Azam Rizki Van Houten---Tuan muda tengil, royal, arogan, tapi patuh dan taat pada orang tua. Kecelakaan hebat hari itu di karnakan kecerobohannya yang ugal-ugalan mengemudi membuatnya harus menerima di terbangkan ke Australia. 5 tahun kemudian ia kembali. Sang bunda merencanakan perjodohannya dengan Airin--gadis yang begitu di kenalnya. Namun, kali ini Azam menentang permintaan bundanya, di karnakan ia telah menikah diam-diam dengan gadis buta.
Arumi Afifa Hilya, kecelakaan hari itu tidak hanya membuatnya kehilangan penglihatan, tapi gadis malang itu juga kehilangan adik yang paling di sayangnya--Bunga. 5 tahun kemudian seorang pemuda hadir, membuat dunianya berubah.
***
"Satu hal yang perlu lu ketahui, Zam! Lu adalah orang yang telah membuat gadis tadi tidak bisa melihat. Lu juga orang yang membuat anak kecil tadi putus sekolah. Dan lu juga yang telah merenggut nyawa adik mereka! Dengar itu, bangsat!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pena Remaja01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menepati janji
"Kak, hari ini nasi gorengnya laku gak?" tanya Aril yang baru saja pulang setalah seharian menjaga parkir.
"Alhamdulillah, semua nasi goreng Kakak tadi habis semua," jawab Arumi menyunggingkan senyum tipis.
"Syukurlah. Kalau nasi goreng Kakak laku terus. Sebentar lagi Kakak pasti banyak uang dong," canda Aril. Bocah itu turut senang melihat senyum yang merekah kakaknya.
"Alhamdulillah. Uangnya akan Kakak tabung, buat Adek kuliah nanti," balas Arumi.
"Eh, nggak usah! Uang milik Kakak, harus Kakak gunakan untuk keperluan Kakak sendiri. Kalau masalah sekolah Aril, Kakak gak usah pikirkan. Nanti kalau Aril sudah besar, Aril akan cari uang sendiri. Gunakan uang Kakak untuk keperluan Kakak sendiri. Kakak bisa beli baju baru, beli bedak dan kalau bisa Aril ingin melihat Kakak bisa melihat lagi," ujar Aril mengungkapkan keinginannya.
Arumi mengulas senyum mendengar perkataan adiknya barusan yang begitu peduli padanya. Tapi kalau untuk bisa melihat lagi, ia tidak begitu berharap banyak, ia sudah pasrah dengan ke adaannya sekarang. "Adek itu tanggung jawab Kakak. Jadi sudah kewajiban Kakak untuk memberikan yang terbaik untuk Adek."
Kali ini Aril tidak setuju dengan kakaknya. Walau ada kecemasan juga dalam dirinya jika nanti membuat sang kakak andai tahu ia sudah lama tidak sekolah. Tapi untuk sekarang ia akan senang jika kakaknya menggunakan uang itu untuk keperluanmya sendiri.
***
Kepala di dongakkan ke dalam rumah memastikan tidak ada orang di ruang tamu.
"Aman," gumamnya pelan sebelum kaki mulai melangkah masuk ke dalam rumah. Sangat pelan, sampai ia sendiri tidak mendengar suara tapak kakinya.
"Abang!"
Bergelinjak tubuhnya mendengar suara memanggi.
"Mampus gue. Pasti di introgasi lagi," desisnya pelan, sambil menoleh ka arah wanita yang tengah berjalan cepat ke arahnya.
"Eh, Bunda," sapanya sambil menyeringai menampilkan barisan gigi.
"Abang dari mana?" tanya Ayang dengan wajah serius. Sapaan Azam tadi diabaikan saja.
"Hmm, a-anu. Ta-tadi Abang dari.... dari rumah teman. Ya, Abang dari rumah teman, Bun," jawabnya beralasan.
"Teman? Siapa?" tanya Ayang dengan mata yang menyipit.
"Dari rumah Parjo,. Abang kan sudah lama gak ketemu dia. Jadi tadi Abang cerita-cerita gitu, Bunda. Sampai lupa waktu. Hehehe," jawabnya sambil terkekeh dan menggaruk tengkuk.
"Ohh... Bunda kirain kemana? Lain kali kalau mau pergi itu bilang dulu. Ini gak, malah pergi diam-diam gitu saja. Bunda kira, Abang sudah tenggelam dalam toilet," balas Ayang tersirat akan sindiran.
"Heheheh. Iya Bun, Abang minta maaf," balas Azam cepat.
"Abang itu minta maaf Mulu kerjanya. Tapi selalu bikin Bunda cemas lagi dan lagi."
"Iya, kan Abang kan sudah minta maaf."
Ayang mendengus pelan. Tak tahu lagi harus berkata apa dengan putranya itu.
