Theresa Coldwell adalah ratu tak tertandingi di sekolahnya—lidahnya tajam, kepercayaan dirinya tak tergoyahkan. Tak ada yang berani menantangnya… sampai Adrien Valmont datang. Santai, tak terpengaruh, dan sama pintarnya, dia membalas sarkasme Theresa dengan komentar tajam tanpa ekspresi, membuat setiap pertemuan mereka jadi ajang adu kecerdasan dan ego. Dari debat di kelas hingga persaingan di seluruh sekolah, ketegangan di antara mereka semakin terasa. Tapi ketika sesuatu yang tak terduga mengancam untuk memisahkan mereka, akankah mereka akhirnya menurunkan ego masing-masing, atau justru terjebak dalam perang kata-kata yang tak berujung?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwiki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perang Sudah Berakhir (atau Belum?)
Theresa Coldwell bukan tipe orang yang mudah gugup.
Dia bukan gadis yang akan memerah seperti tokoh utama lemah dalam novel roman.
Tapi—
“Kamu menciumnya,” ulang Colette untuk yang keenam kalinya.
Theresa, yang sekarang sedang tergeletak dramatis di sofa ruang OSIS, mengerang ke dalam bantal.
“Itu adalah langkah strategis,” katanya, suaranya teredam.
Colette menyilangkan tangan. “Strategis. Oke. Karena mencium seorang cowok yang baru saja menyatakan perasaannya di depan seluruh sekolah jelas merupakan keputusan taktis.”
Theresa bangkit duduk, menyibakkan rambut putihnya dengan anggun. “Tentu saja. Itu momen skakmat. Kamu nggak akan paham.”
Colette menaikkan alis. “Lalu, apa yang dikatakan ‘lawan yang sudah diskakmat’ itu?”
Theresa terdiam.
Karena kenyataannya…
Adrien Valmont tidak mengatakan apa-apa.
Dia hanya menyeringai, berbisik sesuatu yang sangat menyebalkan di bibirnya—
Lalu pergi begitu saja.
Lagi.
Theresa mengerutkan dahi saat mengingatnya.
Dasar makhluk menyebalkan.
“Aku nggak tahu,” akhirnya dia mengaku. “Tapi aku berniat mencari tahu.”
Adrien Valmont duduk sendirian di perpustakaan, tampak santai seperti biasa, membalik halaman novel tebal seolah dia tidak baru saja mengubah seluruh sekolah menjadi panggung drama.
Theresa menemukannya dalam sekejap.
Karena tentu saja dia bersembunyi di sini.
Dengan langkah penuh tekad, Theresa mendekati mejanya, tangannya bertolak pinggang.
Adrien bahkan tidak melirik.
“Kamu telat,” gumamnya.
Theresa menyipitkan mata. “Apa?”
“Aku mengira kamu bakal menemukanku dua puluh menit yang lalu.” Dia akhirnya menatapnya, mata emas-hazel itu berkilat penuh hiburan. “Kamu mulai kehilangan ketajaman, Coldwell.”
Theresa membanting tangannya ke meja. “Kamu menyatakan perasaan di depan seluruh sekolah. Aku mencium kamu. Dan setelah itu—kamu cuma pergi begitu saja?!”
Adrien membalik halaman. “Oh, ya?”
“Jangan pura-pura bego!”
Dia menyeringai. “Mana berani.”
Theresa mengerang frustrasi, menarik kursi dan menjatuhkan diri ke dalamnya.
Sejenak, tak ada yang berbicara.
Lalu, dia menarik napas dalam-dalam dan berkata, “…Kamu masih jadi mau pergi?”
Adrien mengerutkan kening. “Pergi ke mana?”
“Studi ke luar negeri,” jawabnya, menatap lurus ke arah Adrien. “Kamu masih mau mengambil tawaran itu?”
Adrien sedikit memiringkan kepala. “Aku sudah memberitahumu soal itu.”
“Aku tahu,” sahutnya cepat. “Tapi sekarang semuanya berbeda.”
Sekilas, ada sesuatu yang melintas di wajah Adrien—tapi lenyap dalam sekejap.
Dia menyandarkan punggung ke kursi. “Kenapa? Karena pengakuan besar itu? Karena kamu menciumku?”
Theresa menyilangkan tangan. “Iya.”
Adrien terkekeh. “Aku suka kepercayaan dirimu.”
“Jangan ngeles.”
Adrien menghela napas, lalu menutup bukunya.
“Aku memang berencana pergi,” akunya. “Dan sejujurnya? Mungkin aku masih akan pergi.”
Perut Theresa sedikit bergejolak. Sedikit saja.
“Tapi,” lanjutnya, suaranya lebih pelan sekarang, “Aku belum mengambil keputusan.”
Theresa menatapnya, matanya yang biru sulit terbaca.
Lalu, sebelum dia bisa menghentikan dirinya sendiri, dia bergumam, “Aku lebih suka kalau kamu tetap di sini.”
Senyum di wajah Adrien hampir pudar.
“…Apa tadi?” tanyanya.
Theresa mendengus. “Aku bilang—”
“Kamu lebih suka kalau aku tetap di sini,” ulang Adrien pelan, seolah sedang menikmati setiap katanya.
Wajah Theresa memanas. “Jangan paksa aku bilang lagi.”
Adrien menyeringai, mengetukkan jarinya ke meja. “Jadi… kalau aku pergi, berarti kamu bakal merindukanku?”
Theresa mendecak. “Tolong. Aku cuma malas cari rival akademik baru.”
Adrien tertawa. “Tentu saja. Sangat praktis.”
Theresa mengangkat dagu. “Aku memang praktis.”
Adrien menatapnya sejenak, lalu mencondongkan tubuh ke depan.
“Kalau aku tetap di sini?” bisiknya.
Theresa menelan ludah.
Keheningan tebal menyelimuti mereka.
Lalu—
Theresa menyeringai.
“Kalau begitu, perang ini belum selesai.”
Adrien terkekeh. “Kamu benar-benar nggak bisa menolak tantangan, ya?”
Theresa mengangkat bahu. “Apa boleh buat? Kamu selalu memicu sisi terburukku.”
Adrien semakin mendekat, mata emas-hazel itu menatapnya dalam.
“Bukan,” bisiknya, suara penuh percaya diri.
“Aku memunculkan sisi terbaikmu.”
Jantung Theresa melompat.
Tapi alih-alih panik—
Dia tersenyum.
Senyuman yang berbahaya.
“Kalau begitu, lebih baik kamu tetap di sini dan buktikan itu.”
Adrien tersenyum miring.
“Oh, aku pasti akan melakukannya.”
Seluruh sekolah mengira mereka akan berubah setelah pengakuan itu.
Mereka mengira rivalitas legendaris Theresa vs. Adrien akan berakhir.
Tapi yang terjadi?
“Nilai ujianmu lebih rendah dariku,” Theresa menyeringai, melambaikan kertas ujian.
Adrien melirik sekilas. “Cuma satu poin.”
“Itu tetap kemenangan.”
Adrien menghela napas. “Aku menyatakan perasaanku ke kamu dan begini cara kamu memperlakukanku?”
Theresa tertawa kecil. “Cinta dan perang, Valmont. Cinta dan perang.”
Adrien menyeringai, melingkarkan satu lengan di bahunya. “Kamu memang menyebalkan.”
Theresa balas menyeringai. “Tapi kamu masih di sini juga, kan?”
Adrien tertawa.
Dan entah bagaimana—
Itu adalah suara paling membahagiakan yang pernah Theresa dengar.