Dikhianati sahabat itu adalah hal yang paling menyakitkan. Arunika mengalaminya,ia terbangun di kamar hotel dan mendapati dirinya sudah tidak suci lagi. Dalam keadaan tidak sadar kesuciannya direnggut paksa oleh seorang pria yang arunika sendiri tak tahu siapa..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EkaYan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tamu Tak Diundang
Tiba-tiba, bel apartemen berbunyi. Nika, yang sedang melamun di sofa, sedikit terkejut. Pramudya masih di kamar mandi. Dengan langkah hati-hati, ia membuka pintu.
Seorang wanita anggun berdiri di ambang pintu, rambutnya tertata rapi, dan sorot matanya tajam. Nika tidak mengenalinya.
“Maaf, ada yang bisa saya bantu?” tanya Nika ramah, meski ada sedikit kecurigaan di hatinya.
Wanita itu tersenyum tipis, tapi senyumnya tidak sampai ke mata. “Saya Sarah. Anda siapa?”
Nika hendak menjawab saat Pramudya keluar dari kamar mandi ,handuk melingkar di pinggang, rambutnya masih basah. Ia langsung membeku melihat sosok Sarah. Mata Nika mengikuti arah pandang Pramudya.
“Sarah?” desis Pramudya, suaranya dipenuhi keterkejutan.
Sarah menoleh, senyumnya langsung lenyap saat melihat Pramudya hanya dengan handuk.
Matanya menyapu tubuh Pramudya, lalu beralih ke Nika dengan tatapan penuh selidik. “Pram? Apa yang kamu lakukan di sini? Dan siapa dia?”
Nika bisa merasakan ketegangan yang tiba-tiba menguasai ruangan. Ia menoleh ke Pramudya, menunggu jawaban. Pramudya membuang napas, lalu berjalan mendekat, dengan sengaja memposisikan diri di belakang Nika.
“Dia Nika,” kata Pramudya santai, nada suaranya dibuat seolah tidak ada yang istimewa. “Kekasihku.”
Mata Sarah membelalak. Ia menatap Nika, lalu beralih ke Pramudya dengan tidak percaya. “Kekasih? Sejak kapan kamu punya kekasih, Pram? Dan kenapa kamu ada di sini?”
Pramudya melingkarkan lengannya di pinggang Nika, menariknya sedikit mendekat. Nika tersentak kaget, tapi berusaha menahan diri.
Pramudya menundukkan kepala, seolah membisikkan sesuatu di telinga Nika, padahal Nika tahu itu hanya sandiwara untuk Sarah. “ bukan urusan lu untuk mencampuri ranah pribadi gue. Lu lihat kan Nika sedang mengandung buah cinta kami dia harus istirahat, so kita berdua gak ada waktu buat terima tamu."
Kata-kata itu menghantam Sarah seperti palu. Matanya langsung tertuju pada perut Nika yang memang mulai terlihat membuncit. Wajahnya memucat, rahangnya mengeras. Ia melangkah mundur satu langkah.
" Gak mungkin, aku tahu kamu Pram ,kamu memang suka main perempuan tapi kamu orang yang waspada, jangan jangan wanita ini sengaja jebak kamu, bilang mengandung anakmu padahal anak dari pria lain." Sarah tidak terima dengan kenyataan yang keluar dari mulut Pram.
" Hei.. lampir...jaga mulut lu ya..gue orang yang pertama sentuh dia ,dan gue bangga karena cuma gue satu-satunya. Gak kayak elu yang manipulatif. Mendingan elu pergi deh sekarang, gue udah muak liat mukalu."
Pramudya kembali menegakkan tubuh, masih memeluk Nika dari belakang, sengaja memamerkan kedekatan mereka. Ia bahkan mencium pelipis Nika dengan lembut, membuat Nika nyaris kehilangan keseimbangan.
“Astaga, Nika, kita harus belanja. Bahan makanan sudah habis, aku pakai baju dulu ya , tunggu sebentar sayang.!” bisik Pramudya di telinga Nika, suaranya dibuat semanis mungkin untuk didengar Sarah. Pram masuk kedalam tapi Sarah tetap tidak beranjak dia masih berdiri di depan pintu.
" Mbak, saya gak tahu masalah mbak dengan pacar saya ,tapi lebih baik mbaknya sekarang pulang saja."
" Saya tahu kamu punya maksud terselubung dengan Pram, iya kan?"
"Terserah mbak mau ngomong apa tentang saya lagipula saya gak ada niat buat ngejelasin sama mbak, selagi Pram masih memberikan peringatan dengan baik sebaiknya mbak pergi, sebelum Pram memanggil keamanan buat seret mbak dari sini."
“Ayo, sayang.”Pram muncul dengan pakaian casual nya.
