Novel ini akan mengisahkan tentang perjuangan Lucas Alarik yang menunggu sang kekasih untuk pulang kepelukannya. Mereka berjarak terhalang begitulah sampai mungkin Lucas sudah mulai ragu dengan cintanya.
Akankah Mereka bertemu kembali dengan rasa yang sama atau malah asing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lee_jmjnfxjk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27.Di Meja yang Sama
Kafe itu tetap ramai.
Cangkir-cangkir berdenting pelan, mesin kopi mendesis, dan obrolan orang-orang bercampur jadi satu dengungan konstan. Di meja mereka, makanan masih tersaji rapi—belum tersentuh semua.
Gio duduk tegak, kedua tangannya terlipat di pangkuan, punggungnya sedikit kaku. Danu duduk di seberangnya, sementara Athaya dan Lucas baru saja berdiri, memberi alasan untuk menerima panggilan penting di luar.
Meja itu menyisakan mereka berdua.
Dan keheningan yang terasa terlalu berat.
“Kenapa lo gak bilang?” tanya Danu akhirnya, suaranya ditahan rendah, sopan—tapi ada sesuatu yang bergetar di ujungnya.
Gio tidak langsung menjawab. Matanya justru tertuju pada piring di depan Danu. Makanan hangat itu masih mengepul tipis, aromanya samar tapi cukup menusuk.
Ia menelan ludah.
“Bilang apa?” balas Gio singkat.
Danu menghela napas, bersandar sedikit ke belakang kursinya. “Apa pun. Kenapa lo menjauh. Kenapa lo berubah. Kenapa—”
“Apa semua hal harus gw jelasin ke lo?” potong Gio.
Nada suaranya tajam, tapi bukan marah. Lebih seperti kelelahan yang sudah terlalu lama dipendam.
Danu terdiam sejenak. “Gw cuma pengen ngerti.”
Aroma makanan itu kembali menyerang—lebih kuat sekarang. Gio meremas ujung coat-nya di bawah meja, mencoba bernapas pelan.
“Gw gak minta lo ngerti,” katanya. “Gw minta lo berhenti nanya.”
Danu menatapnya, alisnya berkerut. “Sejak kapan?”
Sejak hari itu, Gio ingin menjawab. Sejak semuanya berubah. Tapi yang keluar hanya helaan napas panjang.
“Sejak sekarang.”
Danu menggeleng kecil, senyum pahit muncul sekilas. “Lo tau, gw gak pernah ninggalin lo.”
Dan entah kenapa, kalimat itu justru membuat dada Gio sesak.
“Justru itu,” ucap Gio lirih. “Lo selalu ada, dan gw—gw gak tau harus ngapain sama itu.”
Danu membuka mulut, tapi Gio tiba-tiba menutupnya lagi dengan tangan. Wajahnya memucat. Kafe yang tadinya terasa hangat mendadak sempit.
Mual itu datang.
Ia menunduk, bahunya naik turun. “Danu… baunya…”
Danu langsung berdiri sedikit dari kursinya. “Gio? Kenapa?”
Gio menggeleng, menekan dadanya. “Terlalu… kuat.”
Ia berdiri terlalu cepat. Kursinya bergeser keras, menarik perhatian beberapa orang. Gio menunduk, tangannya menutup mulut, tubuhnya condong ke depan.
Ia muntah.
Tidak banyak—tapi cukup membuat kepalanya berputar dan pandangannya buram.
Danu reflek menopang meja, ragu untuk menyentuh, tapi akhirnya tetap mendekat. “Maaf. Gw—gw harusnya gak pesen ini.”
Gio mengusap mulut dengan tisu, tangannya gemetar. “Bukan salah lo.”
“Tapi ini karena gw,” desak Danu.
Gio menatapnya—tatapan lelah, basah, dan penuh sesuatu yang tidak bisa diucapkan.
“Kenapa lo selalu mikir semua hal itu tentang lo?” katanya pelan, tapi menusuk. “Kadang… gw cuma pengen diem.”
Danu mundur satu langkah, kembali duduk perlahan. “Kalau gw diem, lo makin jauh.”
Gio ikut duduk kembali, tapi tubuhnya jelas tidak nyaman. Tangannya turun ke perutnya tanpa sadar, mengusap pelan di balik meja.
“Gw capek,” ucapnya jujur. “Capek sama badan gw sendiri. Capek ditanya. Capek harus kuat terus.”
Danu menatap gerakan tangan itu. Lama. Terlalu lama.
“Ada sesuatu yang lo sembunyiin,” katanya akhirnya.
Gio mengangkat wajahnya cepat. “Gak semua hal harus lo tau.”
Keheningan kembali jatuh.
Danu tersenyum tipis—senyum yang lebih mirip menyerah. “Gw gak bakal paksa.”
Ia berdiri, meraih jaketnya. “Tapi gw juga gak bakal berhenti peduli.”
Gio tidak menahannya.
Saat Danu berjalan menjauh, kafe kembali terasa normal. Terlalu normal.
Gio menghela napas panjang, tangannya masih di perutnya.
“Sedikit lagi,” bisiknya lirih. “Tolong… sedikit lagi.”
Dan dunia tetap berjalan, seolah tidak ada apa pun yang sedang runtuh di meja kecil itu.
-bersambung-