Kael Ardhana, animator berusia 36 tahun yang hidupnya hancur karena kegagalan industri, tiba-tiba terbangun di tubuhnya saat berusia 18 tahun… di tahun 1991. Dengan seluruh pengetahuan masa depan di tangannya, Kael bertekad membangun industri animasi lokal dari nol, dimulai dari sebuah garasi sempit, selembar kertas sketsa, dan mimpi gila.
Tapi jalan menuju puncak bukan sekadar soal kreativitas. Ia harus menghadapi dunia yang belum siap, persaingan asing, politik industri, dan masa lalunya sendiri.
Bisakah seorang pria dari masa depan benar-benar mengubah sejarah… atau justru tenggelam untuk kedua kalinya?
Yuk ikutin perjalanan Kael bersama-sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chal30, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 17
Minggu terakhir bulan keempat terasa seperti hitungan mundur sebelum ujian paling penting dalam hidup. Semua orang di Studio Garasi bekerja dengan intensitas yang hampir menyentuh batas, bukan karena tekanan, tapi karena rasa tanggung jawab yang tumbuh di dada masing-masing. Mereka ingin film ini selesai dengan sempurna, tanpa penyesalan.
Pagi itu, Kael datang jauh lebih awal dari biasanya. Langit masih abu-abu, udara dingin menusuk, dan jalanan Jakarta baru mulai bernafas. Hanya ada suara becak yang melintas pelan dan pedagang koran yang mulai menggelar dagangannya di bawah lampu jalan yang temaram.
Ia membuka pintu studio dengan kunci yang sudah berkarat, masuk ke ruangan gelap dan dingin, lalu menyalakan lampu satu per satu sampai cahaya memenuhi seluruh ruang kerja kecil itu.
Mejanya berantakan, penh dengan tumpukan notes, sketsa karakter, dan cangkir kopi yang sudah kering di dasar. Ia menarik napas panjang, duduk, lalu membuka buku catatan yang hampir penuh. Tangannya langsung bergerak cepat, menulis checklist minggu terakhir dengan gerakan otomatis seorang yang sudah terlalu sering melawan waktu.
“Voice recording hari Senin dan Selasa… mixing final Rabu sampai Jumat… review keseluruhan film hari Sabtu… final export dan submit Minggu,” gumamnya pelan, suara serak tapi fokus. Pensil di tangannya sudah pendek sekali, tapi masih terus menari di atas kertas.
Pintu studio tiba-tiba berderit. Dimas masuk dengan mata setengah terbuka dan rambut berantakan, wajahnya masih menyisakan jejak tidur, tapi sorot matanya sudah tajam seperti biasa.
“Lu udah di sini dari jam berapa, Kael? Gue lihat motor lu di depan pas gue beli nasi uduk, masih gelap tuh.” Suaranya parau tapi penuh kepedulian.
Kael menoleh sebentar tanpa berhenti menulis. “Dari jam lima. Gak bisa tidur, Mas. Kepikiran terus soal final week ini.”
Dimas mendengus pendek, lalu meletakkan dua bungkus nasi uduk di meja Kael. “Udah, makan dulu. Lu gak bisa kerja dengan perut kosong. Ini dua porsi, satu buat gue, satu buat lu. Dan jangan ngelak, gue tau lu belum makan dari semalam.”
Kael menatap bungkusan itu, ada rasa bersalah yang muncul di wajahnya. “Makasih, Mas. Gue emang lupa makan… kebanyakan mikir scene terakhir.”
“Ya, makanya gue datang pagi-pagi. Gue gak mau lihat lu tumbang di minggu terakhir,” ucap Dimas tegas, tapi suaranya hangat. Ia menatap Kael seperti kakak yang menjaga adiknya sendiri, keras tapi penuh kasih.
Mereka makan dalam diam yang tenang. Hanya terdengar bunyi sendok dan dentingan ringan cangkir kopi. Kadang-kadang mereka bicara singkat soal detail yang masih harus dibenahi, tapi tanpa tekanan. Hanya dua orang yang sudah saling memahami ritme satu sama lain.
Pukul delapan, studio mulai ramai. Rani datang dengan tas besar berisi sentuhan akhir latar belakang. Budi dan Arman masuk membawa peralatan recording pinjaman dari kampus musik. Agus dan Sari tiba dengan mata sayu karena begadang, tapi semangat mereka masih menyala.
