NovelToon NovelToon
Silent Crack

Silent Crack

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Obsesi / Beda Usia / Romantis
Popularitas:454
Nilai: 5
Nama Author: Penulismalam4

Romance psychological, domestic tension, obsessive love, slow-burn gelap

Lauren Hermasyah hidup dalam pernikahan yang perlahan kehilangan hangatnya. Suaminya semakin jauh, hingga sebuah sore mengungkapkan kebenaran yang mematahkan hatinya: ia telah digantikan oleh wanita lain.

Di saat Lauren goyah, Asher—tetangganya yang jauh lebih muda—selalu muncul. Terlalu tepat. Terlalu sering. Terlalu memperhatikan. Apa yang awalnya tampak seperti kepedulian berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap, lebih intens, lebih sulit dihindari.

Ketika rumah tangga Lauren runtuh, Asher menolak pergi.
Dan Lauren harus memilih: bertahan dalam kebohongan, atau menghadapi perhatian seseorang yang melihat semua retakan… dan ingin mengisinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penulismalam4, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

14_Lebih lembut namun dingin.

Lauren mematikan keran air dengan putaran pelan. Suara aliran air berhenti, menyisakan kesunyian yang tiba-tiba terasa berat di telinga. Ia menaruh spons ke tepi wastafel, mengelap tangannya dengan lap dapur, lalu—tanpa peringatan—rasa nyeri itu datang.

Pelan, lalu menekan.

Lauren refleks memegang perutnya, tepat di bawah tulang rusuk, jemarinya menekan kain baju rumah seolah bisa menahan sesuatu yang bergolak di dalam. Ia menunduk sedikit, napasnya tertahan.

“Kram lagi…” gumamnya lirih.

Ini bukan pertama kalinya.

Ia bersandar pada meja dapur, menunggu rasa sakit itu mereda. Namun malam ini berbeda. Nyeri itu tidak sekadar datang dan pergi—ia menetap, berdenyut, seperti pengingat yang terlalu lama diabaikan.

Lauren menutup mata.

Tubuhnya selalu lebih jujur daripada pikirannya.

Setiap kali tekanan datang—setiap kali ia menelan perasaan, berpura-pura baik-baik saja, tersenyum ketika dadanya sesak—tubuhnya yang lebih dulu bereaksi. Perutnya menegang. Napasnya memendek. Seolah ada bagian dalam dirinya yang berkata, cukup.

Ia menarik kursi dapur dan duduk perlahan. Kakinya terasa lemas. Ia menunduk, memeluk perutnya, menunggu gelombang itu berlalu.

Dari lantai atas, suara langkah Arga terdengar samar. Pintu kamar terbuka. Tertutup lagi. Tidak ada yang memanggil namanya.

Lauren membuka mata, menatap lantai.

Dulu, setiap kali ia sakit, Arga akan muncul tanpa diminta. Membawakan air hangat, menanyakan keadaannya dengan alis berkerut khawatir. Dulu.

Sekarang, ia bahkan tidak yakin Arga menyadari ia belum naik ke kamar.

Rasa nyeri itu memuncak, lalu perlahan surut, meninggalkan sisa perih yang membuat tubuhnya lelah. Lauren menghembuskan napas panjang, bahunya turun seolah baru saja melepaskan beban berat.

Ia bangkit, berjalan pelan menuju lemari obat. Tangannya sedikit gemetar saat mengambil obat pereda nyeri. Ia menelan pil itu dengan segelas air, lalu berdiri diam beberapa saat, menunggu.

Pikirannya berkelana tanpa ia minta.

Tentang hari-hari yang dipenuhi diam.

Tentang makan malam tanpa tanya.

Tentang sentuhan yang tak lagi ada.

Dan—tanpa bisa dicegah—tentang Asher.

Tentang caranya menahan tangan Lauren dengan hati-hati saat mengompres lukanya. Tentang tatapan itu—bukan menuntut, bukan menilai. Hanya ada. Kehadiran yang sederhana, namun terasa asing karena sudah lama tak ia rasakan.

Lauren menggeleng pelan.

“Jangan,” bisiknya pada diri sendiri.

Ia menekan perutnya lagi, kali ini bukan karena nyeri, melainkan karena perasaan bersalah yang ikut menumpuk. Ia istri seseorang. Ia tidak seharusnya merasa nyaman pada kehadiran orang lain.

Namun tubuhnya tidak berbohong.

Kram itu selalu muncul bukan saat ia marah, bukan saat ia menangis—melainkan saat ia menahan terlalu banyak hal sendirian.

Lauren melangkah ke ruang tamu, duduk di sofa. Lampu dibiarkan mati, hanya cahaya dari dapur yang menyusup samar. Ia menyandarkan kepala, memejamkan mata.

Untuk sesaat, ia membiarkan dirinya rapuh.

Tidak menangis. Tidak berpikir. Hanya bernapas.

Ia menyadari sesuatu yang membuat dadanya menghangat sekaligus perih: selama ini, ia begitu sibuk menjaga rumah, menjaga pernikahan, menjaga perasaan orang lain—hingga lupa mendengarkan tubuhnya sendiri.

Dan kini, tubuh itu memaksa didengar.

Lauren membuka mata perlahan. Rasa sakitnya mulai mereda, tapi kelelahan tertinggal. Ia bangkit, mematikan lampu dapur, lalu berjalan naik ke kamar dengan langkah pelan.

Di atas ranjang, Arga sudah tertidur, memunggunginya.

Lauren naik ke sisi tempat tidur, berbaring perlahan, memunggungi Arga seperti malam-malam sebelumnya. Ia memeluk bantal, menahan sisa nyeri yang kini berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam—rasa lelah yang tidak bisa disembuhkan dengan obat.

