Anaya White memaksa seorang pria asing untuk tidur dengannya hanya untuk memenangkan sebuah permainan. Sialnya, malam itu Anaya malah jatuh cinta kepada si pria asing.
Anaya pun mencari keberadaan pria itu hingga akhirnya suatu hari mereka bertemu kembali di sebuah pesta. Namun, siapa sangka, pria itu justru memberikan kejutan kepada Anaya. Kejutan apa itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irish_kookie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apa-apaan Ini?
“Bagaimana menurutmu?” tanya Robert untuk ketiga kalinya.
Josh tidak langsung menjawab. Tatapannya kosong, bukan karena tidak mendengar, tetapi karena jantungnya seperti baru saja ditusuk dari belakang.
Josh melihat tanggal-tanggal yang dilingkari merah oleh Robert di tabletnya, tanggal untuk pernikahan Anaya dan Jack.
Kalimat itu berputar-putar di kepalanya, mencabik semua logika yang dia miliki.
“Josh?” Robert mendesak lagi.
Baru kali ini Josh kehilangan kata-kata. Tenggorokannya kering. Jari-jarinya sedikit gemetar, tapi dia menyembunyikannya dengan menggenggam pena terlalu kuat.
“Menurut saya, ...,” suaranya serak, “Keputusan Anda bisa saja terlalu cepat, Tuan. Persiapan pernikahan ini membutuhkan wak-, ...,"
“Aku tidak bertanya soal persiapan.” Robert memotong dingin. “Aku bertanya bagaimana pendapatmu. Kau orang paling dekat dengan Anaya di kantor. Kau melihat keseharian dia. Dia terlihat cocok, kan, dengan Jack?”
Kata cocok itu seperti hantaman kedua bagi Josh. Sampai pria itu menutup matanya sekejap.
Dia membayangkan Anaya tersenyum dengan pria lain di pelaminan membuat napasnya tercekat tanpa dia sadari.
“Tentu, Tuan,” jawab Josh akhirnya. “Jika itu keputusan terbaik untuk Nona White.”
Senyum Robert merekah puas, dan Josh benci dirinya sendiri karena tidak mampu berkata lebih dari itu.
Sementara itu, Anaya memutuskan untuk ikut menginap di hotel bersama tim kerjanya.
Dia mengundang Jane untuk datang dan menemaninya.
"Si Hudson itu datang menemuimu?" tanya Jane terperangah.
Anaya mengangguk. Tatapan matanya lurus ke depan, memerhatikan para karyawannya yang sedang asik bermain di kolam renang hotel.
"Dia mau apa? Melabrakmu?" Jane terus bertanya tanpa menunggu jawaban Anaya.
Lagi-lagi Anaya menunda jawabannya. Kali ini, dia menggeleng.
Jane terlihat kesal. Dia mengguncang tubuh Anaya sampai handuk yang menutupi kakinya terjatuh. "Ayolah, Nay! Ceritakan padaku!"
Anaya menghela napas. "Jane, aku rasa aku akan berhenti menyukai Josh. Aku tidak sanggup mendobrak temboknya. Terlalu tinggi dan terlalu kuat."
"Kan, kau sudah mengambil keputusan itu kemarin. Kenapa kau katakan lagi? Apa kau mengatakan kepada Hudson kalau kau menyukai suaminya?" tanya Jane semakin mendesak.
Anaya mengangguk lemah. "Tidak boleh berbohong kata ayahku."
Jane melempar handuk miliknya ke wajah Anaya, lalu ketika dia melihat sebutir air mata di pelupuk mata sahabatnya, dia segera memeluk Anaya.
"Kau bodoh, Anaya! Bagaimana bisa kau mengatakan kalau kau jatuh cinta pada suami orang itu! Untung saja kau tidak dijambak! Benar-benar bodoh sekali!" Jane terus mengoceh, sementara Anaya terisak-isak di dalam pelukan Jane.
