NovelToon NovelToon
Debaran Hati

Debaran Hati

Status: sedang berlangsung
Genre:Berondong / CEO / Selingkuh / Cinta Terlarang / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Pelakor
Popularitas:772
Nilai: 5
Nama Author: Serena Muna

Mengisahkan mengenai Debby Arina Suteja yang jatuh cinta pada pria yang sudah beristri, Hendro Ryu Handoyo karena Hendro tak pernah jujur pada Debby mengenai statusnya yang sudah punya istri dan anak. Debby terpukul sekali dengan kenyataan bahwa Hendro sudah menikah dan saat itulah ia bertemu dengan Agus Setiaji seorang brondong tampan yang menawan hati. Kepada siapakah hati Debby akan berlabuh?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Aku Ingin Serius

Naura mengerjapkan matanya perlahan. Cahaya putih yang menyilaukan membuatnya kembali memejamkan mata sejenak. Aroma obat-obatan yang menyengat menusuk hidungnya. Ia merasa lemas dan pusing. Perlahan, ingatan terakhirnya kembali: asap tebal, teriakan panik, dan kemudian... kegelapan. Ia tidak ingat siapa yang membawanya ke sini.

Tak lama kemudian, pintu ruangan terbuka dan Subeni serta Haryati masuk dengan wajah cemas. Marcella berada dalam gendongan Haryati, merengek dan tampak gelisah. Haryati berusaha menenangkan cucunya sambil menghampiri ranjang Naura.

"Naura, Nak! Kamu sudah sadar!" seru Haryati lega, air mata haru tampak di pelupuk matanya.

Subeni mengusap kepala Naura dengan sayang. "Bagaimana keadaanmu, Nak?"

Naura mencoba duduk, namun tubuhnya masih terasa lemah. "Aku... aku tidak apa-apa, Ayah. Hanya sedikit pusing. Apa yang terjadi? Siapa yang membawaku ke sini?"

"Kami tidak tahu pasti, Nak. Ada orang yang menemukanmu pingsan di luar toko dan langsung membawamu ke sini," jawab Subeni.

Marcella yang melihat ibunya langsung mengulurkan tangan, merengek ingin digendong. Naura meraih putrinya dan memeluknya erat. Kehadiran Marcella memberikan sedikit kekuatan di tengah kebingungannya. Namun, Marcella tampak rewel dan terus bergerak-gerak, membuat Haryati kesulitan menenangkannya.

Tiba-tiba, pintu kembali terbuka dan seorang wanita berpenampilan rapi masuk. Naura mengenali wanita itu sebagai Bu Rina, manajer toko tempat ia bekerja. Wajah Bu Rina tampak tegang.

"Naura, bagaimana keadaanmu?" tanya Bu Rina dengan nada datar.

"Saya sudah lebih baik, Bu," jawab Naura.

Namun, bukannya menunjukkan simpati, Bu Rina justru mengeluarkan kata-kata yang membuat hati Naura kembali terluka. "Naura, saya sangat kecewa dengan kejadian kemarin. Toko kita rugi besar karena kebakaran itu."

Naura mengerutkan kening. "Saya juga korban di sana, Bu. Saya bahkan tidak tahu bagaimana api itu bisa terjadi."

"Tapi kamu adalah karyawan di sana. Kamu seharusnya bertanggung jawab atas keamanan toko," tuduh Bu Rina dengan nada menyalahkan.

"Tapi, Bu..." Naura mencoba membela diri, namun Bu Rina memotong ucapannya.

"Keputusan saya sudah bulat, Naura. Dengan berat hati, saya harus memberhentikan kamu dari pekerjaan ini. Kami tidak bisa menanggung risiko lagi," kata Bu Rina dengan tegas.

Naura terkejut dan tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Di saat ia menjadi korban kebakaran, ia justru dipecat dan disalahkan. Air mata keputusasaan kembali mengalir di pipinya.

"Tapi, Bu... saya butuh pekerjaan ini," lirih Naura dengan suara bergetar.

Bu Rina menggelengkan kepalanya. "Maaf, Naura. Keputusan saya sudah final." Setelah mengatakan itu, Bu Rina berbalik dan pergi meninggalkan Naura yang terpukul dan keluarganya yang hanya bisa terdiam menyaksikan ketidakadilan ini. Marcella yang merasakan kesedihan ibunya kembali merengek semakin kencang, menambah pilu suasana di ruangan rumah sakit itu.

****

Kepanikan mencengkeram hati Reksa saat melihat Nirmala kembali tak sadarkan diri. Tubuh istrinya tampak semakin lemah, napasnya tersengal-sengal. Layar monitor di samping ranjang menunjukkan angka-angka yang mengkhawatirkan. Reksa segera memanggil dokter dengan suara gemetar.

Dokter dan beberapa perawat bergegas masuk dan melakukan tindakan. Reksa hanya bisa berdiri terpaku di samping ranjang, menggenggam erat tangan Nirmala yang terasa dingin. Air matanya tak tertahankan lagi, membasahi pipinya. Ia tidak sanggup membayangkan hidup tanpa Nirmala, wanita yang telah menemaninya selama puluhan tahun.

