NovelToon NovelToon
Bukan Darahku, Tapi Jantungku: Anakku, Anak Mantan Suamiku?

Bukan Darahku, Tapi Jantungku: Anakku, Anak Mantan Suamiku?

Status: sedang berlangsung
Genre:Keluarga / Romansa / Konflik etika
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Bangjoe

Mungkinkah cinta seorang ibu bisa runtuh oleh kebenaran genetik? Raya membesarkan putranya, Langit, dengan seluruh cinta dan jiwanya. Namun, sebuah tes medis tak terduga mengungkap fakta mengejutkan: Langit bukan darah dagingnya. Lebih mengerikan, DNA Langit justru mengarah pada masa lalu kelam Raya, terhubung dengan mantan suaminya yang dulu menyakitinya. Haruskah Raya mengungkap kebenaran yang bisa menghancurkan keluarganya, atau menyimpan rahasia demi menjaga 'anaknya'?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Medan Perang Raya

Udara di dalam rumah terasa begitu berat, seperti awan mendung yang siap menumpahkan badai terbesarnya. Raya melangkah masuk, jantungnya berdegup kencang, perasaannya campur aduk antara kelelahan, ketakutan, dan resolusi membaja yang baru saja ia tanamkan. Lampu ruang tamu meredup, hanya menyisakan sorot lampu tidur yang memantulkan bayangan panjang di dinding. Dan di sana, di sofa, Arlan duduk tegak, tangannya mengepal di atas lutut, matanya menatap Raya dengan pandangan yang belum pernah ia lihat sebelumnya – kosong, marah, dan penuh kepedihan yang menusuk.

“Arlan?” Suara Raya tercekat, nyaris tak terdengar. Ia bisa merasakan energi kemarahan Arlan, seperti gelombang panas yang memancar di sekelilingnya.

Arlan tidak menjawab. Ia hanya bangkit, perlahan, dan melangkah mendekat. Setiap langkahnya terasa seperti palu godam yang menghantam lantai, menggema di dada Raya. Ia berhenti tepat di depan Raya, tatapan matanya menelanjangi setiap sudut jiwanya.

“Aku tahu, Raya,” ucap Arlan, suaranya rendah, nyaris berbisik, namun terdengar lebih menakutkan daripada teriakan paling keras sekalipun. “Aku tahu semuanya.”

Dunia Raya runtuh dalam sekejap. Meskipun ia sudah menduga ini akan terjadi, rasa sakitnya tetap sama, bahkan lebih parah. Ini adalah momen yang paling ia takuti. Ia melihat secarik kertas yang Arlan genggam di tangan kanannya – sebuah salinan laporan tes DNA yang ia simpan dengan sangat hati-hati, sebuah dokumen yang menjadi saksi bisu awal kehancuran mereka.

“Arlan, aku…” Raya mencoba meraih tangan Arlan, namun suaminya itu menariknya menjauh, seolah sentuhannya adalah racun.

“Jangan. Jangan sentuh aku, Raya,” Arlan menggelengkan kepalanya pelan, seperti tidak percaya dengan apa yang ada di hadapannya. “Bagaimana bisa? Bagaimana bisa kau menyembunyikan ini dariku? Kita suami istri, Raya! Kita berbagi hidup, berbagi mimpi, berbagi Langit! Dan kau… kau menyimpan rahasia sebesar ini?”

Air mata Raya sudah mengalir, membasahi pipinya yang dingin. “Aku takut, Arlan. Aku sangat takut. Aku tidak tahu bagaimana harus memberitahumu. Semuanya terlalu rumit, terlalu menyakitkan.”

“Rumit? Menyakitkan?” Arlan tertawa hambar, getir. “Lalu bagaimana denganku? Bagaimana dengan Langit? Kau pikir ini tidak rumit dan tidak menyakitkan bagiku, Raya? Anak yang kubesarkan, yang kucintai setulus hatiku, yang kupikir adalah anak kandungku… ternyata bukan. Dan kau sudah tahu itu jauh sebelum aku!”

“Langit adalah anak kita, Arlan! Tidak peduli darah siapa yang mengalir di tubuhnya, dia tetap anak kita!” Raya berseru, suaranya meninggi, membela diri sekaligus memohon pengertian.

