Kisah perjuangan seorang anak ningrat yang dibuang bersama ibunya, tumbuh miskin, dihina, dan bangkit menjadi legenda dunia bisnis—menaklukkan pasar saham, membangun kerajaan korporasi, dan akhirnya mengguncang fondasi keluarga bangsawan yang dulu mengusirnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
YAYASAN KINASIH
Kabut tipis turun dari punggung Gunung Slamet, menyelimuti desa Gumalar dengan udara sejuk yang membawa aroma tanah basah. Pagi itu, jalanan desa tampak lebih ramai dari biasanya. Spanduk berwarna biru dengan tulisan “Selamat Datang, Yayasan Kinasi” terbentang di depan sekolah dasar satu-satunya di kaki bukit itu. Anak-anak berlarian riang, memakai seragam terbaik mereka. Para guru sibuk menyiapkan kursi dan sound system pinjaman dari balai desa.
Di antara keramaian itu, Lanang Damar Panuluh berdiri di depan kelas dengan kemeja putih yang disetrika rapi oleh ibunya. Rambutnya disisir ke samping, wajahnya tampak lebih dewasa dari usianya yang baru empat belas tahun. Hari itu, kepala sekolah memberinya tugas besar — mewakili murid-murid untuk menyambut tamu kehormatan dari Jakarta. Ia diminta berpidato mewakili anak-anak desa.
Meski tampak tenang, jantungnya berdebar keras. Ia tahu siapa yang datang hari itu: Arif Dirgantara, pendiri Yayasan Kinasi, pengusaha besar dari ibu kota yang dikenal karena kepeduliannya terhadap pendidikan anak-anak pelosok. Nama itu beberapa kali ia dengar dari berita televisi kecil di ruang guru. Seorang tokoh muda yang sukses di dunia bisnis, tapi memilih membangun sekolah di tempat-tempat terpencil.
“Damar, jangan tegang,” kata Bu Narti, gurunya, sambil menepuk bahunya. “Kamu itu murid terbaik di sini. Kalau kamu gugup, yang lain bisa ikut gugup semua.”
Lanang tersenyum kaku. “Saya nggak gugup, Bu. Cuma takut salah ngomong aja.”
“Kalau dari hati, nggak akan salah,” jawab Bu Narti bijak.
Sekitar pukul sepuluh pagi, rombongan mobil hitam berhenti di halaman sekolah. Anak-anak yang sedang berbaris langsung bersorak kecil, sementara para guru berdiri di depan gerbang dengan senyum gugup. Dari mobil paling depan, turun seorang pria berjas abu, dengan wajah yang tenang namun berwibawa. Wajah itu membawa aura yang membuat semua mata menoleh. Dialah Arif Dirgantara.
Langkah Arif mantap, namun matanya memandang sekeliling dengan lembut. Ia menyapa satu per satu guru yang menyambutnya, lalu menyalami kepala sekolah. Tak ada sikap berlebihan darinya — hanya ketenangan yang menular. “Terima kasih sudah menerima kami di sini,” katanya dengan senyum hangat. “Kami yang seharusnya berterima kasih, Pak,” jawab kepala sekolah gugup. “Sekolah ini belum pernah kedatangan tamu seistimewa Anda.”
Acara dimulai di halaman sekolah yang beratap tenda putih. Anak-anak duduk di bangku kayu, para orang tua berdiri di belakang mereka. Bendera merah putih berkibar di tiang tengah, sementara suara MC lokal yang terbata-bata mengundang tawa kecil hadirin. Lalu tiba saatnya Lanang dipanggil ke panggung.
“Selanjutnya, sambutan dari perwakilan siswa, adik kita, Lanang Damar Panuluh.”
