Seorang dokter muda bernama Mika dari dunia modern terseret ke masa lalu — ke sebuah kerajaan Jepang misterius abad ke-14 yang tak tercatat sejarah. Ia diselamatkan oleh Pangeran Akira, pewaris takhta yang berhati beku akibat masa lalu kelam.
Kehadiran Mika membawa perubahan besar: membuka luka lama, membangkitkan cinta yang terlarang, dan membongkar rahasia tentang asal-usul kerajaan dan perjalanan waktu itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon latifa_ yadie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebenaran Tentang Keturunan Kaisar
Hujan turun lagi malam ini.
Aku mulai berpikir, mungkin hujan memang tidak pernah benar-benar pergi dari hidupku—hanya menunggu waktu untuk kembali dan membawa masalah baru.
Dan malam ini, masalah itu datang dalam bentuk gulungan tua yang Akira temukan di ruang bawah tanah istana.
“Ini ditemukan oleh Riku saat memeriksa arsip lama,” kata Akira sambil meletakkan gulungan itu di atas meja.
Warnanya kecoklatan, usang, dan tali pengikatnya sudah rapuh.
Aku menatapnya dengan hati-hati. “Apa isinya?”
“Catatan rahasia Kaisar pertama. Hanya diwariskan pada pewaris tahta.”
“Jadi kau?”
Dia mengangguk. “Tapi selama ini aku tidak tahu catatan ini ada. Sepertinya sengaja disembunyikan.”
Kami duduk berdua di ruang pribadinya, hanya diterangi cahaya lilin.
Hujan di luar menetes pelan, membuat suara ritmis yang anehnya menenangkan.
Akira membuka gulungan itu perlahan. Huruf-huruf kuno tertulis rapi dalam tinta hitam.
Aku mencondongkan tubuh untuk membaca.
Isinya dimulai seperti kisah legenda:
“Di masa hujan abadi, seorang wanita dari langit datang, membawa cahaya yang bisa menyembuhkan dan menghancurkan. Ia mencintai seorang raja, dan dari keduanya lahirlah garis darah yang akan menjadi penyeimbang waktu.”
Aku menatap Akira. “Wanita dari langit?”
Dia mengangguk. “Penjaga Gerbang Waktu, mungkin.”
“Dan raja itu?”
“Leluhur pertamaku.”
Aku merinding. “Jadi keturunanmu berasal dari… dunia lain?”
“Mungkin begitu,” jawabnya pelan. “Atau mungkin dari pertemuan antara dua dunia.”
Kami melanjutkan membaca.
“Namun darah waktu tidak boleh bersatu lagi, karena jika dua garis itu bertemu, waktu akan runtuh dan dunia akan kembali ke hujan pertama.”
Aku berhenti membaca, menatap Akira perlahan.
“Dua garis itu…”
Dia menatapku juga, matanya mulai menyipit. “Kau berpikir seperti yang kupikirkan?”
“Kalau wanita dari dunia lain itu punya keturunan di sini…”
“…dan kalau aku dari garis itu,” lanjutnya.
“Lalu aku datang dari dunia yang sama seperti wanita itu…”
Kami terdiam.
Kata-kata tidak perlu diucap.
Kemungkinan itu terlalu besar untuk diabaikan.
Aku bersandar di kursi, mencoba memproses semuanya. “Jadi, kalau darah kita benar-benar berasal dari dua garis yang sama, dan kita…”
Aku berhenti, pipiku panas.
Akira menatapku tajam. “Dan kita apa?”
Aku meliriknya. “Kau tahu maksudku.”
Dia tersenyum kecil, tapi matanya tidak main-main. “Kalau legenda itu benar, maka kita… tidak seharusnya saling mendekat.”
“Sayangnya, kita sudah terlalu dekat.”
“Aku tahu.”
Suara hujan di luar semakin deras, menenggelamkan jeda di antara kalimat kami.
Akira menghela napas panjang, menatap gulungan itu lagi. “Kalau garis darah ini nyata, artinya alasan kenapa kau bisa ke sini bukan kebetulan.”
“Aku dipanggil?”
“Mungkin. Waktu memanggilmu. Atau darahku.”
Aku menatapnya lama. “Dan kalau dua garis ini bertemu, dunia hancur?”
“Itu yang tertulis. Tapi legenda sering dilebih-lebihkan.”
“Tapi legenda juga sering benar,” balasku pelan.
Keesokan harinya, Akira memanggil Elder Kiyoshi — tetua istana yang paling bijak dan paling tua, hampir seperti hidup di dua zaman.
Kami bertemu di ruang doa kecil.
Elder Kiyoshi menatap gulungan itu lama, lalu menghela napas berat.
“Aku berharap aku tidak pernah melihat tulisan ini lagi,” katanya pelan.
“Kau tahu tentang ini?” tanya Akira.
“Tentu. Ini rahasia yang dijaga selama generasi. Garis darah kerajaan bukan darah biasa. Ia membawa berkah dan kutukan waktu.”
Aku menelan ludah. “Kutukan waktu?”
“Ya. Setiap kali dua garis itu saling mendekat, sesuatu di dunia ini akan retak—seperti malam ketika kau datang, Nona Mika. Langit membuka pintu, dan badai menelanmu.”
Aku merinding mendengarnya. “Jadi, kehadiranku di sini… mengganggu keseimbangan?”
Elder Kiyoshi mengangguk. “Tapi juga bisa jadi penyelamat. Penjaga Gerbang tidak datang tanpa alasan. Ia datang untuk menutup lingkaran yang belum selesai.”
Akira menatapnya tajam. “Dan bagaimana cara menutupnya?”
“Dengan pilihan.”
