Edward terkejut saat istrinya yang hilang ingatan tiba-tiba mengajukan gugatan cerai kepadanya.
Perempuan yang selama empat tahun ini selalu menjadikan Edward prioritas, kini berubah menjadi sosok yang benar-benar cuek terhadap apapun urusan Edward.
Perempuan itu bahkan tak peduli lagi meski Edward membawa mantan kekasihnya pulang ke rumah. Padahal, dulunya sang istri selalu mengancam akan bunuh diri jika Edward ketahuan sedang bersama mantan kekasihnya itu.
Semua kini terasa berbeda. Dan, Edward baru menyadari bahwa cintanya ternyata perlahan telah tumbuh terhadap sang istri ketika perempuan itu kini hampir lepas dari genggaman.
Kini, sanggupkah Edward mempertahankan sang istri ketika cinta masa kecil perempuan itu juga turut ikut campur dalam kehidupan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itha Sulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nana dimana?
Sejak kedatangan Papa mertuanya, Edward selalu merasa tidak tenang. Tidak menutup kemungkinan, James Howarts akan kembali berkunjung secara tiba-tiba seperti kemarin.
Sementara, hingga detik ini, Nana belum juga kembali. Perempuan itu masih saja betah berada diluar sana.
"Na, kenapa kamu nggak pulang-pulang?" gumam Edward gelisah.
Ia meremas tangannya yang terkepal kuat diatas pahanya. Matanya fokus menatap langit-langit ruangan yang berwarna putih.
"Arggh!! Na, kali ini kamu benar-benar keterlaluan!" lanjut Edward menggeram frustasi.
Ia sama sekali tak bisa fokus dalam bekerja. Hampir setiap detik Edward selalu uring-uringan dan tanpa segan melampiaskan kekesalannya kepada karyawannya.
"Kamu dapat uang darimana sih, sampai bisa menginap di hotel bintang lima sampai hampir seminggu? Apa jangan-jangan, laki-laki itu yang kasih Nana biaya menginap gratis?"
Ah, sepertinya memang begitu. Mungkin, Dylan Ferrel yang membiarkan Nana menginap secara gratis di hotel milik keluarganya. Dan, jika faktanya memang seperti itu maka percuma saja Edward terus menunggu perempuan itu pulang ke rumah.
Selama ada orang lain yang menyokong hidupnya, maka Nana pasti akan baik-baik saja meski tanpa Edward.
Degh!
Reflek, Edward menyentuh dada kirinya. Membayangkan Nana terbiasa hidup tanpa dirinya, membuat jantungnya terasa sakit.
Andai Nana mulai berpindah hati, apakah Edward benar-benar sanggup menerima?
"Ini nggak bisa dibiarkan," ucap Edward seraya berdiri dari kursinya. "Aku harus jemput Nana! Ya, harus!"
Tanpa berpikir dua kali, Edward langsung bergegas menuju ke hotel Marriott. Ia harus membawa Nana pulang hari ini juga bagaimanapun caranya.
"Tamu atas nama Rihanna Howarts sudah tidak menginap disini lagi, Tuan. Beliau sudah checkout sejak pagi kemarin."
Informasi yang diberikan oleh resepsionis membuat Edward semakin gelisah. Nana sudah meninggalkan tempat itu. Lantas, kemana Edward harus mencari keberadaan sang istri?
"Dylan!!!" panggil Edward ketika sang pangeran kaya raya itu berjalan melewatinya dengan banyak orang yang mengelilinginya.
"Dylan, tunggu!" teriak Edward lagi.
Seorang pengawal dengan reflek menahan dada Edward saat pria itu hendak merangsek mendekati Dylan. Namun, Dylan memberinya kode supaya melepaskan Edward dan membiarkan pria itu mendekatinya.
"Tuan Edward? Ada apa?" tanya Dylan dengan ramah.