Arlan menatapnya dengan tatapan tajam. “Bagaimana bisa kau berkata begitu? Kau tahu siapa ayah biologisnya, kan? Kau tahu itu Damar! Mantan suamumu! Aku membaca pesan-pesanmu, Raya. Pesan-pesan misterius itu, telepon yang kau sembunyikan… Aku pikir kau selingkuh, Raya. Tuhan, aku berharap kau selingkuh. Itu akan lebih mudah daripada kenyataan ini!” Suara Arlan pecah di akhir kalimat, menunjukkan kedalaman rasa sakitnya.

Raya terisak. “Aku tidak selingkuh, Arlan. Tidak pernah. Aku mencarinya, mencari kebenaran. Damar… Damar yang melakukan ini. Dia memanipulasi semuanya. Dia menginginkan Langit!” Raya menceritakan semua yang ia ketahui, dari kecurigaannya, penyelidikan diam-diam, hingga pengakuannya kepada Damar dan tuntutan pria itu. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa seperti belati yang menancap lebih dalam di hati Arlan, namun ia harus mengatakannya. Ini adalah satu-satunya kesempatannya untuk membuat Arlan mengerti.

“Dia mengirimiku surat dari pengacaranya hari ini,” Raya melanjutkan, suaranya bergetar. “Dia mengklaim hak asuh penuh atas Langit. Dia bilang dia punya bukti kuat bahwa Langit adalah anak biologisnya, hasil dari kecurangan IVF. Dia ingin mengambil Langit dariku, dari kita.”

Arlan terdiam, mencerna setiap kata. Wajahnya memucat pasi. Tangannya gemetar saat ia menyentuh keningnya. “Kecurangan IVF? Jadi, selama ini… saat kita mencoba punya anak, Damar…” Arlan menggelengkan kepala, tidak sanggup melanjutkan. Konsepnya terlalu mengerikan, terlalu kotor. Mantan suami istrinya, bermain-main dengan takdir mereka, mencuri kesempatan mereka untuk menjadi orang tua biologis, dan menanamkan anaknya sendiri di rahim Raya tanpa sepengetahuan mereka.

“Dia bilang dia sangat mencintaiku dulu. Dia tidak bisa menerima perceraian kami. Dia ingin bagian dariku, darimu,” Raya menunduk, malu dan jijik dengan perbuatan Damar. “Aku… aku tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi. Aku tidak pernah mengizinkan itu.”

Arlan menatap Langit, yang tidur pulas di kamarnya, dengan pandangan sedih. Pria kecil itu, yang selama ini menjadi matahari di kehidupan mereka, kini menjadi pusat badai yang menghancurkan. “Langit… anakku. Anak Damar…” Arlan berbisik, seolah nama itu adalah kutukan. Ia mengusap wajahnya kasar. “Dan kau… kau ingin melawannya? Melawan ayah biologis Langit, Raya? Apa yang akan kita katakan pada Langit nanti? Apa yang akan kita katakan pada dunia?”

“Aku tidak peduli apa kata dunia, Arlan! Aku tidak peduli siapa ayah biologisnya! Langit adalah anakku! Aku yang mengandungnya, aku yang melahirkannya, aku yang merawatnya saat dia sakit. Dia adalah duniaku! Dan aku tidak akan membiarkan siapa pun, terutama Damar, mengambilnya dariku!” Raya berseru, tekadnya menyala-nyala, membakar habis ketakutan yang tersisa. Air matanya kini adalah air mata perjuangan, bukan lagi kesedihan.

Arlan menatap mata Raya yang berapi-api. Ada kebingungan, kekaguman, dan juga keputusasaan yang mendalam di matanya. “Raya, kau tahu konsekuensinya? Ini akan menjadi perang yang panjang dan kotor. Karirmu, reputasimu, reputasiku… pernikahan kita, Raya. Semua bisa hancur.”

“Aku tahu, Arlan. Aku tahu semua itu. Tapi aku tidak bisa hidup tanpa Langit. Aku tidak bisa membiarkan Damar menang. Dia sudah mencuri terlalu banyak dariku. Dia tidak akan mencuri anakku!” Raya menggenggam tangan Arlan, memohon dukungan. “Kumohon, Arlan. Jangan tinggalkan aku. Kita hadapi ini bersama. Demi Langit.”

Arlan menarik tangannya dari genggaman Raya. Ia mundur beberapa langkah, menatap Raya dengan pandangan yang membuat hati Raya mencelos. “Aku… aku tidak tahu, Raya. Aku tidak tahu apakah aku bisa. Semua ini… ini terlalu besar. Ini bukan hanya tentang Langit. Ini tentang kebohongan, tentang manipulasi, tentang diriku yang merasa bodoh, dikhianati.” Suaranya dipenuhi kepahitan. “Aku perlu waktu. Aku perlu berpikir.”

