Harry sama sekali tak menyangka, bahwa pacarnya yang selama ini sangat ia sayangi, ternyata justru menjalin hubungan dengan ayah kandungnya sendiri di belakangnya! Dan parahnya lagi, pacarnya itu adalah simpanan ayahnya sekaligus selingkuhan ibunya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon patrickgansuwu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17. Penyelidikan Harry
Sore itu, cahaya matahari mulai meredup perlahan, meninggalkan bias jingga yang memantul indah di jendela kaca besar apartemen Raline. Angin dari AC berhembus lembut, menciptakan suasana nyaman yang tenang di dalam ruangan. Televisi menyala di hadapan mereka, menayangkan film yang bahkan tidak mereka perhatikan. Suara-suara dari layar hanya menjadi latar belakang semata, sebab perhatian keduanya sama sekali tak tertuju pada itu.
Calvin duduk santai di sofa, satu lengannya merentang di sandaran, menyentuh bahu Raline yang bersandar di sebelahnya. Jari-jari Calvin sesekali mengelus bahu gadis itu dengan perlahan, sementara Raline sendiri tampak diam dan murung, seolah pikirannya sedang melayang jauh.
"Ada yang sedang kamu pikirkan?" Calvin akhirnya bertanya setelah beberapa saat sunyi.
Raline mengangguk pelan. Ia menoleh sedikit, menatap pria yang jauh lebih tua darinya itu, lalu kembali menatap ke depan, ke arah televisi yang tidak benar-benar ia lihat.
"Tentang Harry," ucapnya lirih.
Calvin tak langsung bereaksi. Ia hanya mengangkat alisnya sedikit, membiarkan Raline melanjutkan.
"Tadi pagi... waktu aku bangun, dia sudah berpakaian dan hendak pergi," ujar Raline pelan, suaranya seperti mengandung sesal. "Dia nggak bilang apa-apa. Tapi, dari cara dia menatapku... aku tahu ada yang berubah."
"Kamu takut dia tahu sesuatu?" Calvin bertanya sambil tersenyum tipis, ekspresinya tenang dan tidak tampak cemas sama sekali.
"Aku... aku nggak tahu," gumam Raline. "Tapi, firasatku nggak enak. Harry biasanya nggak pernah se-dingin itu setelah semalam bersama. Tapi tadi pagi… dia seperti menjauh. Seperti... muak denganku."
Calvin tertawa pelan, membuat Raline menoleh dengan bingung.
"Aku malah senang mendengarnya," sahut pria itu santai. "Akan jauh lebih baik kalau Harry cepat tahu semuanya. Biar kamu benar-benar jadi milikku seutuhnya."
Raline membelalak. "Daddy, kamu serius?"
"Tentu saja." Calvin menatap mata gadis itu dalam-dalam, lalu menyentuh pipinya lembut. "Aku sudah cukup lama sembunyi-sembunyi. Aku tidak peduli lagi kalau Harry tahu soal ini. Aku hanya ingin kamu bersamaku, setiap hari, tanpa perlu menutup-nutupi apa pun."
"Tapi... Harry itu tunanganku," suara Raline mulai bergetar. "Dan... dan kalau dia tahu, dia bisa menghancurkan segalanya. Termasuk hubungan kita, Daddy. Dia bisa membenciku seumur hidupnya."
"Biarkan dia membenci kita," gumam Calvin dingin. "Aku tak peduli. Aku lebih memilih jadi pria yang kamu cintai sepenuhnya… daripada hanya menjadi rahasia."
Raline menggeleng. "Tidak sesederhana itu. Harry bukan orang biasa. Kalau dia marah, dia bisa melakukan apa saja. Aku takut..."
Calvin memotongnya dengan satu ciuman lembut di pipi. "Kamu tidak perlu takut selama kamu bersamaku. Aku akan melindungimu."
Meski kata-kata itu terdengar meyakinkan, hati Raline justru makin kacau. Ia merasa seolah sedang terjebak dalam dua pusaran besar yang terus menariknya ke arah yang berlawanan. Calvin yang selalu memberinya perhatian dan kenikmatan... dan Harry yang tulus mencintainya, namun kini mulai menjauh karena rahasia yang tak bisa lagi ditutupi.
"Kalau semuanya terbongkar, kamu nggak akan tinggalkan aku, kan?" tanya Raline tiba-tiba.
Calvin menatapnya dalam. "Kamu sudah terlalu jauh masuk ke dalam hidupku, Raline. Tidak akan ada jalan mundur."
Kalimat itu membuat Raline menggigit bibirnya. Ia tahu Calvin bukan sekadar bermain-main, dan jika semuanya terungkap, dunia mereka bertiga tidak akan pernah sama lagi. Tapi waktu terus berjalan. Dan rahasia... cepat atau lambat, selalu punya cara untuk muncul ke permukaan.