Tak beberapa lama kemudian, dua gadis itu sudah berdansa di lantai dansa dengan wajah memerah.
Gelas wine yang kurus itu ikut bergoyang dalam genggaman tangan mereka.
"Ah! Mana ponselku, Jane?" tanya Anaya sambil merogoh tas kecilnya. Dia tersenyum ketika dia menemukan ponsel miliknya. "Ah, ini dia!"
Tiba-tiba saja, Jane merebut ponsel Anaya. "Heh, mau apa kau dengan ponsel ini? Mau menghubungi cintamu untuk datang ke sini dan melakukan kesalahan kedua?"
Anaya tertawa sampai jatuh tersungkur di lantai. "Hahaha, aku-tidak-bodoh-dan-aku-boleh-berbohong."
Dengan susah payah, gadis itu bangkit berdiri. Lalu, dia menggoyangkan jari telunjuknya ke kanan dan ke kiri. "No! Tentu saja aku tidak akan seperti itu, Jane!"
"Tunggu!" Jari-jari Anaya bergerak lincah di atas keypad ponsel dan tak lama, dia menyeringai lebar. "Besok, libur! Hahaha! Ayo, kita bersenang-senang sampai pagi!"
Jane menatap ponsel Anaya tak percaya. Temannya itu baru saja mengirimkan pesan ke grup pesan tim dan mengatakan besok sampai lusa mereka boleh berlibur.
"Kau gila, Nay. Ayahmu bisa mengamuk berhari-hari kalau tau kelakuanmu seperti ini," kata Jane ngeri.
Keesokan harinya, Anaya terbangun dengan kepala berat. Dia menggapai ponselnya dan terkejut begitu melihat jam.
"Astaga! Meeting evaluasi! Bagaimana aku bisa melupakan itu?" Anaya segera melompat dari kasur dan mengirimkan pesan ke grup untuk segera bertemu di lobi hotel.
Tak lama, dia sudah bernapas lega karena ternyata timnya sudah siap dan memulai agenda mereka.
"Maaf, aku kesiangan bangun. Kepala-, ...,"
"Nona, kau boleh bangun siang karena kau sudah bekerja keras dan ini hanya sekedar evaluasi untuk kami." Salah satu karyawannya berkata dengan tulus.
Anaya tersenyum. "Aku terharu. Yang jelas aku berterima kasih karena kalian selalu siap untuk aku perintah-perintah atau pergi ke manapun, hehehe."
"Ini tidak akan berhasil kalau tidak ada kalian," kata Anaya menambahkan.
Seluruh karyawan yang hadir di sana menatap Anaya dengan bangga. Setelah sekian lama, akhirnya mereka berhasil mencapai target.
"Tapi, ada satu orang lagi yang berjasa dalam proyek kita ini, tuan Josh Grebel. Berkat kesabarannya dalam mengajari kita akhirnya kita bisa mencapai target ini," kata karyawan Anaya yang lain.
Yang lain mengangguk setuju. Tetapi, tidak dengan Anaya. Begitu nama Josh disebut, seluruh organ dalam tubuhnya seolah jungkir-balik kegirangan.
Sudah lama dia tidak bertemu dengan Josh. Ada sebersit rasa rindu yang pahit di dadanya.
Kenangannya bersama Josh membawa Anaya masuk terlalu jauh ke dalam lamunan tanpa dia sadari.
"Nona, Anda baik-baik saja?" Leona menepuk lengan Anaya dengan lembut dan tepukan itu berhasil menyadarkan Anaya.
Anaya tersentak dan tiba-tiba saja, sebutir air matanya jatuh menetes. "Ah, oh, aku-, maksudku, ...,"
Anaya menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. "Sorry, team. Saya baik-baik saja. Untuk Tuan Grebel, saya akan pertimbangkan beliau untuk mendapatkan bonus juga."
