Di Desa Asri yang terpencil, Fajar Baskara, seorang pemuda multitalenta ahli pengobatan tradisional, harus menyaksikan keluarganya hancur—ayahnya lumpuh karena sabotase, dan adiknya difitnah mencuri—semuanya karena kemiskinan dan hinaan. Setiap hari, ia dihina, diremehkan oleh tetangga, dosen arogan, bahkan dokter lulusan luar negeri.
Namun, Fajar memegang satu janji membara: membuktikan bahwa orang yang paling direndahkan justru bisa melangit lebih tinggi dari siapapun.
Dari sepeda tua dan modal nekat, Fajar memulai perjuangan epik melawan pengkhianatan brutal dan diskriminasi kelas. Mampukah Fajar mengubah hinaan menjadi sayap, dan membuktikan pada dunia bahwa kerendahan hati sejati adalah kekuatan terbesar untuk meraih puncak kesuksesan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5: TIBA DI KOTA - CULTURE SHOCK
Enam jam kemudian, bus ekonomi itu akhirnya memasuki Kota Gemilang.
Fajar yang sempat tertidur karena kelelahan terbangun oleh suara klakson yang sangat bising. Ia membuka mata, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia melihat kota besar.
Gedung-gedung tinggi menjulang hingga hampir menyentuh langit. Kaca-kaca gedung itu berkilau memantulkan sinar matahari. Mobil-mobil mewah berlalu lalang di jalan raya yang sangat lebar—Mercedes, BMW, Lexus, Porsche—mobil-mobil yang hanya pernah ia lihat di TV. Orang-orang berjalan dengan pakaian rapi, branded dari kepala hingga kaki, membawa tas-tas mewah, berbicara di telepon dengan nada percaya diri.
Fajar hanya bisa terpaku menatap keluar jendela. Mulutnya terbuka sedikit, matanya berbinar takjub sekaligus... takut.
"Ini... ini Kota Gemilang," bisiknya pelan.
Desa Asri dan Kota Gemilang adalah dua dunia yang sangat berbeda. Kalau Desa Asri adalah dunia yang sederhana, tenang, dan miskin, maka Kota Gemilang adalah dunia yang glamor, sibuk, dan sangat kaya. Fajar merasa seperti alien yang mendarat di planet asing.
Bus berhenti di Terminal Bus Utara—terminal besar yang sangat ramai. Fajar turun dengan kaki gemetar. Ia mengeluarkan sepeda kakek dari bagasi, kemudian berdiri di tengah keramaian dengan tatapan bingung total.
Orang-orang berlalu lalang dengan terburu-buru, tidak ada yang memperhatikannya. Suara pengumuman dari speaker, klakson bus, orang berteriak memanggil penumpang—semuanya bercampur jadi satu menciptakan kebisingan yang membuat kepala Fajar pusing.
"Permisi, Mas. Ke Universitas Adidaya naik apa ya?" tanya Fajar pada seorang bapak-bapak yang kebetulan lewat.
Bapak itu melirik Fajar sekilas—melihat pakaiannya yang lusuh, sepeda tuanya, tas buluk—kemudian berlalu begitu saja tanpa menjawab.
"Mas... permisi Mas..." Fajar mencoba bertanya pada orang lain. Tapi hasilnya sama. Tidak ada yang mau menjawab. Beberapa malah menatapnya dengan tatapan sinis.
Fajar merasakan dadanya sesak. Ia baru sampai belasan menit, tapi sudah merasakan sesuatu yang sangat menyakitkan: diabaikan. Di desa, meskipun mereka meremehkan keluarganya, setidaknya orang-orang masih menyapa. Tapi di kota ini, ia seperti tidak terlihat. Atau lebih tepatnya, terlihat tapi tidak dianggap.
Akhirnya setelah bertanya pada tujuh orang, ada seorang ibu-ibu tua yang mau menjawab dengan ramah. "Naik TransGemilang Koridor 3, Nak. Turun di Halte Universitas. Ongkosnya lima ribu."
