Ayla, pegawai biasa yang diangkat menjadi resepsionis di perusahaan terkenal, terpaksa menjadi wanita malam demi biaya pengobatan adiknya. Di malam pertamanya, ia harus melayani pria yang tak disangka—bosnya sendiri. Berbeda penampilan, sang CEO tak mengenalinya, tapi justru terobsesi. Saat hidup Ayla mulai membaik dan ia berhenti dari pekerjaan gelapnya, sang bos justru terus mencari wanita misterius yang pernah bersamanya—tanpa tahu wanita itu ada di dekatnya setiap hari. Namun, skandal tersebut juga mengakibatkan Hana hamil anak bosnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lestari sipayung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tanda Lahir Di Tangan
“Ada apa, Pak?” tanya Ayla dengan suara setenang mungkin, meski jantungnya berdebar begitu kencang. Ia berdiri di depan meja kerja Leo, menatap pria itu yang kini duduk angkuh di kursi hitam berlapis kulit.
Leo menatapnya tajam dari balik meja, pandangan selidiknya menembus seperti ingin menguliti identitas Ayla. Tatapannya dingin, dalam, nyaris tak berkedip. Seakan Leo sedang menghubungkan sesuatu di pikirannya.
Ruangan itu sunyi. Begitu sunyi sampai-sampai suara mesin AC terdengar jelas, mengalirkan hawa dingin yang justru membuat suasana semakin mencekam. Tidak ada suara lain. Tidak ada gerakan lain. Hanya Leo yang diam menatap, dan Ayla yang berdiri gelisah di tempatnya, menunduk sedikit.
Kegugupan menjalari tubuh Ayla perlahan namun pasti. Tenggorokannya terasa kering. Napasnya berusaha ia atur agar tetap stabil. Tapi itu tak mudah, terlebih dengan kenyataan bahwa pria di hadapannya adalah sosok yang sama dengan pria di ranjang semalam—pria yang mengoyak habis kewarasannya, bahkan saat dirinya berusaha menyamarkan wajahnya dengan topeng.
Ayla menggigit bibir bawahnya, berusaha meredam gelisah yang meledak di dadanya. ‘Apakah dia mengenaliku? Apa dia tahu aku wanita semalam?’ pikir Ayla panik dalam diam.
Leo masih belum bersuara. Ia hanya duduk di kursinya, satu tangan menyangga dagu, sementara tatapannya tak lepas dari Ayla. Matanya seolah sedang menilai sesuatu. Mencari celah.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, Leo akhirnya menghela napas pelan. Tarikan napasnya panjang, diikuti dengan hembusan lembut namun berat, seakan menandai berakhirnya keheningan.
"Saya mau pekerjaanmu lebih luas. Kamu harus mengatur semua agenda pertemuan dan juga siapa yang akan bertemu dengan saya," ujar Leo, tegas dan dingin.
Ayla hanya mengangguk pelan, tak berani sedikit pun menatap langsung ke arah mata tajam bosnya yang selalu tampak menekan dan mengintimidasi.
"Biasakan untuk menatap seseorang saat dia berbicara denganmu!" tekan Leo lagi. Ayla pun sontak mengangkat kepalanya dengan cepat, memaksa dirinya untuk menatap wajah tegas dengan rahang yang kokoh itu.
Deg.
Tatapan pria itu sangat menusuk—tajam dan menggetarkan nyali.
"Baik, Pak," sahutnya dengan suara lantang, mencoba menyesuaikan diri meskipun hatinya terasa gugup bukan main.
"Baiklah, bacakan agenda saya hari ini. Siapa yang ingin menemui saya?" ucap Leo kemudian, sembari menyandarkan kepala santai di sandaran kursinya, memejamkan mata sejenak. Ia bersiap menjalani hari kerja dengan ritme biasanya.
Tanpa menunda, Ayla segera membuka berkas putih yang memang khusus berisi daftar agenda pertemuan hari itu. Namun, karena gugup, tangannya gemetar dan berkas itu terjatuh ke lantai, membuat suara kecil namun cukup menarik perhatian.
Leo membuka kembali matanya, sekilas terkejut, tapi tetap tak menunjukkan emosi berarti.
Ayla buru-buru berjongkok, memunguti kertas-kertas yang jatuh sambil menunduk. Saat itu, sinar matahari menembus dari jendela kaca transparan yang besar, menerpa tubuhnya. Cahaya itu membuat Ayla tampak bersinar dalam balutan cahaya pagi, begitu mencolok dalam pandangan Leo.
Tanpa sengaja, Leo menangkap pandangan pada tangan Ayla. Ada tanda lahir kecil di sela jari telunjuknya. Tiba-tiba, ada sesuatu dalam benaknya yang seperti berusaha muncul ke permukaan. Tangan itu... tanda itu... sepertinya ia pernah melihatnya.
Namun, sebelum ia sempat mengingat lebih jauh, Ayla sudah berdiri kembali. Ia selesai memungut berkas dan merapikannya. Lalu bersiap membacakan isi agendanya.
"Hari ini hanya ada dua pertemuan, Pak. Pertama, Tuan Hido ingin bertemu tanpa membuat janji, lalu yang kedua adalah meeting dengan kolega dari Blue Group, sesuai yang sudah dijadwalkan sebelumnya," jelas Ayla, fokus membaca dan mencoba tak terbawa suasana.
Leo mengangguk singkat. Meski terlihat tenang, pikirannya masih sedikit terganggu oleh tanda lahir yang sempat ia lihat tadi.
"Baik, kembali ke tempatmu!" ujarnya tegas, memberi aba-aba bahwa pembicaraan sudah selesai. Ayla langsung memberi hormat singkat dan bergegas menuju pintu.
Namun belum sempat ia melangkah keluar, Leo kembali memanggil.
"Saya mau kopi. Buatkan segera!" perintahnya dingin, tanpa menatap Ayla dan fokus kembali pada layar komputer di hadapannya.
Ayla kembali mengangguk sopan, lalu keluar ruangan dengan langkah tergesa. Namun, begitu pintu tertutup, wajahnya berubah kesal. Ia menggerutu pelan dan mengumpat dalam hati.
Orang seperti Leo memang biasa memperlakukan orang lain dengan semena-mena, pikirnya. Tapi tetap saja, baginya Leo jauh lebih angkuh dan kejam daripada orang kaya yang pernah ia temui sebelumnya.