••GARIS TAKDIR RAYA••
Kehidupan Raya Calista Maharani penuh luka. Dibesarkan dalam kemiskinan, dia menghadapi kebencian keluarga, penghinaan teman, dan pengkhianatan cinta. Namun, nasibnya berubah saat Liu, seorang wanita terpandang, menjodohkannya dengan sang putra, Raden Ryan Andriano Eza Sudradjat.
Harapan Raya untuk bahagia sirna ketika Ryan menolak kehadirannya. Kehidupan sebagai nyonya muda keluarga Sudradjat justru membawa lebih banyak cobaan. Dengan sifat Ryan yang keras dan pemarah, Raya seringkali dihadapkan pada pilihan sulit: bertahan atau menyerah.
Sanggupkah Raya menemukan kebahagiaan di tengah badai takdir yang tak kunjung reda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17: Sikap Nekat Arka
Sementara itu, di dalam kamar pribadi Arka, suasana terasa mencekam. Raya berdiri di dekat pintu, matanya memancarkan kemarahan yang sulit dikendalikan. Napasnya memburu, seolah seluruh emosi yang dia pendam selama ini telah mencapai puncaknya. Dia mengarahkan pandangannya yang tajam ke arah Arka, yang dengan tenang bersandar di dinding dekat jendela, menatapnya tanpa sedikit pun rasa bersalah.
"Apa yang kau lakukan? 'Calon istri' apa maksudmu, hah?!" bentak Raya, suaranya melengking, memecahkan kesunyian. Ini pertama kalinya dia berbicara dengan nada setinggi itu kepada Arka, pria yang selama ini dia coba hormati meski dengan penuh keterpaksaan. Arka melangkah pelan ke arahnya, wajahnya datar, tanpa ekspresi yang berarti.
" "Do you dare to talk to me like that? , (*Lo berani naikin nada bicara lo sama gue*?)" katanya dengan nada dingin, memperlihatkan sisi otoriter yang selama ini menjadi ciri khasnya.
"Kenapa tidak, kak?! Kali ini kamu sudah keterlaluan! Untuk apa kamu melakukan semua ini padaku? Belum cukupkah semua yang kau lakukan selama ini?!" Raya membalas, matanya mulai memerah. Tangannya mengepal, mencoba menahan luapan emosinya, tetapi jelas terlihat dia sudah di ambang batas kesabaran. Arka mendekat, langkahnya tenang, namun penuh tekanan.
"Mau nggak mau, lo harus nikah sama gue. Di sini gue yang berhak ngatur apapun tentang lo," ucapnya dingin, membuat Raya semakin geram.
"Aku tidak mau menikah denganmu! Terserah jika kakak ingin mengeluarkan ku dari kampus, lakukanlah! Aku tidak peduli! Tapi satu hal yang perlu kakak ingat, aku tidak akan pernah sudi menjadi istrimu, sampai kapan pun!!" Raya berteriak, nadanya penuh ketegasan. Air matanya mengalir, tetapi dia tidak peduli. Kali ini, dia ingin menunjukkan bahwa dia tidak akan membiarkan Arka mempermainkannya lagi. Arka menyeringai kecil, mengangkat alisnya dengan santai.
"Memangnya gue kasih lo pilihan buat milih, hah?" tanyanya, tetap dengan nada dinginnya, seolah menikmati setiap detik dari kemarahan Raya.
Raya menggeleng, tubuhnya gemetar menahan amarah dan rasa takut. Sebenarnya dia merasa takut pada arka tapi dia juga tidak bisa diam saja , karena menurut nya semua yang telah Arka lakukan benar - benar keterlaluan.
"Aku sudah melakukan semua hukuman yang kamu berikan waktu di villa itu. Aku sudah menguras kolam renang seperti yang kamu suruh! Lalu kenapa kamu masih membawaku ke dalam masalah ini? Apa yang menarik dariku? Aku tidak kaya, tidak cantik! Kenapa harus aku, kak?! Ada banyak wanita lain yang jauh lebih pantas untuk kamu jadikan istri palsu!" suaranya pecah, tetapi matanya tetap menatap Arka tanpa rasa gentar. Arka terdiam sejenak, matanya menatap Raya dengan intens.