"Jadi, kita sudahi pertemuan kita pagi ini. Sampai besok, kalian masih bisa bersantai, tapi tetap awasi grafik saham kita. Jangan sampai ada yang jatuh, terutama saham anak perusahaan kita dengan Hudson," kata Anaya sambil melipat kembali laptopnya.
Ucapan Anaya itu disambut dengan anggukan serentak dari tim kerjanya.
Sementara Anaya menghabiskan waktu dengan tenang dan damai di hotel mewah berbintang lima di pusat kota, seorang pria berjalan tergesa-gesa.
Dia mengetuk pintu sebuah ruangan yang dilapisi kayu tebal dan kokoh. "Tuan, saya ada berita penting."
Tak lama, pintu terbuka, dan pria itu masuk sambil membawa tablet yang menampilkan grafik pergerakan saham.
Dia memperlihatkan grafik itu pada pria yang berada di dalam ruangan yang didominasi warna cokelat kayu.
"Kau serius? Data ini tidak kau palsukan, kan?" tanya pria berjas biru dengan dasi merah dengan wajah panik sekaligus senang.
Pria pembawa tablet itu menggeleng cepat. "Tidak, Tuan. Mana mungkin saya memalsukan data. Ini terjadi dua menit yang lalu."
"Cari penyebabnya dan hubungi putraku, suruh dia ke sini secepatnya!" kata pria berjas itu lagi.
Pria yang tadi kembali mengangguk, lalu dengan langkah cepat dia keluar ruangan dan terdengar menghubungi seseorang dengan telepon genggamnya.
Sekitar 30 menit, seorang pria yang jauh lebih muda datang dan masuk ke dalam ruangan cokelat kayu itu.
"Aku sudah melihatnya dan apa rencana Papi?" tanya pria muda itu.
Pria yang dia sebut sebagai papi itu tersenyum. "Temui dia dan atur waktu untuk segera melangsungkan pernikahan. Ini saatnya nama kita terukir dalam sejarah ekonomi, Nak."
Kening pria muda itu mengerut. "Maksud Papi?"
"Temui Anaya White dan selamatkan sahamnya," kata pria berjas biru itu.
Malam itu, sehabis makan malam bersama tim kerjanya, Anaya kembali ke kamar hotel.
Malam ini adalah malam terakhir mereka menginap di sana.
Jane, tentu saja masih menemaninya. Anaya terlihat lebih muram dan murung.
"Wah, kau benar-benar sudah jatuh cinta namanya, Nay. Bukan hanya sekedar suka karena rasa rindu yang kau derita ini sudah sangat menyiksamu," kata Jane sambil menawari Anaya es krim.
Anaya mengambil es krim itu dan membukanya. "Aku harus apa? Melupakan dia itu butuh waktu, Jane."
Jane ikut termenung. Melupakan seseorang, apalagi orang yang kita cintai memang sesulit itu.
Keduanya berjalan sambil menghela napas. Di tengah waktu yang sunyi itu, tiba-tiba saja seseorang datang.
Dia berjalan dengan penuh wibawa. Tangannya tampak sibuk membawa buket bunga dan kotak beludru kecil berwarna cokelat.
"Selamat malam, Nona White. Apa kabarmu?" tanya pria itu.
Anaya mengerutkan keningnya. "Jack? Darimana kau tau aku di sini?"
Jack tersenyum lebar dan tanpa menjawab, Jack menarik Anaya masuk ke dalam pelukannya dan mencium bibir gadis itu dengan lembut.
"Maukah kau menikah denganku, Nay?" tanya Jack setelah melepaskan ciuman itu.
Masih dalam keadaan bingung, Josh tiba-tiba datang. Wajahnya pucat dan tampak marah. Tangannya mengepal, berusaha untuk tidak mendaratkan kepalannya itu ke wajah innocent Jack, karena telah lancang mempertontonkan adegan panas di depannya. "Nay?"
"J-Josh?" Anaya mundur selangkah dan detik itu juga, dia berharap bumi menelannya bulat-bulat.
***