Siang hari, Aditya Wiranagara adalah definisi kesempurnaan: Dosen sejarah yang karismatik, pewaris konglomerat triliunan rupiah, dan idola kampus.
Tapi malam hari? Dia hanyalah samsak tinju bagi monster-monster kuno.
Di balik jas mahalnya, tubuh Adit penuh memar dan bau minyak urut. Dia adalah SENJA GARDA. Penjaga terakhir yang berdiri di ambang batas antara dunia modern dan dunia mistis Nusantara.
Bersenjatakan keris berteknologi tinggi dan bantuan adiknya yang jenius (tapi menyebalkan), Adit harus berpacu melawan waktu.
Ketika Topeng Batara Kala dicuri, Adit harus memilih: Menyelamatkan Nusantara dari kiamat supranatural, atau datang tepat waktu untuk mengajar kelas pagi.
“Menjadi pahlawan itu mudah. Menjadi dosen saat tulang rusukmu retak? Itu baru neraka.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Daniel Wijaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RUNTUHNYA LANGIT
Waktu: 02.15 WIB.
Lokasi: Ruang Utama Candi Siwa.
Aditya tidak bisa bergerak. Tubuhnya terkunci oleh lilitan bayangan yang semakin erat meremukkan tulangnya. Oksigen di paru-parunya menipis, pandangannya mulai berbintik hitam.
Namun, otaknya yang analitis tidak pernah berhenti bekerja.
Di hadapannya, Dananjaya sedang merapal mantra dalam frekuensi rendah yang menggetarkan lantai batu. Gelombang otak theta. Kunci untuk membuka pintu gerbang waktu.
Aditya tahu dia harus mengacaukan frekuensi itu.
Banyak orang bertanya-tanya, kenapa Aditya—seorang sejarawan yang lebih suka debu perpustakaan daripada laboratorium—sangat paham fisika dan teknis senjata?
Jawabannya sederhana: Ayahnya.
Mendiang CEO Wiranagara selalu mendoktrin anak-anaknya dengan keras. "Sejarah memberimu alasan 'Kenapa' kita bertarung," kata ayahnya dulu. "Tapi Sains memberimu cara 'Bagaimana' memenangkannya."
Aditya dipaksa belajar dasar-dasar teknik sipil dan fisika kuantum sebelum diizinkan menyentuh satu pun buku sejarah. Ditambah lagi, bertahun-tahun menjadi "kelinci percobaan" bagi gadget ciptaan Karina membuatnya hafal di luar kepala tentang resonansi, frekuensi, dan titik leleh material.
Bagi Aditya, sihir hanyalah sains yang belum bisa dijelaskan. Dan setiap sains... punya counter-nya.
Mantra Dananjaya adalah gelombang suara. Dan counter untuk gelombang suara adalah tabrakan frekuensi yang brutal.
"Karin..." batin Aditya, matanya menatap punggung Dananjaya dengan sisa nyali terakhir. "Mulai konsernya..."
Jari telunjuk Aditya menekan tombol pemicu di sabuknya.
Di langit, ratusan meter di atas Candi Prambanan, Drone Garuda Induk yang melayang dalam mode stealth menerima sinyal itu.
Palka bawah drone terbuka. Sebuah silinder logam kecil jatuh bebas. Bukan bom api, tapi Generator Gangguan Sonik. Gravitasi menariknya lurus ke bawah, menembus ilusi atap candi, masuk tepat ke tengah ruangan.
Dananjaya, yang sedang dalam puncak ekstase ritual, mendongak terlambat. "Apa—"
WUUUUUUUNGGGGGGG!!!
Silinder itu meledak.
Tidak ada api. Tidak ada asap. Yang ada hanyalah ledakan suara berfrekuensi tinggi yang tidak terdengar oleh telinga manusia, tapi menghantam sistem saraf seperti palu godam.
Kaca-kaca lampu pecah serentak. Debu berterbangan karena getaran udara.
Dan di pusat ruangan, gelombang otak Dananjaya hancur berantakan. Sinkronisasinya dengan portal terputus paksa.
"AAAAAARGHHH!" Dananjaya menjerit, memegangi kepalanya. Darah segar mengucur dari telinga dan hidungnya.
Kontrolnya atas bayangan lepas.
Lilitan yang mencengkeram tubuh Aditya buyar menjadi asap hitam. Aditya jatuh berdebum ke lantai batu yang keras.
"Uhuk! Hah... hah..." Aditya menghirup napas rakus, meski setiap tarikan napas membuat rusuknya yang patah terasa seperti ditusuk pisau panas.
Tapi mimpi buruk belum selesai. Justru baru dimulai.
Topeng Batara Kala di wajah Dananjaya bereaksi. Suplai energi dari ritual terputus mendadak, tapi portal di atas sudah terlanjur terbuka setengah. Topeng itu "lapar". Dan karena tidak ada energi dari luar, dia mengambil dari sumber terdekat.
Pemakainya.
Akar-akar kayu tajam tiba-tiba tumbuh dari bagian dalam topeng, menusuk masuk ke dalam daging wajah Dananjaya dengan suara krek yang basah.
"TIDAK! APA INI?! LEPASKAN!" Dananjaya mencakar wajahnya sendiri, kuku-kukunya merobek kulitnya sendiri dalam upaya panik melepaskan topeng itu.
Tapi terlambat. Akar-akar itu menembus pipi, masuk ke rongga mata, dan menjalar langsung ke otak.
"KAU BUKAN TUANKU," suara purba bergema dari topeng itu, menggetarkan dinding candi. "KAU HANYALAH PINTU."
Langit di atas mereka robek total.
GLITCH REALITAS.
Aditya melihat pemandangan yang menghancurkan akal sehat.