Kael berdiri di depan papan tulis, menatap semua orang dengan mata yang penuh semangat dan tanggung jawab. “Oke, guys. Ini minggu paling penting. Senin dan Selasa kita fokus voice recording. Rabu sampai Jumat mixing dan mastering. Sabtu screening internal, Minggu export final dan submit. Tidak ada ruang untuk kesalahan. Tidak ada waktu untuk drama. Kita harus kerja bersih, cepat, dan profesional.” Suaranya tegas, tapi tiap kata mengandung rasa percaya yang menular. Semua orang menatapnya dengan semangat baru.
“Siapa yang jadi voice actor Sang Penjaga?” tanya Rani sambil membuka notes-nya, nada suaranya penuh antusias meski wajahnya masih letih.
“Gue dapet Pak Bardi, dosen teater IKJ,” jawab Budi dengan bangga. “Suaranya berat dan penuh karakter. Dan kabar bagusnya, beliau mau bantu gratis karena tertarik sama proyek kita. Jam sepuluh nanti beliau datang.”
“Kalau untuk anak kecilnya siapa?” tanya Dimas sambil menyiapkan lembar referensi karakter untuk para pengisi suara.
“Keponakan gue. Namanya Riko, sebelas tahun. Gue udah latih beberapa kali di rumah. Anak itu excited banget,” jawab Budi sambil tersenyum bangga, dan senyum itu menular ke seluruh ruangan.
Jam sepuluh tepat, Pak Bardi datang. Pria paruh baya dengan kumis tebal, bahu lebar, dan suara berat yang bahkan tanpa mikrofon pun sudah menggetarkan udara. Begitu ia membaca naskah, matanya menyipit, lalu mengangguk pelan.
“Karakter ini menarik sekali,” ucapnya, suaranya dalam dan berwibawa. “Sang Penjaga ini bukan sekadar tokoh latar. Ada jiwa tua yang terluka di dalamnya.”
Kael menatapnya dengan semangat yang menyala. “Betul, Pak. Sang Penjaga itu simbol tujuan yang terlupakan. Dulu dia punya purpose jelas, tapi seiring waktu orang-orang melupakannya. Sampai anak kecil itu datang dan ngingetin kenapa dia harus tetap ada.”
Pak Bardi tersenyum tipis, kagum pada kedalaman maknanya. “Bagus. Cerita ini punya hati. Oke, mari kita mulai.”
Sepanjang hari, mereka merekam semua dialog Sang Penjaga. Pak Bardi tampil luar biasa: suaranya bisa berubah dari lembut penuh harapan menjadi kosong dan patah dalam satu tarikan napas. Setiap kalimat yang keluar terasa hidup, seolah sosok penjaga itu benar-benar berdiri di tengah hutan sunyi.
“Cut! Perfect, Pak!” seru Kael dari ruang kontrol dengan mata berbinar. “Take terakhir tadi… itu yang kita cari. Berat, tapi masih ada cahaya di ujungnya.”
Pak Bardi tertawa kecil di dalam stan yang dilapisi kardus telur seadanya. “Saya rasa karakter ini pun akhirnya menemukan kedamaian.”
Keesokan harinya, giliran Riko datang. Anak kecil itu mengenakan kemeja rapi, rambut disisir licin, wajahnya campuran antara gugup dan senang. Ia memegang script erat-erat seperti harta karun.
“Riko, ini Om Kael,” kata Budi sambil menepuk bahu keponakannya dengan lembut. “Om yang bikin ceritanya. Gak usah takut, Om Kael orangnya baik.”
Kael berjongkok agar sejajar dengannya. “Halo, Riko. Makasih ya udah mau bantuin kita. Udah baca script-nya?” tanyanya lembut.
Riko mengangguk cepat. “Udah, Om. Om Budi udah latih aku. Aku udah hafal sebagian.” Suaranya kecil tapi jujur, dan ada binar kagum di matanya.
Sesi recording dimulai dan ternyata tidak semudah dugaan mereka. Suara Riko polos dan jernih, tapi emosinya sulit diarahkan. Kadang terlalu datar, kadang terlalu berlebihan. Kael beberapa kali harus menghentikan take dan memberi contoh.
“Riko, coba bayangin kamu lagi nyari Ayah di hutan yang gelap. Kamu takut, tapi kamu harus terus jalan. Nah, sekarang bilang linenya dengan rasa takut tapi berani, ya?” ujar Kael pelan sambil menatap anak itu dengan penuh kesabaran.