"Itu pilihan gue. Lagi pula, apa susahnya buat pura-pura jadi istri gue? Setelah nikah sama gue, lo bakal dapat kehormatan, tahta, dan kehidupan yang jauh lebih baik dari sekarang," ucapnya, suaranya sarat dengan ego dan keangkuhan.
"Aku tidak butuh itu! Biarkan aku pergi!" pinta Raya, suaranya mulai melemah. Ada nada putus asa dalam ucapannya, seolah dia sudah benar-benar lelah menghadapi pria ini. Arka mendekat, tatapannya semakin tajam.
"Enggak. Lo setuju atau nggak, semuanya bakal terjadi sesuai keinginan gue," ucapnya, penuh keyakinan.
"Terserah! Tapi aku tidak akan pernah sudi ikut dalam permainan gilamu ini! Silakan bodohi keluargamu, tapi jangan libatkan aku dalam kebohongan ini!" Raya melangkah cepat, mencoba melewati Arka untuk keluar dari kamar itu. Namun, langkahnya terhenti ketika tangan Arka dengan cepat menarik pergelangan tangannya dengan kasar.
"Oke, kalau lo nggak mau negosiasi, gue nggak punya pilihan lain," ujar Arka dengan nada rendah yang terdengar berbahaya. Dalam sekejap, Raya merasa tubuhnya ditarik dengan kasar dan dijatuhkan ke atas tempat tidur. Matanya membelalak, tubuhnya berusaha melawan, tetapi tenaga Arka terlalu kuat.
"APA YANG KAU LAKUKAN?!" teriak Raya, suaranya penuh dengan rasa panik dan ketakutan. Arka, yang kini berada di atas tubuhnya, hanya tersenyum dingin. Senyuman itu membuat Raya merasa seolah terjebak dalam situasi yang tidak pernah dia bayangkan.
"Mari lakukan ini, atau gue bakal bikin lo nggak punya pilihan lain lagi," bisiknya sambil mengusap pahanya yang terbuka karena dress pendek yang dia kenakan. Sentuhannya terasa dingin dan mengancam.
"Apa yang kau lakukan, kak?! Lepaskan aku! Jangan macam-macam!!" Raya berteriak, tubuhnya memberontak sekuat tenaga. Tetapi semakin dia melawan, semakin erat cengkeraman Arka, seolah dia menikmati ketakutan yang terpancar dari mata Raya.
"Bayi adalah jalan terakhir ketika permintaan ditolak, itu benar kan ?," ujar Arka dengan tangan yang mulai bergerak tidak karuan di paha Raya.
"Tolong .... Siapa pun tolong ak.... " Teriak Raya namun ucapan nya itu harus terpotong karena Arka mencengkram dagunya.
"Silahkan teriak , gaakan ada sesiapa pun yang bakal denger teriakan Lo itu , kamar ini kedap suara Raya " ujar Arka dengan tawa renyah nya, hal itu membuat Raya semakin tersudut.
"Tolong jangan sentuh aku, aku tidak mau melakukan itu ... Siapapun tolong aku.." ujar Raya sembari terus berteriak -teriak meminta tolong, namun semua itu percuma.
" Tidak kak .. aku mohon jangan ! " ujar Raya berusaha menepis jari - jari tangan Arka , yang benar benar sudah hampir menyentuh area terlarang nya.
" Kak... Aku mohon jangan .. hiksh... Hiksh... Jangan..." Tangis Raya tidak terbendung lagi saat merasakan apa yang Arka lakukan padanya sekarang.
"Telat ... Gue udah kasih Lo pilihan sedari tadi, tapi Lo terus batu gak mau dengerin ucapan gue ! " Ujar Arka lagi, pria itu terus melancarkan aksinya tanpa perduli pada Raya yang terus memberontak sekuat tenaga.
"Akhhhh...... Kak aku mohon jangan lakukan ini , aku tidak mau .. tolong.. kak ..." ujar Raya lagi saat jari tangan Arka terus bermain di dekat area terlarang nya, yang hanya di batasi oleh CD nya.