"Terima kasih banyak, Bu," Fajar tersenyum lega.
Ia naik bus TransGemilang dengan sepedanya—yang untungnya diperbolehkan masuk. Sepanjang perjalanan, ia tidak berhenti menatap keluar jendela. Mall besar, hotel mewah, restoran fancy, toko-toko branded—semuanya terlihat sangat mengkilap dan mahal.
Apa aku benar-benar bisa bertahan di sini? pikir Fajar dalam hati. Keraguan mulai menggerogoti.
Universitas Adidaya adalah kampus yang sangat megah. Gerbangnya besar dan mewah, dengan tulisan nama universitas yang dibuat dari stainless steel mengkilap. Gedung-gedungnya modern dengan arsitektur kontemporer. Lapangan hijau yang luas. Fasilitas olahraga yang lengkap. Parkiran penuh dengan motor dan mobil mahasiswa yang tidak murah.
Fajar berdiri di depan gerbang dengan tatapan takjub sekaligus minder. Ia mendorong sepeda tuanya masuk. Beberapa security menatapnya curiga, tapi melihat ia membawa tas dan kartu mahasiswa baru, mereka membiarkannya masuk.
Di dalam kampus, Fajar semakin merasa seperti ikan yang salah kolam. Mahasiswa-mahasiswa di sini berpakaian sangat fashionable—jeans branded, sepatu sneakers limited edition, tas ransel Herschel atau Fjallraven, bahkan banyak yang membawa laptop MacBook. Sementara Fajar? Celana jeans lusuh, kemeja yang sudah pudar, sepatu bolong, dan sepeda tua yang cat hijaunya mengelupas.
"Eh, lihat deh. Itu mahasiswa atau tukang sayur sih?" bisik seorang mahasiswi pada temannya sambil melirik Fajar.
"Mungkin mahasiswa dari program beasiswa miskin kali," jawab temannya sambil terkikik.
Fajar mendengar tapi berusaha tidak peduli. Ia mencari papan informasi untuk lokasi kos-kosan murah. Setelah mencatat beberapa alamat, ia langsung pergi mencari.
Kos-kosan pertama: ditolak.
"Maaf ya, Dek. Kos ini khusus untuk mahasiswa yang punya jaminan orang tua. Kamu punya surat jaminan?" tanya ibu pemilik kos.
"Tidak ada, Bu. Tapi saya janji akan bayar tepat waktu."
"Maaf, tidak bisa. Peraturannya begitu."
Kos-kosan kedua: ditolak.
"Wah, sepeda ini mau ditaruh di mana? Kos kita tidak ada tempat parkir sepeda. Mobilnya aja penuh, Dek."
"Saya bisa taruh di kamar, Bu."
"Kamar? Jangan bercanda. Ini kos elite, bukan gudang."
Kos-kosan ketiga: ditolak.
Ibu pemilik kos menatap Fajar dari atas hingga bawah dengan tatapan meremehkan. "Kos ini sewanya satu juta per bulan. Kamu yakin mampu?"
"Saya cari yang tiga ratus ribuan, Bu."
"Tiga ratus ribu?" Ibu itu tertawa sarkastik. "Di Kota Gemilang, tiga ratus ribu dapat kamar kecil di gang kumuh paling. Dan itu pun kalau ada yang mau terima kamu. Penampilan kamu mencurigakan, Dek. Maaf ya."
Mencurigakan. Kata itu tertancap tajam di hati Fajar.
Kos-kosan keempat, kelima, keenam, ketujuh... semuanya menolak.
Matahari sudah mulai condong ke barat. Fajar sudah mengelilingi setengah kota dengan sepeda tuanya. Kakinya pegal luar biasa. Perutnya keroncongan—ia belum makan sejak pagi, hanya minum air dari keran umum. Tapi ia tidak berani beli makanan. Uangnya hanya dua ratus ribu—harus dihemat sebaik mungkin.