÷÷÷
Langit sore perlahan mulai beranjak gelap. Awan kelabu menggantung di cakrawala, menambah kesan suram di wajah Harry yang tengah berdiri di depan kaca besar kamarnya. Dengan setelan kasual berwarna gelap, pria itu merapikan rambutnya sekilas sebelum mengambil jaket dan ponsel dari meja kerja. Dalam benaknya, bayangan Raline dan pesan misterius dari pria bernama "Daddy" terus menghantui, seolah tak memberinya ruang untuk bernapas.
Harry menarik napas panjang, kemudian melangkah keluar dari kamarnya. Di ruang tengah, Ziva—ibunya—sedang duduk membaca buku di sofa. Begitu melihat anaknya hendak pergi, wanita paruh baya itu langsung menoleh dan menutup bukunya.
"Mau ke mana, Nak?" tanyanya lembut.
Harry tersenyum tipis, menyembunyikan kegusaran yang masih menyesakkan dadanya. "Mau ketemu teman, Ma. Ada hal yang penting."
Ziva menatap mata anaknya beberapa detik, seolah mencoba membaca apa yang sebenarnya tersimpan di sana. Namun, ia tahu kapan harus berhenti bertanya.
"Baiklah, tapi hati-hati. Langitnya mulai mendung."
"Iya, Ma," jawab Harry singkat, lalu berjalan menuju pintu dan keluar dari rumah.
Begitu berada di dalam mobil, Harry langsung menyalakan mesin dan melajukan kendaraannya. Tujuannya jelas—apartemen Raline. Ia merasa harus menemukan jawaban atas semua kecurigaan yang mulai menghantui pikirannya. Mungkinkah Raline benar-benar berselingkuh? Siapa sebenarnya pria yang ia panggil dengan sebutan “Daddy”? Dan kenapa firasatnya begitu kuat mengatakan bahwa pria itu bukan orang sembarangan?
Harry memandangi benda kecil berbentuk flashdisk yang ada di kantong jaketnya. Itu bukan sembarang alat, melainkan alat penyadap suara dan percakapan yang telah ia siapkan dengan bantuan temannya yang bekerja di bidang keamanan data. Alat itu bisa merekam semua suara dalam radius lima meter selama lebih dari dua hari. Ia tak menyangka harus sampai melakukan hal seperti ini pada Raline, tapi ia butuh kepastian.
Sesampainya di apartemen, Harry memarkirkan mobilnya agak jauh, lalu berjalan kaki menuju lobi gedung. Ia tidak menelepon Raline, tidak juga memberitahukan kedatangannya. Ia ingin melihat sendiri apa yang sedang dilakukan tunangannya itu—dan dengan siapa ia berada.
Begitu berada di lantai unit Raline, Harry melangkah pelan. Jantungnya berdebar cepat, bukan karena takut, tapi karena terlalu banyak emosi bercampur dalam dadanya: marah, curiga, sedih, dan kecewa.
Ia berdiri di depan pintu unit dan menyandarkan telinganya. Tidak terdengar suara apa pun. Ia mencoba mengetuk pelan. Satu... dua... tiga ketukan. Tak ada jawaban. Harry lalu membuka kunci cadangan yang pernah diberikan Raline padanya—sebuah kesalahan yang kini sangat membantunya.
Pintu terbuka perlahan. Apartemen itu tampak sepi. Lampu ruang tamu menyala, dan aroma wangi lembut khas parfum Raline masih tercium. Harry melangkah masuk dengan hati-hati, lalu menutup pintu kembali. Ia menyusuri ruangan, memastikan tidak ada siapa pun di sana. Mungkin Raline sedang keluar. Atau... bersembunyi di kamar bersama seseorang?
Ia mendekati kamar tidur dan memutar kenop pintu pelan. Kosong. Namun, ranjang tampak berantakan dan masih menyisakan jejak dua orang yang pernah berbaring bersama. Harry menatap itu lama, lalu mengepalkan tangannya.
Tanpa banyak berpikir lagi, ia segera bergerak ke sudut rak buku dekat televisi. Di sana, ia meletakkan alat penyadap kecil itu, menyelipkannya di sela-sela bingkai foto yang jarang disentuh. Alat itu akan bekerja otomatis begitu menangkap suara. Setelah itu, ia memastikan semuanya kembali seperti semula, lalu melangkah keluar dari apartemen dengan perasaan campur aduk.
Satu hal yang pasti—malam ini, Harry telah melangkah lebih jauh ke dalam kebenaran yang mungkin akan menyakitinya. Tapi ia sudah siap. Apapun itu... ia ingin tahu.