Riko menarik napas panjang, memejamkan mata sebentar, lalu berbicara:
“Ayah… Ayah di mana? Aku takut… tapi aku harus nemuin Ayah… aku harus…”
Suaranya bergetar, tidak sempurna, tapi tulus. Ada ketakutan, tapi juga keberanian kecil yang hangat. Ruangan mendadak sunyi. Semua orang menatap ke arah stan, sebagian menahan napas.
Kael menunduk sedikit, dadanya sesak. “Cut… perfect. Riko, itu luar biasa. Lu hebat banget.” Suaranya pelan tapi bergetar karena terharu.
Riko memandangnya bingung. “Beneran bagus, Om? Aku tadi hampir lupa satu kata…”
Kael tertawa kecil, lalu mengacak rambutnya dengan sayang. “Beneran bagus. Kamu punya bakat, Rik. Suatu hari nanti, kamu harus terusin ini.”
Wajah Riko memerah menahan malu, tapi senyumnya lebar dan murni. Semua orang bertepuk tangan.
Sore itu mereka berkumpul di ruang sempit yang mulai pengap. Budi memutar hasil rekaman, dan mereka mendengarkan dalam diam. Rani menunduk serius, menandai bagian terbaik dengan spidol warna.
“Take lima untuk opening monolog Sang Penjaga,” ucapnya. “Itu yang paling punya bobot.”
“Setuju,” kata Dimas tanpa mengalihkan pandangan dari layar. “Tapi untuk scene pertemuan, take tujuh lebih dapet koneksinya sama si anak.”
Mereka terus berdiskusi, memilih setiap potongan suara dengan teliti. Tidak ada yang bicara sembarangan; setiap keputusan diambil dengan rasa hormat terhadap karya yang mereka cintai.
Malam turun pelan. Satu per satu orang pulang, meninggalkan studio yang kembali sepi. Tinggal Kael dan Budi yang masih membereskan peralatan recording. Di tengah kesunyian itu, Budi tiba-tiba berbicara dengan nada berat.
“Mas Kael, gue mau ngomong sesuatu. Penting.”
Kael menatapnya dengan serius. “Ada apa, Bud?”
Budi menarik napas dalam-dalam. “Gue dapet tawaran kerja dari studio musik di Bandung. Posisi full-time, gajinya besar. Jauh lebih gede dari yang gue dapet di sini.” Suaranya pelan, tapi jelas ada pergulatan di sana.
Kael terdiam sejenak. Ia sudah menebak hal seperti ini akan datang cepat atau lambat. “Terus… lu mau ambil?” tanyanya hati-hati.
Budi menggeleng, lalu menatap Kael dengan mata berkaca. “Enggak. Gue gak mau ninggalin Studio Garasi. Gak mau ninggalin kalian. Di sini gue bukan cuma kerja, Mas. Gue ngerasa jadi bagian dari sesuatu yang bener-bener berarti. Uang gak bisa ganti itu.”
Kael menutup wajahnya sebentar, matanya basah. Ia mencoba bicara, tapi suaranya patah. “Bud… lu gak tau seberapa berartinya kata-kata itu buat gue.”
Budi tersenyum kecil, air mata menetes di pipinya. “Gue tau, Mas. Makanya gue nolak langsung. Gue bilang gue udah punya tempat di mana gue dihargai, dihormatin, dan dicintai. Gue gak akan tuker itu sama apapun.”
Kael berdiri dan memeluknya erat. “Makasih, Bud… makasih udah stay. Gue janji, Studio Garasi bakal jadi tempat di mana lu gak harus milih antara passion sama hidup yang layak.”
Budi memeluk balik dengan suara bergetar tapi mantap. “Gue percaya, Mas Kael. Suatu hari, dunia bakal tahu nama kita.”
Malam itu Kael pulang dengan hati campur aduk. Ada syukur, ada rasa takut, tapi juga ada tekad yang makin mengeras. Ia rebah di kasur tipis kontrakannya, menatap langit-langit retak yang sudah lama jadi saksi perjuangan.
“Kita pasti bisa,” bisiknya ke kegelapan, suaranya lirih tapi kokoh. “Kita harus bisa. Terlalu banyak yang udah dikorbankan buat gagal sekarang.”
Lalu matanya terpejam pelan, membawa mimpi tentang festival Singapura, tentang tepuk tangan panjang yang bergema, dan tentang hari ketika dunia akhirnya menyadari bahwa animasi Indonesia pun bisa berdiri sejajar dengan karya terbaik dari mana pun.