***
Pagi itu, Azam bangun lebih pagi dari biasanya. Setelah mandi dan bersiap, ia pun turun ke lantai dasar hendak keruang makan sarapan. Namun, kehadirannya di sana membuat semua orang yang berada di ruang makan memandangnya dengan tatapan aneh.
Azam yang juga keheranan melihat reaksi keluarganya sejenak memperhatikan pakaian, siapa tahu ada yang salah. Baju terbalik, mungkin? Atau lupa menaikkan resleting celana. Tapi tidak, semua sudah terpasang sempurna.
"Kok pada ngeliatin Azam gitu?" tanyanya keheranan. Pandangan tertuju pada Ayang yang berdiri di sebelah Daniel. Tangan bundanya yang akan menuang kopi sempat tergantung. "Kenapa sih bunda?" tanya pada keheranan. Sesekali masih memperhatikan pakaian. Siapa tahu ada yang salah.
"Eh, enggak kenapa-napa kok." Ayang meletakkan teko berisi kopi keatas meja, sebelum kembali memandang putranya. "Abang mau kemana? Pagi-pagi udah rapi?" Ayang menambahkan. Ia masih heran dengan kemunculan putranya yang tiba-tiba berada di ruang makan tanpa ada yang membangunkan. Biasanya putranya itu tidak pernah bangun dibawah jam sepuluh pagi, Selalunya bangun lewat tengah hari.
"Bangun pagi salah, bangun siang di omelin!" gerutu Azam seraya mendekat. Satu kursi.yang berhadapan tepat dengan Azkia di tarik dan melabuhkan duduk di sana.
"Maksud Bunda bukan begitu...."
"Sayang, sudahlah! Ini masih pagi, tidak baik juga bicara di depan makanan." Daniel menyela memotong ucapan Ayang yang belum selesai.
Ayang mengangguk, ia tahu suaminya memang tidak menyukai ada obrolan di meja makan.
"Kak, pagi ini gue ikut lu ke kantor ya?"
"Hah?" Mulut Azkia membulat mendengar yang di katakan saudara kembarnya barusan.
'Kerasukan Jin apa dia? Tiba-tiba bangun pagi, ingin ke kantor lagi? Ah, tapi bagus juga sih kalau dia mau berubah.'
"Azam!" tegur Daniel meminta putranya itu agar tidak bersuara.
Seketika semuanya diam, fokus pada sarapan masing-masing.
Selesai sarapan, Azam mengekori Azkia dan Azura yang akan pergi ke kantor. Zahra dan Azizah yang akan berangkat ke kampus pun, berlari kecil mendekati saudara lelaki satu-satunya itu.
"Abang, kok tumben bangun pagi? Biasanya jam segini kan belum bangun?" tanya Zahra, masih pemasaran dengan abangnya yang bangun pagi.
"Lu ini. Udah kayak Bunda aja. Kepo benget dengan urusan gue!" dengus Azam.
Zahra mencebik. Abangnya itu kalau bicara dengannya memang selalu sinis dan ketus. Untung saja hanya dia satu-satunya saudara laki-laki, kalau tidak mungkin sudah di hajarnya dengan jurus Taekwondo yang telah di pelajarinya sejak masih usia 5 tahun.
***
"Stop! Stop! Stop disini, Pak Mad!" teriak Azam menyuruh sopir berhenti.
Azkia dan Azura mengerutkan kening.
"Gue turun di sini aja."
"Loh, kenapa turun di sini? Bukannya tadi Ajam bilang mau ke kantor?" Tanya Azkia menghentikan Azam yang akan turun dari mobil.
"Iya nih? Gak jelas bangat Ajam. Tadi di rumah bersemangat sekali bilang mau ke kantor. Sekarang malah minta turun di sini." Azura menimpali. Mereka berdua memang biasa memanggil Ajam pada kembarnya itu. Panggilan sejak masih kecil.
"Gue ada urusan bentar. Nanti siang gue ke kantor. Tolong jangan kasih tau Bunda dan Papa ya. Kalau mereka nanyain gue, bilang aja gue memang berada di kantor, tapi lagi meeting. Bilang gitu ya?"
Azkia dan Azura menggeleng tidak setuju dengan permintaan saudaranya itu. "Gak, Kakak akan bilang apa adanya."
"Adik juga." Azura membenarkan.
Walau sudah besar Azura tetap merasa paling kecil diantara dua saudara kembarnya ini. Sedang kan Azkia merasa paling besar diantara ke empat saudaranya. Dia juga merasa paling tua dan sok ngatur kempat saudaranya yang lain.
"Please! Gue hanya bentar doang. Siang gue kembali ke kantor."
"No! Sekali gak, tetap nggak! Kalau Bunda nanyain Ajam, Kakak akan bilang Ajam memang gak berada di kantor. Ajam tahu kan, Kakak dari dulu gak suka bohong. Jadi Ajam berdoa saja semoga Bunda gak menelpon dan menanyakan Ajam pergi kemana," tegas Azkia. Azura mengangguk setuju. Dia pun sependapat dengan kembarnya.