Suara riuh kecil terdengar dari barisan murid. Lanang melangkah maju dengan napas tertahan. Ia berdiri di depan mikrofon yang sedikit lebih tinggi dari kepalanya. Angin gunung meniup rambutnya pelan, sementara di barisan tamu kehormatan, Arif memperhatikan dengan penuh minat.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,” suara Lanang terdengar jelas meski agak bergetar di awal. “Nama saya Lanang Damar Panuluh, murid kelas delapan SMP di kota Pemalang. Saya lahir dan besar di desa ini. Sejak kecil, sekolah adalah tempat saya bermimpi. Tapi di sini, banyak teman saya yang harus berhenti sekolah karena jarak dan biaya. Kami tidak punya banyak fasilitas, tapi kami punya semangat untuk belajar…”
Arif bersandar di kursinya. Kata-kata bocah itu sederhana, tapi mengalir jujur, penuh keyakinan. Ia merasakan sesuatu yang lama hilang dalam dirinya — api murni dari cita-cita tanpa pamrih.
Lanang melanjutkan, suaranya kini mantap.
“Kalau kami punya buku, kami bisa membaca dunia. Kalau kami punya guru, kami bisa membuka masa depan. Tapi kalau kami punya harapan… kami bisa mengubah hidup kami sendiri. Terima kasih kepada Yayasan Kinasi karena sudah datang jauh-jauh ke tempat ini. Kami berjanji akan belajar sebaik mungkin, agar kelak kami bisa membantu orang lain seperti Bapak Arif membantu kami hari ini.”
Sorak sorai memenuhi halaman. Para guru meneteskan air mata, dan Arif berdiri memberi tepuk tangan. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, hatinya bergetar — bukan karena kehilangan, tapi karena harapan yang baru.
Setelah acara resmi selesai, Arif mendekati Lanang. “Kamu yang tadi pidato?” tanyanya dengan suara lembut.
Lanang mengangguk gugup. “Iya, Pak. Saya Lanang.”
“Hebat sekali,” kata Arif sambil tersenyum. “Pidatomu bagus, dan cara berpikirmu… sangat dewasa untuk anak seumurmu.”
“Terima kasih, Pak,” jawab Lanang, menunduk sopan.
Arif melirik kepala yayasannya. “Catat anak ini. Saya ingin dia masuk dalam daftar penerima beasiswa penuh. Tidak hanya untuk SMA, tapi juga kalau nanti kuliah.”
Lanang membelalakkan mata. “Beneran, Pak?”
“Beneran,” jawab Arif sambil tersenyum kecil. “Tapi saya ingin satu hal darimu.”
“Apa itu, Pak?”
“Kalau nanti kamu sudah besar, jangan hanya jadi orang sukses. Jadilah orang yang berarti.”
Lanang mengangguk kuat. “Saya janji, Pak.”
Setelah itu, Arif sempat berbincang sebentar dengan Lanang dan beberapa guru. Ia bertanya tentang kegiatan belajar, minat anak-anak desa, hingga kondisi ekonomi masyarakat. Dalam percakapan singkat itu, ia menanyakan pandangan Lanang tentang dunia usaha.
“Kalau kamu jadi pengusaha, kamu mau bisnis apa?” tanya Arif sambil tersenyum.
Lanang berpikir sejenak. “Mungkin pendidikan, Pak. Tapi bukan cuma sekolah. Saya ingin bantu orang supaya punya pengetahuan tentang uang. Banyak yang kerja keras tapi nggak tahu gimana cara mengelolanya. Saya pengin bikin semacam tempat belajar keuangan untuk orang desa.”
Arif terdiam. Kata-kata bocah itu memukul hatinya. Ia melihat bayangan seseorang di balik wajah muda itu — semangat, keberanian, cara berbicara… entah mengapa terasa familiar.
Beberapa staf yayasan tersenyum mendengarnya, tapi Arif hanya mengangguk pelan. “Kau punya pemikiran besar, Nak. Pertahankan itu.”