Di persimpangan jalan, Fajar berhenti. Ia duduk di pinggir trotoar, menatap sepatu bolong di kakinya. Kelelahan, lapar, dan putus asa mulai menghampiri.
Mungkin Bu Darmi benar, pikir Fajar pahit. Mungkin aku memang tidak pantas ada di sini. Mungkin orang miskin seperti aku memang tidak bisa mimpi terlalu tinggi.
Tapi kemudian ia teringat wajah ibunya yang menangis. Wajah ayahnya yang menatap penuh harap. Wajah Rani yang memohon agar ia tidak menyerah.
"Tidak," gumam Fajar sambil menggeleng keras. "Aku belum boleh menyerah. Baru hari pertama. Aku belum boleh menyerah."
Ia bangkit, mendorong sepedanya lagi, mencari dengan lebih gigih.
Akhirnya, ketika hari hampir gelap, Fajar menemukan sebuah kos-kosan tua di gang sempit yang jauh dari kampus. Gang itu gelap, lembab, bau selokan sangat menyengat. Rumah-rumah di sana sangat kumuh—cat dinding mengelupas, atap bocor, sampah berserakan.
Di ujung gang, ada sebuah rumah tua dengan tulisan "KOSAN MURAH" yang dibuat dari kayu.
Fajar mengetuk pintu. Seorang ibu-ibu tua membuka pintu dengan wajah lelah.
"Ada kamar kosong, Bu?" tanya Fajar penuh harap.
Ibu itu menatap Fajar lama. "Ada. Tiga ratus ribu sebulan. Kamar ukuran dua kali tiga meter. Kamar mandi luar, bergantian sama penghuni lain. Tidak ada AC, cuma kipas angin. Kalau hujan kadang bocor. Listrik bayar sendiri. Kamu mau?"
"Mau, Bu!" jawab Fajar cepat, seolah takut ibu itu berubah pikiran.
Ibu itu mengantar Fajar ke kamar di lantai dua paling ujung. Ketika pintu dibuka, Fajar melihat kamar yang sangat kecil. Benar-benar dua kali tiga meter. Ada kasur tipis di lantai, satu bantal tanpa sarung, satu selimut lusuh, dan satu kipas angin kecil. Dinding penuh jamur, cat mengelupas di mana-mana. Jendela kecil dengan kaca retak. Atap terlihat bocor di beberapa bagian.
Tapi bagi Fajar, ini adalah istana.
"Saya ambil, Bu."
"Bayar di muka ya, Dek. Maaf, peraturan di sini begitu."
Fajar membuka amplop cokelat pemberian ibunya dengan tangan gemetar. Ia mengeluarkan tiga lembar uang seratus ribu—setengah dari tabungan ibunya selama dua tahun. Ia menyerahkannya pada ibu pemilik kos dengan perasaan sangat berat.
"Terima kasih, Bu."
Setelah ibu itu pergi, Fajar menutup pintu kamar. Ia berdiri di tengah ruangan sempit itu, menatap sekeliling. Kemudian ia jatuh terduduk di lantai.
Sendirian. Di kota asing. Di kamar sempit yang bau apek. Dengan uang tinggal seratus ribu rupiah. Tidak kenal siapa-siapa.
Fajar memeluk lututnya, menundukkan kepalanya.
Dan ia menangis.
Menangis sejadi-jadinya.
"Ibu... Ayah... Rani..." bisiknya di antara isak tangis. "Aku kangen kalian. Aku takut. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan."
Tapi tidak ada yang menjawab. Hanya dinding-dinding berjamur yang menatapnya dingin.
lama" ngeselin fajar.
kok demi hemat fajar ga bawa sepeda ke kampus?
kalaw jalan kaki bukan nya hemat malah lebih boros di waktu dan tenaga.