Sekretaris disampingnya tampak menurunkan tablet yang semula ia perlihatkan kepada Dylan. Ia pun melangkah mundur untuk memberi ruang pada Dylan dan Edward untuk mengobrol secara pribadi.
"Dimana Nana?" tanya Edward tanpa basa-basi.
"Nana?" sebelah alis Dylan tampak terangkat.
"Pasti kamu yang sengaja menyembunyikan dia, kan? Ayo, ngaku!" tuding Edward sedikit emosi.
Hari ini, Edward tak ingin bersikap sopan pada Dylan yang usianya jauh dibawah Edward. Pria itu ingin memperlakukan Dylan sebagai lelaki dewasa yang sedang memperebutkan satu orang wanita yang sama-sama mereka inginkan.
"Nana memang sudah check out sejak kemarin. Tapi, saya nggak tahu kemana dia pindah," timpal Dylan.
"Bohong! Kamu pasti berbohong!"
Dylan menghela napas panjang. Sejenak, dia melemparkan pandangan ke arah luar sebelum kembali fokus menatap wajah Edward.
"Buat apa saya bohong? Nggak ada gunanya."
Grep!
Tiba-tiba Edward mencengkram erat kerah jas milik Dylan. Beberapa pengawal pribadi pria itu pun sontak bereaksi dengan cara menarik Edward menjauh dari atasan mereka.
"Jangan pikir kalau aku nggak tahu isi pikiran kamu, Dylan! Kamu jatuh cinta sama Nana, kan?" tanya Edward dengan nada sinis.
"Saya memang mencintai dia. Tapi, saya nggak mungkin mau mendekati dia disaat dia masih berstatus sebagai istri orang lain. Saya nggak mau reputasi Nana jadi rusak."
"Jangan banyak basa-basi, Dylan! Sekarang, katakan! Dimana kamu sembunyikan istriku?"
"Sudah saya bilang kalau saya nggak tahu soal keberadaan Nana sekarang," tegas Dylan. "Mungkin, dia sedang menginap dihotel lain?" lanjutnya menebak.
"Itu nggak mungkin," geleng Edward. "Nana nggak pernah punya banyak uang cash didompetnya. Dia juga nggak pernah pegang kartu debit dan kartu kredit. Jadi, uang darimana, dia bisa menyewa kamar di hotel lain?"
"Soal itu, lebih baik Anda tanyakan pada teman Nana yang lain. Anda pasti tahu kalau Nana masih punya banyak teman lain, selain saya, kan? Datanglah ke mereka! Barangkali, Nana ada dirumah salah satu dari mereka."
Selesai memberikan saran untuk Edward, Dylan kembali melanjutkan langkahnya. Waktunya sudah terbuang beberapa menit hanya karena meladeni lelucon yang dihadirkan Edward.
"Nana punya banyak teman?" Edward seketika tertawa. "Mana mungkin. Selama ini, bukankah dia hanya tinggal di rumah saja? Jangankan punya waktu untuk mencari teman, waktu untuk berdandan saja selalu tidak ada."
Akhirnya, Edward memutuskan untuk menghubungi Rossa, satu-satunya sahabat Nana yang Edward tahu. Namun, ternyata gadis itu sudah memasukkan kontak Edward ke kotak hitam. Jadi, panggilan Edward tidak pernah bisa terhubung.
"Na, pulang!! Kali ini, aku akui kalau kamu yang terhebat. Kamu berhasil bikin aku segelisah ini." Edward menyugar rambutnya sambil menghela napas kasar.
Tak ada informasi apapun yang dapat Edward dapatkan tentang keberadaan Nana hari ini. Dan, pria itu memutuskan untuk pulang ke rumah terlebih dulu kemudian memikirkan langkah selanjutnya.
Nana adalah jimat keberuntungan bagi Edward. Jadi wajar jika Edward begitu keras kepala dan menolak untuk bercerai dari Nana.
"Ed, kamu darimana saja? Kenapa kamu terlambat pulang, hm?"
