Jaka, adalah seorang yang biasa saja, tapi menjalani hidup yang tak biasa.
Banyak hal yang harus dia lalui.
Masalah yang datang silih berganti, terkadang membuatnya putus asa.
Apalagi ketika Jaka memergoki istrinya selingkuh, pertengkaran tak terelakkan, dan semua itu mengantarnya pada sebuah kecelakaan yang semakin mengacaukan hidupnya,
mampukah Jaka bertahan?
mampukah Jaka menjemput " bahagia " dan memilikinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sicuit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masalah Baru.
"Selamat pagi, Bu," sapa orang itu dengam suaranya yang khas di telinga Ibu.
Orang itu mengangguk pada Ibu, dan matanya memandang sekitar rumah, mengamati dengan seksama.
"Selamat pagi, Cang." jawab Ibu sedikit kaku.
Hatinya selalu ciut dihadapan laki - laki yang sudah berumur itu. Rambutnya yang putih disisir rapi. Badannya besar, perutnya gempal seperti penggorengan terbalik.
"Bagaimana kabarnya, Bu?" tanyanya lagi.
"Baik, Cang. Mari silakan masuk," jawab Ibu. Dia mempersilakan Cang Yayat untuk duduk.
"Sebentar Cang, saya permisi ke dapur," pamit Ibu.
Tapi sebelum Ibu beranjak, Cang Yayat sudah melarangnya.
"Duduk sini aja, Bu. Saya ndak lama kok," katanya.
Ibu duduk di hadapannya.
"Saya ini tadi cuma kebetulan lewat, jadi sekalian mampir."
Bagaimana kabar Yunis?" tanyanya.
"Baik, Cang" jawab Ibu pendek.
"He he he, iya wes.. Jaka kerja dimana sekarang?"
"Ini masih cari kerja lagi Cang, beberapa waktu lalu sakit, abis kecelakaan,"
"Oh, memang jadi laki itu kudu giat cari kerja, Bu. Kalo ndak gitu, apa yang mo dipake hidupi anak istrinya, iya to,"
"Eehhh ... ada Cang Yayat, sudah tadi Cang?" tanya Yunis yang tiba - tiba nongol.
"Hehehe ... iya Cah ayu, piye kabarmu, Nduk?"
"Kabarku ndak baik, Cang. Sudah beberapa bulan ini aku ndak diberi uang belanja," rengeknya pada Cang Yayat.
Langsung membesar kedua mata Cang Yayat mendengar hal itu. Dan menatap Ibu dengan tajam.
Ibu mengepalkan tangannya. Matanya menatap Yunis.
Yunis melengos, meninggalkan ruangan.
"Bagaimana ini maksudnya?" tanya Cang Yayat gusar.
"Maaf Cang, bukannya tidak diberi belanja, tapi karena kerjaan sepi, dan Jaka kecelakaan belum bisa kerja lagi," jelas Ibu, suaranya sedikit bergetar, menahan sesuatu.
Cang Yayat manggut - manggut, mencoba mengerti situasi.
Tapi, kembali dari belakang, Yunis menebarkan racunnya kembali.
"Tapi iya gimana ya Cang, Unis kan perlu beli baju dan make up, jangankan untuk itu, untuk makan saja uang Unis yang dipake, sudah gitu tak dikembalikan juga."
Cang Yayat tampak geram.
"Bu, sudah keterlaluan itu namanya, saya sudah berbaik hati dengan memberikan sewa murah, dibayarnya juga enam bulan sekali, ndak seperti yang lainnya, tiap bulan!" dengusnya marah, sambil menatap Ibu, yang merasa semakin menciut.
"Sekarang gini saja, saya beri waktu satu minggu, Ibu bayar sewa untuk enam bulan ke depan, kalau ndak sampeyan bayar, sampeyan bisa keluar dari rumah ini!" katanya marah, sambil berdiri.
"Dan kamu, Nis, kalo masih ndak diberi belanja, kamu pulang ke rumah nCang, ndak usah di sini, suami ndak berguna, ga bisa nafkahi istrinya!" kata Cang Yayat pada Yunis, yang mukanya dibuat sesedih mungkin.
"Ngerti, Bu?" tanyanya lagi, menegaskan pada Ibu.
"Baik, Cang, kami usahakan," jawab Ibu serak.
Cang Yayat berjalan keluar, diiring oleh Ibu. Tapi sampai di pintu, dia berbalik badan.
"Ini Cah ayu, buat jajan ya," katanya sambil mengambilkan beberapa lembar uang seratus ribuan dari kantong kemejanya dan diberikan pada Yunis.
"Makasih, Cang. Ati - ati di jalan," ucapnya centil.
Cang Yayat, meninggalkan rumah, sementara Ibu masih terpaku di tempatnya berdiri. Tangannya terkepal erat.
Yunis tersenyum sambil mengibas - kibaskan uangnya di hadapan Ibu.
