh sekilas pada Kak Angga yang baru saja duduk di sofa “Angga bantuin Mama beres-beres dulu ya. Kasur nanti kita bawa keluar, malam ini tidur di luar aja biar sejuk.”

cila sedikit terkejut. “Tidur di luar, Ma? Di teras maksudnya?”

“Iya, kan udaranya adem. Sekalian biar kumpul bareng-bareng. Ayah juga nanti pulang agak malam,” jawab Mama santai.

Kak Angga yang dari tadi diam hanya menatap lembut ke arah cila. Tatapannya tidak berlebihan, tapi cukup untuk membuat jantung cila berdetak sedikit lebih cepat. Entah kenapa, sejak beberapa waktu terakhir, tatapan itu terasa berbeda. Tidak hanya sekadar perhatian ada sesuatu yang lebih dalam, tapi cila selalu berusaha mengabaikannya.

Beberapa jam kemudian, malam datang membawa hawa dingin yang lembut. Mama sudah menggelar kasur besar di lantai ruang tengah, sementara di sudut lain, sofa panjang sudah disiapkan untuk Kak Angga.

“Angga tidur di sofa aja ya, nanti masuk angin kalau di lantai,” kata Mama sambil merapikan bantal.

“Iya, Ma. Gak apa-apa kok,” jawabnya dengan sopan.

Ayah yang baru pulang dari luar kota langsung masuk ke kamar setelah makan malam. Beliau tampak lelah, jadi tidak banyak bicara. Suasana rumah menjadi tenang, hanya suara jangkrik di luar jendela yang menemani mereka.

cila dan Mama berbaring di kasur di sebelah lemari, sementara Kak Angga merebah di sofa tak jauh dari situ. Lampu ruang tengah sengaja diredupkan, menimbulkan suasana hangat dan damai.

Beberapa menit pertama cila berusaha memejamkan mata, tapi sulit. Ia bisa merasakan tatapan Kak Angga dari arah sofa. Tidak tajam, tapi cukup untuk membuat pipinya terasa hangat. Ia membuka mata perlahan dan benar, pandangan itu sedang menatapnya.

Kak Angga tersenyum samar, seolah takut ketahuan. Mama yang rupanya belum tidur ikut memperhatikan dari balik selimut.

“Angga,” bisik Mama pelan. “Tidur, nak. Jangan malah melamun.”

Kak Angga tersadar, mengalihkan pandangan cepat-cepat. “Iya, Ma. Maaf, tadi kepikiran kerjaan.”

Tapi Mama tahu bukan itu alasannya. Ia hanya tersenyum kecil, kemudian berbisik pada dirinya sendiri, “Kalau memang dia baik dan sungguh-sungguh, mungkin memang sudah waktunya aku percaya.”

cila hanya diam, berpura-pura tidur, padahal hatinya berdebar. Ia tahu ada sesuatu dalam diri Kak Angga yang berbeda dari laki-laki lain yang pernah ia kenal. Perhatian, sopan, tapi juga tulus seperti seseorang yang datang bukan hanya untuk singgah, tapi untuk menetap dalam diam.

Pagi datang dengan cahaya lembut yang menembus jendela. Burung-burung berkicau di pepohonan depan rumah. Mama sudah bangun lebih dulu, seperti biasa, menyiapkan air hangat dan sarapan.

Kak Angga tampak sudah rapi dengan kaos abu muda. Ia keluar sebentar ke depan rumah, lalu tak lama kembali dengan dua bungkus bubur di tangannya.

“Mama masih tidur?” tanya Kak Angga pelan.

“Udah bangun kok." jawab cila

Tapi ini buat cila aja dulu, aku suapin ya, sekalian sarapan bareng,” kata kak Angga sambil tersenyum penuh arti.

cila yang baru bangun masih tampak setengah mengantuk. Rambutnya sedikit berantakan, tapi senyumnya membuat suasana pagi terasa cerah.

“kaka gak makan?” tanyanya heran.

“Iya,” jawab Kak Angga, membuka plastiknya. “adek aka dulu kaka suapin kaka mah gampang .”

cila duduk di lantai dekat meja kecil. Kak Angga duduk di depannya. Tanpa banyak bicara, ia mulai menyuapi cila perlahan.

" baca doa dulu" ucap kak Angga

“Pelan-pelan, masih panas,” katanya lembut.

cila menunduk, mencoba menyembunyikan senyum kecil yang muncul tanpa sadar. “Aku bisa sendiri kok, Kak.”

“Tapi kan aku mau nyuapin,” jawabnya santai.

Mama yang melihat dari dapur hanya menggeleng kecil. Ia tidak ingin mengganggu momen itu, meski dalam hatinya mulai muncul kekhawatiran bukan karena tidak suka, tapi karena tahu anak gadisnya mulai tumbuh dewasa, dan rasa suka kadang datang tanpa bisa dicegah.