Dinding candi berkedip-kedip seperti televisi rusak. Sedetik terlihat utuh, sedetik kemudian terlihat sebagai reruntuhan berlumut (masa depan), sedetik kemudian terlihat sebagai tumpukan batu yang baru disusun (masa lalu). Tiga garis waktu bertabrakan di satu titik.
Gravitasi hilang. Batu-batu mulai melayang di udara.
Dari dalam robekan ungu di langit, sebuah Tangan Raksasa turun perlahan.
Tangan itu transparan, terbuat dari kabut bintang, kegelapan, dan memori yang dilupakan. Ukurannya sebesar menara candi. Jari-jarinya panjang, kurus, dan memiliki kuku yang melengkung tajam.
Aditya mengenali sosok itu dari relief-relief kuno yang pernah dia pelajari.
Itu bukan sekadar monster. Itu adalah manifestasi dari Batara Kala.
Dalam mitologi, dia adalah putra Dewa Siwa yang lahir dari hasrat yang salah. Dia adalah Dewa Waktu dan Kehancuran. Dia yang memakan matahari dan bulan saat gerhana. Dia adalah personifikasi dari konsep bahwa "Waktu akan memakan segalanya".
Tangan raksasa Sang Kala meraih Dananjaya yang melayang tak berdaya di udara.
"TOLONG! SAYA ARSITEKNYA! SAYA YANG MEMBUKA JALAN INI!" jerit Dananjaya, memohon pada dewa yang dia sembah.
Suara berat yang terdengar seperti gesekan lempeng bumi menjawab.
"KAU HANYA DEBU."
KREK.
Tangan raksasa itu meremas tubuh Dananjaya seperti meremas nyamuk. Tulang-tulang remuk menjadi serbuk. Jiwanya disedot keluar seperti asap putih, ditarik masuk ke dalam mulut portal yang lapar.
Dananjaya tewas seketika, menjadi tumbal ambisinya sendiri.
Topeng Batara Kala terlepas dari wajah mayat yang sudah hancur tak berbentuk itu. Topeng itu melayang di udara, dikelilingi aura merah jahat, perlahan tersedot naik menuju portal.
Aditya membelalak.
"Tidak..." bisiknya. "Kalau topeng itu masuk ke sana... mereka bisa membukanya lagi kapan saja. Atau lebih buruk, Kala sendiri yang akan keluar ke dunia ini."
Dia harus menghentikannya. Dia harus mengambil topeng itu.
Aditya mengabaikan rasa sakit yang melumpuhkan. Dia memompa adrenalin terakhirnya.
Dia berlari.
Dia melompat ke arah pusaran angin, memijak puing-puing batu yang melayang tanpa gravitasi sebagai tangga darurat.
Satu lompatan. Dua lompatan. Dia terbang di udara.
Tangannya terulur meraih Topeng Batara Kala.
Ujung jarinya menyentuh permukaan kayu dingin topeng itu.
"Dapat!"
Tapi dia melupakan satu hal. Tangan Raksasa itu masih ada di sana.
Salah satu jari Batara Kala menyadari kehadiran "serangga" kecil yang mencoba mencuri mainannya. Jari raksasa yang terbuat dari kehampaan itu menjentik pelan ke arah Aditya.
Hanya jentikan jari. Sebuah gerakan mengusir lalat.
BLARR!
Rasanya seperti ditabrak kereta api berkecepatan penuh.
Armor nikel di dada Aditya pecah berkeping-keping. Tulang rusuknya yang sudah retak kini patah total. Dia terpental hebat, terhempas kembali ke lantai candi dengan dentuman yang meretakkan ubin batu kuno.
Darah segar menyembur dari mulutnya, membasahi bagian dalam maskernya.
Dari posisi terkapar, pandangannya kabur dan meredup, Aditya melihat Topeng Batara Kala tersedot masuk ke dalam kegelapan portal.
WUUUUUSH.
Portal itu menutup mendadak seperti layar TV tabung yang dimatikan. Langit kembali normal. Gerhana berakhir. Bulan bersinar pucat dan dingin.
Keheningan total menyelimuti Candi Siwa.
Aditya berbaring telentang, menatap langit-langit candi yang diam. Tubuhnya mati rasa. Dia tidak bisa menggerakkan jari kakinya.
"Gagal..." bisiknya lirih. Air mata bercampur darah mengalir ke telinganya.
Topeng itu hilang. Musuh mati, tapi kuncinya hilang ke dimensi lain. Kemenangan yang terasa seperti kekalahan.
Langkah kaki tergesa-gesa terdengar mendekat. Fajar muncul di pintu candi, wajahnya pucat pasi, kameranya sudah hilang entah ke mana.
"Dit! ADIT!"
Fajar berlari, jatuh berlutut di samping tubuh Aditya yang hancur.
"Woi, Sultan! Buka mata lo! Jangan mati dulu! Lo belum bayar utang traktir gudeg!" Fajar menepuk pipi Aditya dengan tangan gemetar.
Aditya mencoba tersenyum, tapi bibirnya terlalu sakit.
"Fajar..." suaranya hanya berupa desis udara. "Foto mayat itu..."
Aditya menunjuk sisa jubah putih Dananjaya yang tergeletak kosong dan kering di lantai dengan jari yang patah.
"Kirim ke Arya. Bilang... tagihannya... lunas."
Kesadaran Aditya memudar. Kegelapan yang nyaman akhirnya datang menjemput Sang Senja Garda.
luar biasa!!!
tak kirimi☕semangat💪
💪💪💪thor
jodoh ya thor🤭
makhluk luar angkasa, bukan makhluk halus🤭
💪💪💪adit
tp yakin sg bener tetep menang
was", deg"an, penasaran iki dadi 1
💪💪💪dit
jar, ojo lali kameramu di on ke
💪💪💪 dit