Ia berbalik, berjalan menuju pintu kamar tamu. “Malam ini, aku tidur di sini,” ucapnya tanpa menoleh, lalu menutup pintu di belakangnya, meninggalkan Raya sendiri di tengah ruang tamu yang terasa hampa. Suara kunci diputar terdengar jelas, memecah kesunyian, dan sekaligus memecah hati Raya menjadi ribuan keping. Arlan menutup diri darinya, tepat saat ia paling membutuhkannya.

Raya ambruk ke lantai. Tangisannya pecah. Ia tidak tahu berapa lama ia menangis, meratap, memohon pada semesta untuk mengembalikan kehidupannya yang dulu. Tapi ia tahu, di lubuk hatinya, tidak peduli betapa hancurnya ia saat ini, ia tidak akan menyerah pada Damar. Tidak akan pernah.

Keesokan harinya, Raya bangun dengan mata bengkak dan kepala pening. Rasa sakit di hatinya masih sama, bahkan lebih parah. Ia menyiapkan sarapan seperti biasa, berharap melihat Arlan di meja makan. Namun kursi Arlan tetap kosong. Pintu kamar tamu masih tertutup rapat. Hanya Langit yang berlari ceria, memeluk kakinya, meminta sarapan sereal kesukaannya. Senyum polos Langit adalah satu-satunya obat bagi jiwanya yang compang-camping.

“Mama, nanti Langit mau main bola sama Papa ya!” ucap Langit penuh semangat, mengingatkan Raya akan janji-janji yang kini terasa rapuh.

Raya memaksakan senyum, mengusap kepala putranya. “Tentu, sayang. Nanti Mama bicarakan dengan Papa, ya.”

Setelah mengantar Langit ke sekolah, Raya tidak membuang waktu. Ia menelepon pengacara terbaik yang ia kenal, Bu Rina, seorang spesialis hukum keluarga yang terkenal tegas dan cerdas. Raya menjelaskan situasinya, setiap detail menyakitkan, setiap kebohongan yang ia simpan. Bu Rina mendengarkan dengan serius, sesekali mengajukan pertanyaan tajam.

“Ini kasus yang sangat kompleks, Raya,” Bu Rina memulai setelah Raya selesai bercerita. “Aspek biologis, manipulasi medis, hak asuh, ditambah lagi status pernikahan Anda. Damar punya bukti biologis, itu poin terkuatnya. Namun, fakta bahwa itu didapat melalui penipuan dan tanpa persetujuan Anda adalah poin terkuat kita. Anda adalah ibu kandungnya secara hukum, ibu yang melahirkannya, dan ibu yang merawatnya selama ini. Kita akan berargumen tentang ikatan emosional dan stabilitas lingkungan. Tapi kita harus bersiap untuk pertempuran yang berat.”

“Aku siap, Bu Rina. Aku akan lakukan apa pun,” kata Raya, suaranya mantap.

“Baik. Langkah pertama, kita akan merespons surat Damar. Kita akan menuntut penyelidikan penuh terhadap klinik IVF yang dia gunakan, dan kita akan mengajukan permohonan hak asuh sementara untuk memastikan Langit tetap bersama Anda selama proses hukum berjalan. Kita juga perlu bukti-bukti tentang hubungan Damar dengan klinik tersebut, dan motifnya. Kita perlu menggali lebih dalam masa lalu Damar,” Bu Rina menjelaskan langkah-langkah yang akan mereka ambil. “Ini tidak akan mudah. Damar pasti akan menggunakan segala cara untuk menjatuhkan Anda, mungkin dengan mengungkapkan ke publik bahwa Langit bukan anak biologis Anda, untuk mendapatkan simpati.”

Raya bergidik. Bayangan skandal dan tatapan menghakimi masyarakat sudah terbayang di benaknya. Tapi ia tidak bisa mundur. Demi Langit.

Sepulangnya dari kantor Bu Rina, Raya menemukan sebuah paket kecil di kotak suratnya. Tanpa nama pengirim, hanya alamatnya. Jantungnya berdebar tidak karuan. Ia membuka kotak itu dengan tangan gemetar. Di dalamnya ada sebuah boneka beruang kecil, boneka yang sama persis dengan yang ia berikan pada Damar saat mereka masih pacaran dulu, sebagai kenang-kenangan. Dan di bawah boneka itu, sebuah kartu. Tulisan tangan yang familiar, tulisan tangan Damar.