Hari itu berjalan tenang. Ayah akhirnya punya waktu luang setelah beberapa hari sibuk di luar kota. Dari cara pandangnya, sepertinya beliau sudah lama memperhatikan kedekatan antara cila dan Kak Angga.

Sore itu, saat cila sedang membantu Mama di dapur, Ayah memanggil Kak Angga keluar. Mereka duduk di teras, ditemani dua gelas kopi hangat. Suasana hening sejenak sebelum Ayah membuka pembicaraan.

“Angga,” suara Ayah pelan tapi tegas. “Aku perhatiin, kamu sering ke sini bukan cuma buat bantuin rumah, kan?”

Kak Angga menatap Ayah dengan hormat. “Iya, Pak. Saya memang sering datang karena sudah nyaman sama keluarga ini. Dan terus terang, saya juga punya perasaan lebih sama cila.”

Ayah mengangguk perlahan, tanpa menunjukkan emosi. “Aku tahu. Aku bukan orang yang gampang percaya, tapi aku bisa lihat cara kamu memperlakukan dia.”

Kak Angga menunduk, mendengarkan.

“Aku gak mau hal yang seharusnya indah malah jadi beban. cila masih sekolah. Aku gak mau dia terganggu, apalagi sampai hal yang tidak diinginkan terjadi,” lanjut Ayah dengan nada berat tapi penuh makna.

Kak Angga langsung menjawab dengan mantap, “Saya paham, Pak. Saya janji gak akan ganggu sekolahnya. Saya cuma mau jadi orang yang ada buat dia, kapan pun dia butuh. Dan kalau waktunya tepat, saya bakal datang lagi buat minta izin dengan cara yang benar.”

Ayah terdiam sejenak. Angin sore berhembus lembut, membawa aroma daun basah dari kebun kecil di samping rumah. Akhirnya, Ayah menghela napas panjang dan berkata pelan, “Kalau begitu... aku restui. Tapi ingat, jangan kecewakan aku dan jangan buat dia sedih. Jaga dia baik-baik, tapi biarkan dia tetap jadi dirinya sendiri.”

Kak Angga menatap Ayah dengan mata sedikit berkaca. “Terima kasih, Pak. Saya akan pegang kata-kata itu.”

Ketika malam tiba lagi, suasana rumah terasa berbeda tenang, tapi penuh arti. cila tidak tahu tentang percakapan sore tadi. Ia hanya merasa Kak Angga tampak lebih tenang dari biasanya.

Setelah makan malam, Kak Angga membantu aku untuk duduk di sofa, lalu ia pamit pulang. Sebelum melangkah keluar, ia menatap cila sebentar.

“ cepet sehat ya dek ,” ucapnya dengan senyum lembut.

cila mengangguk. “Iya, Kak.”

Setelah pintu tertutup, Mama menghampiri anaknya. “Kamu tahu gak, Nak? Kadang orang yang benar-benar tulus gak banyak bicara, tapi tindakannya bisa kamu rasain. Mama cuma mau kamu hati-hati, jangan terburu-buru. Semua akan indah pada waktunya.”

cila menatap Mama dan tersenyum pelan. “Aku tahu, Ma. Aku cuma... senang aja kalau dia ada.”

Mama mengelus kepala anaknya, “Itu tandanya kamu mulai belajar mengenal cinta. Tapi jangan lupa, restu dan tanggung jawab itu jalan yang harus kamu tempuh pela-pelan.

Minggu-minggu berikutnya berjalan seperti biasa. Kak Angga masih sering datang ke rumah, kadang cuma menemani Ayah mengobrol, kadang hanya sekadar mengantar sarapan pagi. Tapi kini semuanya terasa berbeda ada batas yang dijaga, tapi juga rasa yang tumbuh diam-diam dalam kehangatan.

cila fokus dengan sekolahnya, seperti janji yang dipegang Kak Angga pada Ayah. Setiap kali ia melihat sosok itu datang dengan senyum tenang dan tatapan tulus, hatinya tahu cinta yang baik bukan yang terburu-buru, tapi yang tumbuh bersama waktu dan kepercayaan.

Dan di antara kesederhanaan rumah itu, menjadi saksi mereka belajar satu hal penting:

Bahwa cinta tak harus besar untuk bisa terasa. Kadang cukup dengan kebersamaan, perhatian kecil, dan restu yang tulus dari orang tua semuanya sudah lebih dari cukup untuk membuat hati bahagia

1
Sterling
Asik banget ceritanya!
Agnura 🍑: terimakasih ka
total 1 replies
Agnura 🍑
pokoknya tunggu episode selanjutnya 🙏
Android 17
Wah, ga terasa udah kelar aja. Makasih thor!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!