Setelah memeriksa Nirmala, dokter menarik napas panjang. "Kondisi Ibu semakin kritis, Pak Reksa. Kita sudah melakukan yang terbaik, tapi harapan hidupnya semakin tipis."

Mendengar vonis dokter, hati Reksa semakin hancur. Ia terduduk lemas di kursi, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Ia kembali menghubungi Hendro, berharap putranya itu akhirnya bisa tersentuh hatinya dan datang melihat ibunya.

"Hendro, Nak... Ibu... Ibu kritis," ujar Reksa dengan suara tercekat di telepon.

Namun, jawaban Hendro kembali membuatnya putus asa. "Aku sedang sibuk, Ayah. Nanti saja."

"Nanti bagaimana, Hendro?! Dokter bilang harapan hidup Ibumu tipis! Apa kamu tidak punya hati?!" bentak Reksa, amarah dan kepedihan bercampur aduk.

"Itu urusan Ibu. Aku tidak bisa memaksakan perasaanku," jawab Hendro dingin, lalu memutus sambungan telepon.

Reksa menangis terisak. Ia merasa benar-benar sendirian. Istrinya sedang berjuang antara hidup dan mati, sementara putranya sama sekali tidak peduli. Obsesi Hendro pada Debby telah membutakannya dari segalanya, termasuk kasih sayang seorang ibu.

Reksa kembali menatap Nirmala yang terbaring lemah. Ia mengelus lembut rambut istrinya, membisikkan kata-kata cinta dan harapan. Ia tidak ingin kehilangan Nirmala. Wanita itu adalah separuh jiwanya, sahabat terbaiknya, dan ibu dari anaknya, meskipun satunya kini telah tersesat jauh.

"Sayang... bertahanlah. Aku mohon," bisik Reksa lirih, air matanya terus mengalir. Ia merasa begitu tidak berdaya. Kekayaan dan kekuasaan yang selama ini ia miliki terasa tidak berarti di hadapan kenyataan pahit ini. Ia hanya bisa berharap keajaiban akan datang dan Nirmala bisa kembali membuka matanya. Namun, dalam lubuk hatinya, ia merasakan ketakutan yang besar akan kemungkinan terburuk. Hendro, dalam kebutaan obsesinya, bahkan tidak menyadari bahwa ia mungkin akan segera kehilangan ibunya untuk selamanya.

****

Di tengah kehangatan sore di sebuah kafe tempat Agus bekerja, Debby dan Agus duduk berdua setelah jam kerja Agus selesai. Suasana terasa lebih intim dan penuh pertimbangan. Debby, dengan usianya yang sudah matang, merasa tidak memiliki banyak waktu untuk bermain-main dalam sebuah hubungan. Pengalaman pahit di masa lalunya membuatnya lebih berhati-hati dan memiliki tujuan yang jelas.

"Agus," Debby memulai pembicaraan dengan nada serius namun lembut. "Aku rasa kita perlu membicarakan tentang arah hubungan ini."

Agus menatap Debby dengan penuh perhatian. "Tentu, Mbak Debby. Ada apa?"

"Usia kita memang terpaut jauh," lanjut Debby, menatap mata Agus dengan tulus. "Aku tidak ingin membuang waktumu, dan aku juga tidak ingin mengulang kesalahan yang sama di masa lalu. Aku tidak bisa menunda terlalu lama untuk menikah lagi jika memang kita serius."

Agus mengangguk, menunjukkan pemahamannya. "Aku mengerti maksudmu, Mbak Debby."

Debby melanjutkan, "Aku tahu, saat ini kamu masih bekerja sebagai barista. Penghasilanmu tentu berbeda jauh dengan pekerjaanku di perusahaan internasional. Aku tidak ingin hal itu menjadi beban pikiranmu atau membuatmu merasa tidak nyaman."

Agus tersenyum tulus. "Mbak Debby, bagiku, pekerjaan dan penghasilan bukanlah segalanya dalam sebuah hubungan. Yang terpenting adalah bagaimana kita saling mendukung, menghargai, dan menyayangi. Aku memang belum punya banyak hal secara materi, tapi aku akan berusaha keras untuk masa depan kita."

Debby merasa lega mendengar jawaban Agus. Ketulusan dan kesungguhan pemuda itu menyentuh hatinya. "Aku tahu itu, Agus. Aku tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Bagiku, ketulusan hatimu jauh lebih berharga dari segalanya."

"Jadi... apa maksudmu, Mbak?" tanya Agus dengan nada sedikit gugup namun penuh harap.

Debby meraih tangan Agus, menggenggamnya erat. "Maksudku, jika kita memang saling serius dan nyaman, aku tidak ingin menunda terlalu lama untuk membangun rumah tangga bersamamu."

Wajah Agus tampak terkejut namun bahagia. "Mbak Debby... apa kamu... serius?"

Debby mengangguk dengan senyum yang tulus. "Ya, Agus. Aku serius. Aku merasa nyaman dan bahagia bersamamu. Aku tidak ingin kehilanganmu."

Agus menggenggam balik tangan Debby dengan erat. "Aku juga merasakan hal yang sama, Mbak Debby. Aku... aku sangat bahagia mendengarnya."

1
kalea rizuky
klo ortu agus gk bs nrima ywda
kalea rizuky
lanjut
Serena Muna: terima kasih kakak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!