" Diamlah ... Nikmati saja semua nya " ujar Arka , sembari menarik turun kain segitiga yang menutupi aset milik Raya , dari niat nya hanya menggertak raya supaya dia takut , ternyata Arka malah terbawa oleh nafsu nya sendiri.
Namun, sebelum Arka sempat melanjutkan niatannya, Raya berhasil mengumpulkan keberanian untuk berontak. Dengan sekuat tenaga, dia menendang tubuh Arka hingga pria itu tersungkur ke samping ranjang. Tanpa berpikir panjang, Raya bangkit dan berlari menuju pintu, tubuhnya gemetar hebat. Napasnya tersengal-sengal, dan dia terus menggedor pintu dengan harapan ada seseorang di luar sana yang mendengarnya.
“Buka pintunya! Siapapun, tolong aku! Aku takut di sini… Tolong aku! Kumohon, siapapun!” teriak Raya, tangisnya pecah di tengah usahanya. Suara gedorannya semakin keras, tetapi harapan itu pupus ketika Arka dengan langkah cepat mendekatinya.
Arka menarik tubuhnya dengan kasar, menggenggam lengan Raya hingga terasa sakit. Dia menyeret wanita itu kembali ke arah ranjang, seperti predator yang takkan membiarkan mangsanya kabur. Raya meronta, mencoba melepaskan cengkeraman Arka, namun pria itu jauh lebih kuat.
“Lepaskan aku! Jangan lakukan ini!” jerit Raya, matanya membulat penuh ketakutan. Tapi Arka tak menunjukkan tanda-tanda iba. Wajahnya tetap dingin, bahkan dengan senyum miring yang menghantui.
Arka berjalan santai ke arah Raya yang kini terduduk di sudut ranjang, tubuhnya semakin gemetar. Wajahnya basah oleh air mata, namun pandangan Arka tetap tajam, seperti singa yang siap menerkam. Raya mencoba mundur, tetapi tak ada ruang lagi untuk bersembunyi.
“Kak... kumohon, jangan lakukan itu,” *isaknya. Tangannya meremas ujung dress yang telah kusut* “Baiklah, aku akan menurut padamu... Aku akan melakukan apa yang kau mau, tapi jangan sentuh aku. Tolong jangan sentuh aku, Kak! Aku mohon...” Suaranya semakin kecil, tercekik oleh rasa takut yang tak tertahankan. Arka mendekat, tangannya menyentuh pinggiran ranjang, membingkai tubuh Raya yang terus meringkuk. Wajah pria itu menunduk, mendekatkan pandangannya ke wajah Raya.
“Kenapa, Raya? Lo takut? Di mana keberanian yang Lo tunjukkan sama gue tadi? , kenapa belum apa-apa udah nangis?,” bisiknya dengan nada rendah yang dingin, menggema di kepala Raya. Mata pria itu seperti tak menyisakan ruang untuk simpati.
Raya hanya mengangguk dan menggeleng seolah bingung harus menjawab apa, tangisnya pecah tanpa bisa ia tahan lagi. Air matanya membasahi pipi, suara isakannya terdengar memohon. Tubuhnya merosot hingga punggungnya menyentuh headbord di belakang nya .
“Tolong, Kak... Jangan lakukan ini... Aku mohon, jangann....” Isak Raya yang tidak dapat menyembunyikan rasa takut nya . Namun, Arka justru mengangkat sebelah alisnya, seperti menikmati pemandangan itu.
"Takut sama gue, ya?" tanyanya lagi, nada suaranya berubah menjadi mengejek. Wajah Raya kini menatapnya dengan ekspresi campuran antara ketakutan dan keputusasaan.
Di saat seperti itu, ruangan terasa semakin sempit. Detak jantung Raya bergema kencang di telinganya, menyelimuti keheningan mencekam yang ada di antara mereka. Arka terus mendekat, tanpa ada sedikit pun niatan untuk mundur. Raya menatap ke arah pintu, berharap keajaiban datang, meski tahu betul sepertinya tak ada seorang pun yang akan menyelamatkannya.
"Tidak... Jangan, kak." ...