Eri Aditya Pratama menata kembali hidup nya dengan papanya meskipun ia sangat membencinya tetapi takdir mengharuskan dengan papanya kembali
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Antara Mimpi dan Realita
Eliana merasa seperti melayang di atas awan, sebuah perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Setelah bertunangan dengan Eri, hidupnya seolah memasuki babak baru yang penuh warna.
Pertunangan yang terjadi begitu cepat masih terasa seperti mimpi indah yang menjadi kenyataan. Dalam beberapa hari terakhir, pikirannya tak pernah lepas dari Eri, tunangannya. Setiap malam, wajah Eri hadir dalam mimpinya, senyumnya yang menenangkan, tatapannya yang teduh, semuanya terukir jelas dalam benaknya. Sejak lama, Eliana mengagumi sosok Eri yang cool dan pintar di kampus. Sebagai adik kelas, ia sering mencuri pandang ke arah Eri dari kejauhan, terpesona oleh ketenangannya saat menghadapi masalah, kecerdasannya dalam berdiskusi, dan kebaikan hatinya pada semua orang. Tak pernah terbayangkan olehnya, takdir akan membawanya sejauh ini, selangkah lebih dekat menuju pernikahan impiannya.
Pagi itu, Eliana sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Risa, teman sekelas sekaligus sahabatnya sejak SMA. Ia ingin segera berbagi kebahagiaan sekaligus kegugupan yang memenuhi hatinya dengan Risa. Ia ingin menceritakan semua detail tentang malam pertunangan itu, dari gaun yang dipakainya, cincin yang melingkar di jarinya, hingga kata-kata manis yang diucapkan Eri saat melamarnya. Setelah kelas selesai, Eliana bergegas menuju taman kampus, tempat favorit mereka untuk berbagi cerita.
"Risa!" sapa Eliana dengan nada riang, senyumnya merekah sempurna. Ia melambaikan tangannya dari kejauhan, tak sabar untuk segera berbagi kabar bahagia ini.
Risa yang sedang membaca buku di bawah pohon rindang menoleh. "Eh, Eliana! Tumben kamu semangat banget. Biasanya juga lesu kayak nggak ada gairah hidup. Ada apa nih? Jangan-jangan..." Risa menggantungkan kalimatnya, menatap Eliana dengan tatapan menggoda. Ia tahu betul ada sesuatu yang istimewa yang ingin diceritakan Eliana.
Eliana duduk di samping Risa, mengatur napasnya yang sedikit tersengal karena berlari kecil. "Kamu tahu nggak? Beberapa hari yang lalu aku... tunangan sama Kak Eri!" bisiknya dengan nada bersemangat, pipinya merona merah. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, malu sekaligus bahagia.
Risa terkejut mendengar cerita Eliana. Ia sampai menjatuhkan bukunya. "Serius kamu, El? Tunangan sama Kak Eri? Astaga, ini beneran mimpi jadi kenyataan!" serunya tak percaya. Matanya membulat, mulutnya menganga. Ia tidak menyangka sahabatnya akan seberuntung ini.
"Iya, Ris! Aku juga nggak nyangka. Aku udah suka sama Kak Eri dari lama, tapi aku nggak berani deketin dia. Aku minder, merasa nggak sepadan sama dia. Eh, malah jadi tunangannya gini," kata Eliana sambil tersipu malu. Ia menundukkan kepalanya, memainkan ujung rambutnya, mencoba menyembunyikan rona merah di pipinya.
"Terus, gimana rasanya jadi tunangannya Kak Eri? Pasti seneng banget ya?" tanya Risa penasaran. Ia tahu betul Eliana pasti sangat bahagia dengan kabar ini. Ia ingin mendengar semua cerita dari mulut Eliana sendiri, setiap detail yang mungkin terlewat.
"Seneng sih seneng, tapi aku juga gugup banget, Ris. Aku nggak tahu harus gimana selanjutnya. Aku takut nggak bisa jadi tunangan yang baik buat dia," kata Eliana dengan nada khawatir. Kebahagiaan yang dirasakannya bercampur dengan rasa gugup dan cemas. Ia takut tidak bisa memenuhi harapan Eri dan keluarganya, takut mengecewakan orang-orang yang menyayanginya.
"Bingung kenapa? Kan kalian udah tunangan, tinggal jalanin aja. Nggak usah terlalu dipikirin," kata Risa santai. Ia mencoba menenangkan Eliana, memberikan perspektif yang lebih sederhana. Ia tahu sahabatnya ini memang seringkali terlalu khawatir tentang hal-hal yang belum terjadi, terjebak dalam pikiran-pikiran yang belum tentu menjadi kenyataan.
"Iya sih, tapi kan aku nggak tahu Kak Eri itu sukanya sama cewek yang kayak gimana. Aku takut dia nggak suka sama aku. Aku takut mengecewakan dia," kata Eliana dengan nada sedih. Ia merasa tidak percaya diri, merasa dirinya tidak cukup baik untuk Eri, meskipun Eri telah memilihnya.