*Raya, kau pikir kau bisa melarikan diri dari takdir kita? Langit adalah takdir kita. Dia adalah jembatan yang akan membawaku kembali padamu. Kau dan dia akan menjadi milikku lagi. Kali ini, selamanya. Tidak ada yang bisa menghentikannya. Bahkan Arlan sekalipun. Bersiaplah untuk pertempuran sesungguhnya, sayangku. Karena aku tidak akan kalah.*

Dingin. Mengancam. Dan menjijikkan. Raya menjatuhkan kotak itu. Boneka beruang itu teronggok di lantai, seolah tersenyum jahat. Ancaman Damar bukan lagi sekadar surat pengacara, tapi sudah merambah ke ranah pribadi, mengingatkan Raya pada masa lalu kelamnya. Pria itu benar-benar psikopat. Ia tidak hanya menginginkan Langit, tapi juga Raya.

Badan Raya menggigil. Perang sudah dimulai. Dan Damar, dengan segala obsesinya yang mengerikan, baru saja menaikkan taruhannya. Raya harus lebih kuat. Lebih cerdik. Lebih kejam, jika perlu. Demi Langit. Suara kunci pintu depan berputar, memecah kesunyian rumah. Arlan. Raya menoleh, melihat Arlan berdiri di ambang pintu, tatapannya lelah namun dingin. Di tangannya, sebuah koper kecil. Raya merasakan dunia berputar. Tidak. Tidak mungkin.

“Arlan? Apa ini?” bisik Raya, suaranya serak.

Arlan tidak menatapnya. Ia hanya menunduk, menghela napas panjang, berat. “Aku… aku perlu jarak, Raya. Aku tidak bisa menghadapi ini sekarang. Aku tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Aku butuh waktu untuk berpikir, sendirian.” Ia mengangkat wajahnya, menatap Raya dengan mata yang penuh kesedihan mendalam. “Aku mencintaimu, Raya. Dan aku mencintai Langit. Tapi kebohongan ini… ini menghancurkanku. Aku tidak tahu apakah kita bisa melewati ini. Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkanmu. Aku tidak tahu apakah aku bisa berada di sisimu dalam perang ini.”

“Arlan, kumohon! Jangan lakukan ini!” Raya berlari mendekat, mencoba memegang tangannya, namun Arlan mundur. Koper di tangan Arlan seperti pertanda yang paling mengerikan. Ini bukan hanya tentang Damar, bukan hanya tentang Langit. Ini tentang mereka, tentang pernikahan yang kini di ambang kehancuran.

“Aku akan tetap membayar semua kebutuhan Langit. Aku akan tetap mengunjunginya. Tapi aku tidak bisa tinggal di sini. Tidak sekarang,” Arlan berkata, suaranya putus-putus. Ia mengambil kunci mobilnya dari saku. “Aku… aku pergi dulu.”

Ia berbalik, melangkah keluar pintu, dan menghilang dari pandangan Raya. Pintu tertutup perlahan, menimbulkan suara ‘klik’ yang mematikan. Raya berdiri membeku, menatap pintu yang kini tertutup rapat itu, seolah semua harapannya baru saja keluar bersama Arlan. Koper itu. Kata-kata itu. ‘Aku tidak tahu apakah aku bisa berada di sisimu dalam perang ini.’ Arlan pergi. Badai sesungguhnya baru saja dimulai, dan ia harus menghadapinya sendirian. Tidak, bukan sendirian. Ada Langit. Selalu ada Langit. Namun, kehilangan Arlan di tengah badai ini terasa seperti kehilangan separuh jiwanya. Perang melawan Damar belum dimulai, tetapi Raya sudah kehilangan satu pertarungan terbesar dalam hidupnya. Dan hatinya hancur berkeping-keping. Pertanyaannya kini adalah: berapa banyak lagi yang akan ia kehilangan sebelum perang ini berakhir?

1
Yaya Mardiana
bingung dengan cerita nya selalu berulang ulang
Bang joe: part mananya mulai kak ?
total 2 replies
Nana Colen
timititi maca nepi ka episode ieu satu kata lier
Nana Colen: asa begitu banyak kata kata atau kalimat yg di ulang ulang dan muter muter jd bukannya semangat bacanya malah jadi puyeng 🙏
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!