Malam itu, Lauren akhirnya mengerti:

bukan hanya pernikahannya yang sedang sakit.

Ia juga.

***

Pagi datang tanpa suara.

Lauren terbangun seperti biasa—perlahan, dengan sisa lelah yang masih bersarang di tubuhnya. Cahaya matahari menyelinap melalui celah tirai, hangat di kelopak matanya. Ia mengedip, lalu membuka mata sepenuhnya.

Dan terdiam.

Arga masih di sana.

Berbaring di sisi ranjang, menghadapnya. Matanya sudah terbuka, menatap Lauren dengan ekspresi yang sulit dibaca—bukan dingin, bukan hangat. Hanya… penuh pikiran.

Lauren refleks menahan napas.

Ini jarang terjadi. Terlalu jarang. Biasanya ia terbangun sendirian, dengan ranjang yang sudah dingin dan sisi Arga yang kosong. Pemandangan ini terasa asing, hampir seperti kilasan masa lalu yang tiba-tiba muncul kembali.

“Kamu sudah bangun?” suara Lauren pelan, sedikit serak karena tidur.

“Iya,” jawab Arga singkat.

Mereka saling menatap dalam diam.

Lauren merasakan sesuatu mengencang di dadanya. Ada rasa canggung yang aneh—seperti dua orang asing yang terbangun di tempat yang sama. Ia menarik selimut sedikit lebih tinggi, bukan karena dingin, melainkan karena tak tahu harus bersikap bagaimana.

Arga memalingkan pandangan lebih dulu, menatap langit-langit kamar.

“Kamu kelihatan pucat,” katanya akhirnya.

Lauren terkejut kecil. Ia tidak menyangka Arga memperhatikan.

“Sedikit capek saja,” jawabnya cepat, senyum kecil terukir otomatis.

Arga mengangguk pelan. Tangannya bergerak, menumpu di kasur, seolah ingin bangun—namun ia berhenti. Ia menoleh lagi, menatap Lauren, kali ini lebih lama.

“Kemarin… kamu lama di bawah,” katanya hati-hati.

Lauren menegang tanpa sadar.

“Oh,” katanya singkat. “Aku beresin dapur.”

Arga tidak langsung menanggapi. Ada jeda di antara mereka—jeda yang dipenuhi kata-kata yang tidak diucapkan. Lauren bisa merasakannya, seperti udara yang menekan paru-parunya.

“Kalau capek, bilang,” ucap Arga akhirnya.

Kalimat itu terdengar sederhana. Terlambat. Namun tetap saja, Lauren merasakan sesuatu bergetar pelan di dalam dirinya.

“Iya,” jawabnya pelan.

Mereka kembali terdiam.

Lauren memalingkan wajah, menatap meja kecil di samping ranjang. Jam menunjukkan pukul 06.12 WIB. Pagi masih muda, namun perasaan di antara mereka terasa terlalu berat untuk waktu sepagi ini.

Ia ingat rasa sakit di perutnya semalam. Ingat bagaimana ia duduk sendiri di dapur, menelan obat tanpa ada yang tahu. Ingat betapa tubuhnya menggigil bukan karena dingin, melainkan karena lelah menahan segalanya.

Dan kini, Arga ada di sini. Terjaga. Menatapnya.

“Kamu mau sarapan?” tanya Lauren akhirnya, memecah keheningan.

“Iya,” jawab Arga. “Kalau sempat.”

Kalau sempat.

Lauren mengangguk, lalu perlahan bangkit dari tempat tidur. Gerakannya hati-hati, perutnya masih terasa sedikit perih. Saat kakinya menyentuh lantai, ia menarik napas dalam-dalam, menegakkan bahu.

Rutinitas. Ia selalu kembali ke sana.

Namun sebelum ia melangkah menuju kamar mandi, suara Arga menghentikannya.

“Lauren.”

Ia menoleh.

Arga duduk di tepi ranjang, menatapnya dengan ekspresi yang berbeda—lebih lembut, namun juga lebih serius.

“Kemarin… kamu baik-baik saja?” tanyanya.

Pertanyaan itu sederhana. Terlalu sederhana untuk semua yang ingin ia jawab.

Lauren menatap suaminya selama beberapa detik. Ada begitu banyak jawaban di kepalanya—tidak, aku lelah, aku sakit, aku kesepian. Namun yang keluar dari bibirnya tetaplah yang paling aman.

“Baik,” katanya pelan. “Aku baik-baik saja.”

Arga menatapnya sejenak, seolah ingin mengatakan sesuatu lagi. Namun akhirnya ia hanya mengangguk.

“Oke.”

Lauren membalas anggukan itu, lalu melangkah pergi ke kamar mandi. Pintu tertutup pelan di belakangnya.

Di depan cermin, ia menatap pantulan dirinya sendiri. Mata yang sedikit sembab. Wajah yang tampak lebih tua dari usianya. Ia menempelkan telapak tangan ke perutnya, merasakan denyut yang masih ada—pengingat bahwa tubuhnya belum sepenuhnya pulih.

Lauren menghela napas panjang.

Pagi itu berbeda.

Bukan karena Arga masih di sisinya saat ia terbangun,

melainkan karena untuk pertama kalinya, ia sadar—

jarak di antara mereka bukan lagi sekadar soal waktu pulang,

melainkan tentang berapa banyak hal yang tak lagi bisa ia ceritakan.

Dan entah kenapa, kesadaran itu terasa lebih menyakitkan

daripada kram di perutnya semalam.

1
Mao Sama
Apa aku yang nggak terbiasa baca deskripsi panjang ya?🤭. Bagus ini. Cuman—pembaca novel aksi macam aku nggak bisa terlalu menghayati keindahan diksimu.

Anyway, semangat Kak.👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!