"Mulutmu itu jahat, kenapa kau berbicara seperti itu!" sentak Ibu pada Yunis, yang langsung menutup mulut.
"Emang nyatanya seperti itu, kenapa aku harus menutupi dari nCang?" tanyanya dengan seenaknya.
"Tapi kamu tau sendiri, Jaka terpaksa berhenti kerja juga gara - gara nikah sama kamu, Jaka kecelakaan juga bukan maunya sendiri, jadi jangan bilang seperti itu!"
"Eee ... Bu, asal ibu tau ya, kalo Jaka itu emang ndak becus nafkahi aku, kok susah sekali terima kenyataan," desisnya sinis.
"Sekarang kembalikan uang itu, mau Ibu pake bayar Cang Yayat,"
kata Ibu lagi.
"Ndak ada, uangnya sudah abis. Lagian, bukannya itu uangku ya, yang sudah kalian habiskan beberapa waktu lalu, tau diri dong, Bu!" katanya dengan nada tinggi.
Braaakk !!
Yunis menggebrak meja, dan meninggalkan Ibu sendiri.
#########
Hari sudah sore, seperti biasa, Ibu berdiri di depan, tengok sana, tengok sini. Mencari Jaka. Dia khawatir, akan kejadian beberapa waktu lalu terulang.
Tiba - tiba sebuah sedan warna metalik berhenti di depan rumah.
Pengendaranya turun dan mengangguk pada Ibu.
"Selamat sore,Bu. Apa Yunis ada di rumah?" tanyanya sopan.
Ibu memandang tajam laki - laki itu dari atas sampai bawah.
"Ma ...."
Belum selesai Ibu bertanya,
"Hai Beib, ayo kita langsung cabut," suara Yunis dari belakang Ibu.
Dan seakan disengaja, dia menggandeng laki - laki itu. Yang tampaknya risih. Dia melepaskan tangan Yunis, lalu mengangguk pada Ibu.
"Kami keluar sebentar, Bu. Ada pekerjaan buat Yunis," pamitnya.
Ibu diam, tak menjawab. Cuma mata Ibu yang mengawasi keduanya pergi. Masuk ke dalam mobil, dan meninggalkan Ibu sendiri.
Ibu teringat sesuatu, dia berjalan masuk dalam rumah dan menuju ke kamarnya, membuka lemari dan mencari sisa uang yang ditinggalkan Yunis.
Diambilnya uang itu, dihitung satu persatu. Hanya empat ratus ribu. Matanya menerawang jauh.
"Apa yang bisa kulakukan untuk bisa membayar sewa rumah ini?" Ibu menghela nafas panjang.
Dikembalikannya uang itu di bawah pakaiannya. Dan dia kembali berjalan keluar.
Tak lama kemudian, tampak Jaka berjalan dengan senyum cerah di wajahnya.
"Bu ... Bu ... tadi Jaka kerja Bu, Jaka kerja!" teriaknya dari jauh.
Dia melambai - lambaikan tangannya.
Jaka masuk dalam rumah, Ibu mengambilkan teh hangat.
Dan Jaka bercerita dengan semangat, bagaimana dia bekerja di tempat Pak Yusup. Bagaimana teman - temannya di sana. Jaka menceritakan semua dengan berapi - api.
Ibu tersenyum, mengangguk dan menggenggam tangan Jaka.
"Syukurkah Nak, kamu sudah dapat pekerjaan lagi,"
Tapi Jaka melihat, Ibu tak seperti biasanya, seperti ada yang disembunyikan oleh Ibu.
Jaka diam sejenak.
"Mana Yunis, Bu?"
"Keluar, ada pekerjaan katanya," suara Ibu pelan. Ibu memalingkan wajahnya.
"Ayo kamu buruan mandi, terua kita makan," Ibu berusaha mengalihkan pembicaraan.
Rasa sakit itu menyergap Jaka seketika. Tapi Jaka berusaha untuk bisa menahannya. Dia ambil teh yang dibuatkan Ibunya, diminum pelan - pelan. Hangatnya sedikit melegakan.
"Jaka, tadi Cang Yayat kemari. Dia minta minggu depan kita membayar untuk enam bulan berikutnya," akhirnya Ibu mengatakan juga pada Jaka, apa yang menjadi pikirannya.
"Lho, bukannya baru bulan depan habis ya, Bu? Kenapa diminta minggu depan?" tanya Jaka terkejut.
"Yunis tadi bilang pada Cang, kondisi kamu, Cang kurang suka, makanya dia minta uang dibayar minggu depan," kata Ibu, dia menunduk merasa bersalah mengatakan hal itu pada Jaka.
Jaka menarik nafas, dan menghembuskannya.
Diam, tak tahu apa yang harus diperbuat. Baru saja dia dapat pekerjaan, sudah ada lagi masalah yang datang.