"Eliana, dengerin aku ya," Risa menggenggam tangan Eliana, menatapnya dengan tatapan meyakinkan. "Kak Eri itu cowok baik-baik. Dia nggak mungkin menilai kamu dari penampilan atau harta. Kalau dia udah mau tunangan sama kamu, berarti dia pasti ada rasa sama kamu. Mungkin dia juga udah lama merhatiin kamu, cuma dia nggak berani ngungkapin. Kamu nggak perlu khawatir, percaya aja sama diri kamu sendiri. Kamu itu cantik, baik, pinter, siapa sih yang nggak suka sama kamu?" kata Risa memberikan semangat. Ia ingin sahabatnya ini percaya pada dirinya sendiri, melihat dirinya sebagaimana orang lain melihatnya: seorang wanita yang luar biasa.
"Iya sih, tapi tetep aja aku deg-degan," kata Eliana sambil memegangi dadanya. Jantungnya berdebar kencang membayangkan masa depannya dengan Eri, sebuah masa depan yang kini terasa begitu dekat namun juga penuh dengan ketidakpastian. "Oh iya, Ris, Mama bilang kita harus mulai nyiapin pernikahan. Kamu mau bantuin aku kan?"
"Pasti, El! Aku pasti bantuin kamu. Kita cari gaun pengantin yang paling bagus, dekorasi yang paling cantik, pokoknya semua yang terbaik buat kamu dan Kak Eri," kata Risa dengan semangat. Ia sudah membayangkan dirinya membantu Eliana memilih gaun pengantin yang paling indah, merancang pesta pernikahan yang tak terlupakan.
Eliana tersenyum lega mendengar ucapan Risa. Ia merasa sedikit lebih tenang dan percaya diri. "Makasih ya, Ris. Aku seneng banget punya sahabat kayak kamu. Doain ya, semoga semuanya berjalan lancar," kata Eliana dengan nada penuh harap. Ia berharap semua persiapan pernikahan akan berjalan lancar dan ia bisa menjadi istri yang baik untuk Eri, membangun rumah tangga yang bahagia dan harmonis.
"Pasti, El! Aku pasti doain yang terbaik buat kamu. Aku yakin kalian berdua akan bahagia," kata Risa sambil mengacungkan jempolnya. "Eh, tapi ngomong-ngomong, Kak Eri itu kenal aku nggak ya?" tanya Risa penasaran. Ia ingin tahu apakah Eri tahu tentang dirinya, sahabat Eliana yang selalu ada untuknya, tempat Eliana berbagi suka dan duka.
Eliana berpikir sejenak. "Hmm... sepertinya sih nggak. Tapi nanti aku coba kenalin deh," jawab Eliana. Ia berjanji akan mengenalkan Risa pada Eri secepatnya, agar mereka bisa saling mengenal dan menjalin hubungan baik.
"Oke deh! Aku jadi penasaran juga sama Kak Eri," kata Risa sambil tersenyum.
Eliana dan Risa pun melanjutkan obrolan mereka dengan penuh semangat. Mereka membicarakan banyak hal, mulai dari persiapan pernikahan, seperti memilih gaun pengantin, menentukan tema dekorasi, hingga memesan kue pernikahan. Mereka juga membicarakan rencana kencan pertama Eliana dan Eri setelah resmi bertunangan, membayangkan momen-momen romantis yang akan mereka lalui bersama. Eliana merasa sangat bahagia dan bersemangat untuk menjalani hubungan yang baru ini dengan Eri. Ia berharap, pertunangan ini akan membawa kebahagiaan bagi dirinya dan juga Eri, serta mempererat hubungan antara keluarganya dan keluarga Bu Henny. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia masih merasa sedikit cemas tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia bertanya-tanya, apakah ia benar-benar siap untuk menjadi istri Eri? Apakah ia bisa menjadi wanita yang pantas untuk dicintai dan dinikahi oleh Eri? Pertanyaan-pertanyaan ini terus berputar di benaknya, membuatnya semakin gugup dan tidak percaya diri.
"Tapi ngomong-ngomong, kenapa kamu nggak undang aku ke acara pertunangan kamu dan Kak Eri? Kamu udah nggak menganggap aku sahabatmu lagi?" tanya Risa dengan nada sedikit kecewa, merasa sedikit tersisih dari kebahagiaan sahabatnya.
"Bukan begitu, Ris. Aku benar-benar minta maaf karena aku lupa mengundang kamu di pertunangan aku dan kak Eri. Aku benar-benar lupa, maafkan aku ya, Ris," kata Eliana penuh penyesalan, menyadari kesalahannya yang telah menyakiti hati sahabatnya. Ia menggenggam tangan Risa, berharap sahabatnya bisa memaafkannya.
*************