"Ah, kalian gak asyik!" ucap Azam lalu turun dari mobil.
Azkia menggeleng, lalu menyuruh sopir melanjutkan perjalanan.
"Kak, dia mau kemana sih?" tanya Azura setelah mobil kembali melaju. Kepalanya juga masih berputar melihat kearah tadi, disana Azam tak terlihat lagi.
Azkia mengangkat bahu tanda ia sendiri tidak tahu.
***
20 menit kemudian. Azam telah sampai di depan rumah Arumi. Sejenak ia mengatur nafas. Cukup jauh juga dia berlari dari tempatnya berhenti tadi hingga sampai di sini. Bulir-bulir keringat yang keluar di dahinya di seka menggunakan punggung tangan sebelum mengetuk pintu rumah petak di depannya.
"Eh, Bang Rayen udah datang," sapa Aril yang membuka pintu.
"Lu kenapa masih dirumah? Bukannya lu harus...."
"Sssshht." Aril menempelkan jari telunjuk di bibir, sebelum Azam melanjutkan ucapannya.
Azam tertawa melihat wajah bocah itu berubah pucat. "Sory-sory, gue lupa," ucapnya masih tertawa.
"Aril! Siapa yang datang?"
Suara teriakan itu terdengar dari arah dapur. Azam ikut menoleh ke sumber suara.
"Bang Rayen!" balas Aril juga berteriak.
Arumi mengulas senyum. Senang hatinya karna pemuda itu menepati janji akan datang pagi ini untuk mengantarkannya berziarah ke makam adiknya. Api kompor di matikan. Keringat yang membasahi kening, di seka menggunakan apron sebelum meraba-rabakan tongkat berjalan keluar.
"Bang Rayen, tunggu 30 menit lagi ya. Selesai memasak nasi goreng kita berangkat," ujar Arumi menghadap ke arah pintu.
Azam tersenyum kecil. Saat ini ia dan Aril tengah duduk diatas tikar.
"Aril, tolong buatkan Bang Rayen minum," pinta Arumi pada adiknya.
"Oh iya, Aril lupa. Bang Rayen mau minum apa?" tanya Aril menawarkan.
"Gak usah, gue habis sarapan di rumah. Sudah lu masak lagi sana. Kalau lu masih disini, yang ada bukan setangah jam lagi gue nungguin, tapi setengah hari," sindir Azam.
Arumi tersenyum kikuk. Malu juga dia mendengar sindiran itu. "Baiklah, Aril temankan Bang Rayen dulu ya," ucapnya sebelum kembali ke dapur.
"Eh, lu kenapa ada di rumah? Bukannya lu harus menjaga parkiran?" desis Azam setelah kelibat Arumi menghilang.
Aril nyengir menampilkan barusan giginya. "Kemarin Kak Rumi bilang, kalau hari ini mau ke pemakaman sama Bang Rayen. Jadi, Aril minta ikut, karna Aril juga sudah lama gak pergi ke pemakaman Bunga."
"Pintar lu boong ya?" Azam mengusap kasar kepala bocah itu.
Sesaat Aril tersenyum kambing, seneng hatinya dapat dekat dengan pemuda itu. "Bang Rayen, terimakasih ya. Karna udah mau berteman sama Kak Rumi."
Azam mengangguk, bibirnya juga mengulas senyum.
***
Satu jam kemudian Azam, Arumi dan Aril telah sampai di pemakaman umum. Azam berdiri di belakang kakak beradik itu yang tengah berjongkok di depan sebuah makam.
"Assalamu'alaikum, Adik. Semoga Adik tenang di sana ya. Maafkan Kakak, karna waktu itu Kakak lalai, Kakak gak hati-hati. Hingga membuat kita terpisah. Semoga nanti kita bisa berkumpul sama-sama lagi ya? Kakak, Adik, Abang Aril dan Ibu."
Arumi tak dapat membendung air matanya. Walau ia sudah mengikhlaskan semuanya. Tapi tetap, segala kenangan bersama adiknya masih terekam jelas dalam kepalanya. Kadang ia memang sering menangis sendiri kala teringat saat-saat bersama adik bungsunya itu.
Aril menoleh pada Kakaknya yang tengah terisak. Tangan sang kakak yang tengah memegang nisan di pegangnya.
"Kak, jangan nangis lagi. Aril juga sayang dengan Adik. Tapi Aril gak nangis. Kan Kakak pernah bilang, kalau kita gak boleh berlarut-larut larut dalam kesedihan." Kemudian Aril berdiri menyeka air mata Kakaknya dengan tangan.
Azam yang berada di belakangnya, hatinya bagai di cubit mendengar dua kakak beradik itu yang saling menguatkan. Dia malu pada Aril yang masih kecil bisa menguatkan kakaknya. Sedangkan ia selama ini selalu bersikap dingin dan kasar pada kedua adiknya.