" Dasar lampir gak tahu malu ..belum pergi juga ternyata. Ayo sayang kita berangkat" lalu Pram mengunci pintu apartemennya dan menggandeng bahu Nika.
Nika hanya bisa mengangguk kaku. Pramudya menuntunnya keluar, meninggalkan Sarah yang masih mematung di dekat pintu unit mereka, dengan ekspresi campur aduk antara kaget, marah, dan sakit hati. Mereka berdua berjalan melewati Sarah, seolah wanita itu tidak ada di sana.
Di dalam lift, Nika langsung melepaskan pelukan Pramudya. Ia menatapnya dengan tajam.
“Apa-apaan sih, Pram? Jangan bawa-bawa aku ke masalah pribadi kamu sama wanita itu!” desis Nika, suaranya tertahan karena masih ada orang lain di lift.
Pramudya menghela napas. “Maaf Nika...”
Nika terdiam, begitu pintu lift terbuka, “kamu nggak perlu bersandiwara seolah kita pasangan yang mesra. Aku nggak suka.”
Pramudya tidak menjawab, hanya menatapnya dengan pandangan dingin yang biasa.
Sementara itu, di dalam mobilnya yang mewah, Sarah menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Tangannya gemetar saat ia meraih ponselnya dan menelepon seseorang.
Setelah beberapa dering, suara di seberang telepon terdengar.
“Gue butuh bicara sama lo,” kata Sarah dingin, tanpa basa-basi. “Kerja lo nggak becus. Bilangnya semua sudah beres. Bilangnya perempuan itu nggak akan punya kesempatan lagi. Tapi apa yang gue lihat barusan?”
Sarah menghela napas kasar, suaranya meninggi. “Nika! Perempuan itu, dia masih terlihat baik-baik saja! Bahkan… bahkan bayinya masih ada di dalam kandungannya! Kalian pikir gue bodoh?!”
Sarah menatap kosong ke jalanan di depannya, matanya dipenuhi kebencian. “Kali ini, jangan sampai gagal. Kali ini, gue mau dia benar-benar menghilang.”
"Aku nggak akan membiarkan dia bahagia,” desis Sarah pada dirinya sendiri, jemarinya mencengkeram kemudi dengan erat. Pikirannya dipenuhi gambaran Pramudya dan Nika, seolah-olah pasangan itu sengaja mengejeknya.
Kebencian membara di dalam hatinya. Pramudya adalah miliknya, dan tidak ada wanita lain yang boleh memiliki pria itu, apalagi sampai mengandung anaknya. "Lihat saja Pram, gue akan buat lo menyesal seumur hidup lo karna udah berani mempermalukan gue di depan perempuan jalang itu."
Sementara itu, di dalam mobil Pramudya, Nika masih merasa kesal. Ia memalingkan wajah ke jendela, enggan menatap Pramudya.
" Kita sudah sepakat untuk tidak mencampuri urusan masing-masing, urusan kita hanya soal bayi ini."
" Maaf Nika, aku rasa kamu harus tahu soal Sarah karena bisa jadi dia terlibat dengan kejadian waktu itu, yang membuat kamu hampir keguguran."
" Maksudnya.. gimana Pram !"
" Sarah dulu dia adalah kekasihku saat di tahun pertama kuliah, seiring waktu akhirnya aku tahu kalau cintanya tidak tulus, belakangan aku tahu dia adalah sugar baby papaku, dan sekarang dia sudah jadi ibu tiriku."
Nika membelalak.
“Apa?! Dia… ibu tirimu?”
Pramudya mengangguk, ekspresinya kelam. Tangannya menggenggam kemudi erat, seakan menyalurkan semua emosi lewat jari-jarinya.
“Waktu itu aku hancur saat tahu kebenarannya. Dia berpura-pura mencintaiku, padahal dia cuma mengincar harta keluarga kami. Dan sialnya… papa malah menikahinya.”
Nika kesulitan memproses informasi itu. Otaknya berputar, mencoba menyatukan kepingan-kepingan puzzle yang baru saja Pramudya berikan. Wanita anggun, senyum tipis tanpa kehangatan, tatapan penuh selidik, dan kemarahan Sarah yang meledak-ledak saat melihat mereka. Semuanya mulai masuk akal.
" Jadi dia mantan sekaligus ibu tirimu…! Wah… daebak! Wanita itu... kayak karakter antagonis drama Korea versi premium!” seru Nika akhirnya, mencampur keterkejutan dengan sarkasme. Ia memijat pelipisnya, seolah tidak percaya dengan drama yang tengah ia jalani.
Pramudya menghela napas, menatap Nika sekilas sebelum kembali fokus ke jalan. “Makanya aku panik tadi. Aku nggak nyangka dia akan muncul di apartemen.”