Sengaja mengunakan gaun tidur yang sangat tipis, Silva datang menghampiri Edward kemudian duduk dipangkuan pria itu. Disentuhnya dagu Edward saat menanyakan pertanyaan tadi.
"Aku habis cari Nana," jawab Edward. "Tolong turun dari pangkuanku, Sil!" lanjutnya memberi titah.
Mau seseksi apapun Silva malam ini, tapi Edward tak akan bisa tergoda. Bayangan wajah Nana terus berlarian dipikiran Edward. Membuat pria itu jadi tak fokus dan malah terkesan mengabaikan keberadaan Silva.
"Ed, kamu kenapa, sih? Akhir-akhir ini, kamu selalu nggak mau dekat-dekat sama aku," protes Silva yang sedang ngambek.
Capek-capek pakai baju dinas, namun Edward malah tidak tergoda.
"Aku cuma sedang lelah saja, Sil," jawab Edward.
"Bohong!" sergah Silva. "Kamu pasti masih memikirkan Nana, kan?" tebaknya.
"Kalau memang aku masih memikirkan dia, terus kenapa? Dia istriku, Sil. Jadi, wajar-wajar saja jika aku merindukan dia, kan?"
"Kamu beneran nggak mau menceraikan dia, Ed?" tanya Silva dengan genangan air mata di pelupuk matanya.
"Nggak," geleng Edward. "Selamanya, Nana cuma bisa jadi milikku. Bukan milik orang lain."
"Terus, gimana dengan aku, Ed?" tanya Silva sekali lagi. Kali ini, suaranya terdengar bergetar.
Edward pun menghela napas panjang. "Maaf, Silva! Mungkin, selamanya aku nggak akan bisa kasih kamu status yang resmi."
Dengan berat hati, Edward tetap harus jujur. Dia dan Silva memang sudah tak memiliki harapan untuk bisa bersama lagi.
"Kalau kamu memang nggak bisa memberikan aku status, terus kenapa kamu masih menahan aku disisi kamu, Ed?"
"Itu karena..." ucapan Edward mendadak terhenti begitu saja. Dia tak tahu apa lagi kelanjutan kalimatnya.
Kenapa Edward masih menahan Silva disisinya? Entahlah!
Mungkin, karena Edward merasa superior jika berada didekat Silva yang selalu mengandalkan Edward dalam hal apapun. Sementara, Nana cenderung jauh lebih mandiri. Perempuan itu lebih suka melakukan semuanya sendiri tanpa mau merepotkan orang-orang yang dia sayangi.
Meski begitu, tetap saja Edward selalu mengatainya manja.
"Edward, aku nggak mau jadi kekasih gelap terus," rengek Silva lagi. "Aku mau status yang jelas. Jadi, ceraikan Nana dan nikahi aku, ya!"
"Jangan mengatur-atur aku, Silva!" Nada suara Edward tiba-tiba meninggi.
"Kalau kamu masih betah menikmati kemewahan yang aku berikan, maka diam dan duduk manis saja! Dan, ingat! Jangan pernah memprovokasi Nana lagi jika nanti Nana sudah kembali ke rumah ini. Kamu ngerti?"
Tangan Silva sontak mengepal erat. Amarah telah membara dalam hatinya.
*
*
*
Empat hari kemudian...
"Loh, Na? Akhirnya, kamu pulang juga!" pekik Edward bahagia saat sang istri akhirnya kembali ke rumah.
"Mana koper kamu? Sini, biar aku bawakan ke dalam kamar!" pinta Edward dengan wajah sumringah.
"Saya ke sini cuma sebentar kok, Tuan Ed! Jadi, nggak perlu bawa koper."
"Maksudnya?"
Buk!
Nana langsung menyerahkan berkas yang sedari tadi dia bawa ditangan kanannya kepada Edward.
"Ini berkas perceraian kita! Cepat tanda tangani supaya urusan kita cepat selesai!"