Sore mulai turun. Acara berakhir dengan ramah-tamah sederhana di rumah kepala desa. Arif duduk sebentar, menikmati teh hangat sambil berbincang dengan warga. Dalam obrolan itu, beberapa ibu menyebut nama “Mbak Sari”, ibu dari anak yang tadi berpidato.
“Anaknya Mbak Sari itu hebat ya, Pak. Padahal ibunya cuma bantu-bantu di sekolah.”
Arif mendengarkan sambil tersenyum, tapi entah kenapa nama itu terasa menggores jauh di dalam dadanya. “Sari…” ia mengulang pelan dalam hati. Nama itu seperti bayangan yang hampir diingat tapi lenyap lagi sebelum tergenggam.
Menjelang magrib, rombongan Yayasan Kinasi bersiap kembali ke Jakarta. Mobil hitam berderet di jalan utama desa. Warga melambai, anak-anak berlari mengejar sampai ujung tikungan. Di sisi lain, dari jalan kecil yang menurun, Sari mengayuh sepeda tuanya menuju sekolah untuk menjemput Damar. Ia baru selesai membantu warga menyiapkan logistik acara.
Langit oranye memudar perlahan, cahaya senja memantul di wajahnya yang teduh. Ketika sepeda itu sampai di persimpangan jalan, mobil Arif melintas pelan dari arah berlawanan.
Dan pada detik itu — hanya sekejap mata — pandangan mereka bertemu.
Arif, dari balik kaca mobil, melihat sosok perempuan dengan mata lembut, rambut sebagian tertutup selendang lusuh, mengayuh sepeda menembus kabut sore. Ada sesuatu di wajah itu yang menyalakan alarm di benaknya — rasa yang sudah lama ia lupakan.
Sari pun menoleh spontan ketika mobil melintas. Ia tak tahu mengapa dadanya tiba-tiba berdebar kencang. Seolah tubuhnya mengingat sesuatu yang pikirannya tidak bisa jelaskan.
Mobil terus melaju, tapi Arif menoleh ke belakang. “Berhenti sebentar,” katanya pada sopir. Tapi mobil di belakang sudah menyalakan klakson panjang. Jalan desa sempit, dan sore semakin gelap. Sopir ragu-ragu, “Maaf, Pak, kita ditunggu rombongan di depan.”
Arif menatap kaca belakang sekali lagi. Perempuan itu masih tampak kecil di kejauhan, mengayuh sepeda menembus kabut.
“Tidak mungkin… tapi…” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.
Mobil pun melaju meninggalkan desa, membawa Arif kembali ke Jakarta — namun hatinya tertinggal di kaki Gunung Slamet.
Di jalan yang sama, Sari berhenti sejenak, menatap arah mobil tadi. Entah mengapa, air matanya menetes tanpa sebab. Ia mengusapnya cepat, lalu melanjutkan kayuhan sepedanya menuju sekolah.
Di depan gerbang, Damar sudah menunggunya sambil melambaikan tangan. “Bu, tadi aku ngobrol sama Pak Arif Dirgantara! Orangnya baik banget!”
Sari tersenyum samar. “Oh ya? Siapa itu?”
“Pemimpin Yayasan Kinasi, Bu! Dia bilang nanti aku bisa dapet beasiswa!”
“Syukurlah, Nak,” ucap Sari pelan, tapi suaranya serak.
Saat mereka berjalan pulang di bawah langit ungu yang mulai gelap, Sari menggenggam tangan anaknya lebih erat dari biasanya, seolah takut sesuatu akan merebutnya lagi.
Di kejauhan, suara jangkrik mulai bersahutan. Gunung Slamet berdiri sunyi, menyimpan rahasia dua jiwa yang belum sempat bersua — satu masih mencari, satu telah lupa, tapi takdir telah menulis garisnya.
Dan senja di lereng gunung itu menjadi saksi, bahwa cinta, sekuat apa pun disembunyikan, akan selalu menemukan jalannya untuk kembali.
menarik