“Dan kamu pikir solusi terbaik adalah mengaku aku kekasihmu, sambil bilang aku hamil anakmu?” Nika mengerutkan alis. “Pram, kita punya perjanjian—semua ini cuma karena bayi ini, bukan karena kita punya hubungan!”
“Aku tahu, aku tahu,” Pramudya menepuk-nepuk setir dengan jari-jarinya. “Tapi kamu lihat sendiri, Sarah itu gila. Kalau aku nggak kasih kejutan balik, dia nggak akan berhenti. Kita butuh pengalihan.”
“Pengalihan?!” Nika mendengus. “Pengalihan yang hampir bikin jantungku copot?! Dia bisa nyakarin aku di tempat kalau kamu nggak cepet-cepet datang !”
Pramudya mengangguk pelan. “Dan makanya kamu harus lebih hati-hati. Aku nggak akan biarkan dia nyakitin kamu lagi. Sekarang, aku tahu siapa musuh kita.”
Nika menatap perutnya yang membuncit. Bayi di dalamnya adalah satu-satunya alasan ia berada di sini bersama Pramudya.
Dan sekarang, bayi ini mungkin menjadi target dari kemarahan seorang wanita yang tak hanya pernah menjadi kekasih Pramudya, tetapi juga ibu tirinya.
“Lalu, kenapa dia sekarang menyalahkan aku dan bayiku?” tanya Nika, suaranya bergetar. Ketakutan perlahan merayapi hatinya.
Pramudya menghentikan mobil di pinggir jalan yang sepi. Ia menoleh sepenuhnya kepada Nika, raut wajahnya serius. “Dia terobsesi denganku, Nika. Dia tidak bisa menerima kalau aku tidak mau kembali padanya. Dia selalu menganggap aku miliknya. Dan sekarang, dia melihatmu… dan bayimu. Itu menghancurkan egonya.”
“Kamu bilang dia mungkin terlibat dengan kejadian aku hampir keguguran. Maksudmu, dia sengaja ingin mencelakaiku?” tanya Nika, nadanya menuntut.
Pertanyaan itu menggantung di udara, menciptakan keheningan yang mencekam.
Pramudya mengangguk pelan. “Aku sudah curiga sejak awal. Kejanggalan-kejanggalan itu, ditambah dengan kemunculan Sarah hari ini, semakin menguatkan dugaanku. Dia tidak akan segan melakukan apapun untuk mendapatkan apa yang dia inginkan.”
Nika merasa mual. Membayangkan ada orang yang sengaja ingin mencelakai dirinya dan bayinya membuatnya merinding. “Tapi… kenapa? Kenapa dia melakukan sejauh itu?”
“Karena dia yakin, jika kamu dan bayi ini tidak ada, aku akan kembali padanya,” jawab Pramudya, sorot matanya tajam dan penuh penyesalan. “Aku minta maaf Nika, aku tidak menyangka dia akan sejauh ini. Aku bersumpah akan melindungimu dan anak kita.”
Nika hanya bisa menatapnya. Janji Pramudya terasa hampa di tengah ketakutan yang melanda. Ini bukan lagi soal masalah pribadi, ini sudah menyangkut keselamatan nyawa.
Di sisi lain, Sarah telah tiba di sebuah kafe tersembunyi. Di sana, seorang pria berambut cepak dengan tato di leher sudah menunggunya. Pria itu menyunggingkan senyum licik saat Sarah duduk di hadapannya.
“Jadi, ada apa, Nona Sarah? Sepertinya suasana hati Anda sedang tidak baik,” ucap pria itu, suaranya serak.
Sarah meletakkan ponselnya dengan kasar di meja.
“Kerjamu tidak becus, Anton! Aku sudah bilang, buat perempuan itu menghilang! Dan bayinya juga!”
Anton mengangkat bahu acuh tak acuh. “Kami sudah melakukannya, Nona. Tapi sepertinya Tuhan masih berpihak pada perempuan itu. Kami sudah memastikan dia memakannya Nona .”
“ kau pikir aku berbohong " Sarah mendesis. “Yang ada, dia malah semakin dekat dengan Pramudya! Bahkan, Pramudya mengakui bayi itu adalah anaknya!
Aku tidak akan membiarkan Pramudya bahagia dengan perempuan jalang itu! Dan aku tidak akan membiarkan bayi itu lahir!” Sarah mengepalkan tangannya, urat-urat di lehernya menonjol.
“Kali ini, pastikan tidak ada kesalahan. Aku tidak peduli bagaimana caranya, tapi singkirkan perempuan itu dan bayinya. Aku akan bayar berapa pun.”
Anton menyeringai. “Baik, Nona. Kali ini kami akan memastikan semuanya beres. Tidak akan ada lagi yang tersisa.”