Kiyoshi menatap kami berdua, matanya redup tapi tajam.
“Salah satu dari kalian harus mengorbankan waktu miliknya.”
Aku mengernyit. “Maksudmu?”
“Salah satu harus lenyap dari garis waktu ini. Agar dua darah itu tidak bersatu.”
Suara hujan di luar seperti berhenti sejenak.
Aku menatap Akira, dan dia menatapku balik.
Tidak ada yang bicara, tapi kami tahu apa arti kata-kata itu.
Akhirnya Akira berkata pelan, “Tidak ada yang akan lenyap.”
Kiyoshi menunduk. “Kalau begitu, dunia ini akan memaksa salah satu dari kalian pergi.”
Setelah Kiyoshi pergi, kami berdua duduk diam di ruang doa.
Aku menatap nyala lilin yang bergetar pelan.
“Lucu ya,” kataku lirih. “Aku pikir semua ini hanya kisah cinta aneh antara pangeran dan dokter nyasar. Ternyata… ada darah dan waktu yang ikut campur.”
Akira tersenyum tipis. “Kisah cinta memang selalu rumit. Tapi tak satu pun yang menulis bab tentang waktu.”
Dia berdiri, berjalan ke arahku, lalu berlutut di depanku.
“Mika,” katanya pelan, “kalau dunia ini memang memaksa kita memilih, aku ingin memilih sebelum waktunya memutuskan untukku.”
Aku menatapnya, degup jantungku tak terkendali. “Pilih apa?”
“Pilih untuk tetap bersamamu.”
Aku menelan napas. “Meskipun itu berarti menghancurkan dunia ini?”
Dia tersenyum kecil. “Dunia ini sudah terlalu banyak hancur bahkan tanpa kita. Mungkin, untuk sekali ini, biarkan cinta yang menyelamatkannya.”
Aku hampir menangis mendengarnya.
Tapi sebelum aku sempat bicara, suara langkah cepat memecah keheningan.
Riku masuk tergesa. “Yang Mulia! Permaisuri memanggil Anda ke aula besar. Ada tamu dari utara.”
Akira berdiri cepat. “Utara?”
“Ya, mereka membawa pesan… dan simbol bangau merah.”
Bangau merah — simbol pengkhianatan.
Di aula besar, suasana menegang.
Permaisuri Mei duduk di singgasananya, dikelilingi para penasihat.
Di tengah ruangan berdiri tiga utusan berpakaian hitam, membawa gulungan bersegel merah.
Salah satunya berkata lantang, “Kami datang membawa kebenaran tentang garis darah kerajaan Hayashida!”
Semua mata tertuju pada Akira.
Utusan itu membuka gulungan dan membacakan dengan suara tegas:
“Pangeran Akira bukan pewaris sejati. Darahnya bukan murni dari garis Kaisar Hayato, melainkan dari wanita langit yang mengutuk kerajaan ini tujuh generasi lalu.”
Ruangan langsung gaduh.
“Fitnah!” seru Riku, tapi Permaisuri mengangkat tangan.
“Apa buktinya?” tanyanya tenang.
Utusan itu menunjukkan jimat kecil dari perak berbentuk spiral — simbol yang sama dengan yang muncul di tanganku.
Aku menatap Akira, kaget.
“Simbol itu…”
Dia memandang jimat itu lama, lalu berbisik, “Simbol waktu.”
Permaisuri berdiri. “Jadi benar, darahnya bukan murni?”
Utusan mengangguk. “Ya, Yang Mulia. Dan wanita asing itu—”
Dia menunjukku. “—adalah cerminan leluhur yang sama. Mereka berdua adalah dua sisi dari kutukan lama.”
Hening.
Semua tatapan beralih padaku dan Akira.
Suara hujan di luar seperti menggema ke dalam dada.
Permaisuri menatap kami dingin. “Kalau begitu, kutukan itu harus dihentikan sebelum terlambat.”
Akira maju selangkah. “Aku tidak akan biarkan siapa pun menyentuhnya.”
Permaisuri menatapnya lama, lalu berkata pelan, “Bahkan jika itu berarti melawan ibumu sendiri?”
Dan untuk pertama kalinya, aku melihat Akira benar-benar kehilangan kata-kata.
Tatapan matanya kosong, antara marah dan hancur.
Aku melangkah maju, berdiri di sampingnya. “Kalau ini tentang darah, maka biar aku yang menanggungnya.”
Dia menoleh cepat. “Tidak, Mika—”
Aku memegang tangannya. “Kita tidak bisa melawan waktu, tapi kita bisa melawan cara mereka menggunakannya.”
Aku menatap Permaisuri. “Kalau kutukan ini nyata, aku akan mencari cara menutupnya. Tapi aku tidak akan jadi korban permainan istana.”
Permaisuri tersenyum samar. “Kau berani.”
“Karena aku bukan lagi tamu di dunia ini,” jawabku mantap. “Aku bagian darinya.”
Malam itu, Akira menemuiku di taman yang sunyi.
Hujan masih turun lembut.
“Kenapa kau bilang begitu di aula tadi?” tanyanya pelan.
“Karena aku tidak mau melihatmu berperang dengan ibumu sendiri.”
Dia menatapku lama. “Kau tahu kan, sekarang seluruh istana menganggap kita ancaman?”
Aku mengangguk. “Aku tahu. Tapi bukankah kita memang begitu?”
Dia tersenyum tipis. “Ya, ancaman bagi mereka yang hidup tanpa cinta.”
Kami berdiri lama di bawah hujan, diam tapi mengerti.
Dan di langit, petir menyambar jauh di utara,
menandakan bahwa rahasia darah bukan akhir—
tapi awal dari perang yang lebih besar.