Di kota Paris yang penuh intrik, Amina De La Croix, seorang detektif swasta berhijab yang jenius dan tajam lidah, mendapati dirinya terjebak dalam kasus pembunuhan misterius yang menyeret tujuh mafia tampan yang menguasai dunia bawah kota tersebut.
Saat Amina menyelidiki, dia berhadapan dengan Alexander Rothschild, pemimpin mafia yang dingin dan tak tersentuh; Lorenzo Devereux, si manipulator licik dengan pesona mematikan; Theodore Vandenberg, sang jenius teknologi yang misterius; Michael Beaumont, jagoan bela diri setia yang berbicara dengan tinju; Dante Von Hohenberg, ahli strategi yang selalu sepuluh langkah di depan; Felix D’Alembert, si seniman penuh teka-teki; dan Lucien Ravenshaw, ahli racun yang mematikan namun elegan.
Di tengah misteri dan bahaya, sebuah hubungan yang rumit dan tak terduga mulai terjalin. Apakah Amina akan menyelesaikan kasus ini sebelum dirinya terseret lebih dalam ke dunia mereka? Atau justru tujuh mafia ini yang akan takluk oleh keunikan sang detektif?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 10
Amina melangkah keluar dari markas Theodore dengan cepat, jantungnya berdetak kencang. Pelacak kecil yang ditempelkan di balik hijabnya membuatnya semakin curiga. Seseorang entah siapa sudah mengawasinya sejak awal. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. “Aku harus tetap tenang,” gumamnya pada diri sendiri, mencoba meyakinkan dirinya agar tidak panik.
Jalanan di luar markas terasa sepi dan suram. Lampu jalan yang berkedip-kedip memberikan kesan dingin pada malam itu. Amina mempercepat langkahnya, mencoba menyembunyikan dirinya di balik kerumunan orang. Setiap langkah seakan menuntunnya menuju petualangan yang lebih gelap dari yang ia bayangkan.
"Tunggu, Amina... Michael Beaumont," pikirnya, namanya terus bergema dalam benaknya. Theodore tidak memberinya banyak, hanya potongan teka-teki yang harus ia rangkai. Tapi satu hal yang jelas, Michael adalah kunci.
Amina tiba di sebuah klub malam yang lebih gelap dari yang dia harapkan. Pintu besi yang berat terbuka dengan suara berderak, menyambutnya ke dalam dunia yang sangat berbeda dari dunia yang selama ini ia kenal. Klub ini bukan sekadar tempat untuk berdansa atau minum, tapi sebuah arena pertarungan bawah tanah yang mematikan.
Udara yang terasa sesak, dipenuhi dengan bau keringat dan asap rokok, langsung menyergap inderanya. Amina merapatkan hijabnya, berusaha tidak menarik perhatian. Sorakan keras dari para penonton menggema di telinganya, membuat suasana semakin mencekam. Di atas panggung, lampu-lampu yang redup menciptakan bayangan panjang dari para petarung.
Di tengah kerumunan, Amina menemukan apa yang ia cari. Sosok tinggi besar dengan rambut pendek, wajah keras, dan tubuh yang kekar. Michael Beaumont. Dia berdiri tegak di tengah ring, tubuhnya basah dengan keringat, wajahnya penuh fokus. Amina dapat merasakan aura kekerasan yang begitu kuat mengelilinginya.
“Jadi ini Michael...” pikir Amina, memandangi dengan seksama.
Michael bergerak dengan kecepatan luar biasa, menghantam lawannya dengan pukulan yang menggetarkan. Setiap gerakan terasa seperti ledakan—brutal, cepat, dan sangat terkontrol. Lawannya terhuyung mundur, namun Michael terus menyerang tanpa ampun, memanfaatkan setiap celah. Dalam hitungan detik, lawannya terjatuh ke tanah, tak berdaya. Sorakan terdengar begitu keras, hampir mengalahkan suara detak jantung Amina.
“Aku harus hati-hati,” gumamnya dalam hati, menyadari bahwa ini bukan hanya pertarungan fisik biasa. Michael bukan hanya petarung. Dia adalah senjata, dan senjata ini bisa berbalik mengarah padanya kapan saja.
Amina menundukkan kepala sedikit, mencoba menyembunyikan dirinya di kerumunan. Ia tak ingin menarik perhatian. Ia tahu, meskipun Michael adalah targetnya, mendekatinya langsung di tengah arena ini adalah risiko besar.
“Ada apa denganmu, Amina? Kenapa kamu malah tertarik pada seseorang seperti dia?” pikirnya, namun di balik pikirannya itu, rasa penasaran terus membakar. Ada sesuatu yang tersembunyi di balik setiap pukulan yang dilakukan Michael.
Tiba-tiba, Michael menoleh ke arah kerumunan, matanya menyapu wajah-wajah yang menonton dengan penuh perhatian. Amina merasa seolah-olah matanya bertemu dengan mata Michael, meskipun dia hanya berdiri di jauh di belakang. Detik itu, sebuah perasaan aneh merayap di punggungnya—seperti ada sesuatu yang tidak beres.
Michael, dengan tubuhnya yang penuh otot, bergerak mundur dari ring dengan tenang, seolah tidak terpengaruh dengan sorakan keras yang datang. Amina mengamati setiap gerakannya. Ada sesuatu yang berbeda tentangnya. Bukan hanya sebagai petarung, tapi juga sebagai seseorang yang beroperasi di dunia yang jauh lebih gelap.
Amina mengikuti jejak Michael, mencoba mendekat tanpa menimbulkan kecurigaan. Ia tahu bahwa setiap langkah yang salah bisa berujung pada kegagalan besar. Tiba-tiba, seseorang menepuk bahunya dari belakang.
"Eh, kamu! Kamu salah orang, ya?" suara berat itu terdengar akrab. Amina menoleh dan melihat seorang pria besar dengan wajah yang tidak bisa dia lupakan, Jonas, salah satu kaki tangan Michael. Salah satu yang sering terlibat dalam transaksi kotor.
Amina segera menurunkan wajahnya, berusaha tidak menarik perhatian lebih lanjut. "Maaf, aku cuma mencari tempat duduk," jawabnya dengan nada tenang, berusaha berpura-pura biasa saja.
Jonas menatapnya sejenak, lalu mengangguk. "Hati-hati, jangan sampai salah pilih tempat, Nona. Tempat ini bukan tempat untuk main-main."
"Aku tahu," jawab Amina, berusaha menjaga nada suaranya tetap netral. Begitu Jonas mengalihkan perhatiannya, Amina cepat-cepat bergerak menjauh, mencoba menyatu dengan kerumunan.
Ia kembali mengamati Michael, yang kini sedang berbicara dengan beberapa orang di sisi lain arena. Amina tahu, inilah saat yang tepat. Ia harus mendapatkan informasi tanpa terlihat mencurigakan.
"Ini bukan hanya soal Michael... Ini tentang siapa yang dia layani, siapa yang mengendalikannya," pikir Amina, saat melihat sosok Michael yang kini dikelilingi oleh para pengusaha kotor. "Tapi siapa yang mengendalikan mereka? Siapa yang menarik tali di balik layar ini?"
Amina mengambil langkah pertama menuju tujuan baru, mengungkap siapa yang berada di balik Michael, dan lebih jauh lagi, mengungkap siapa yang mengendalikan semua ini.
Amina berdiri di tepi arena, matanya tidak lepas dari sosok Michael yang tengah bertarung di tengah ring. Suasana ruangan terasa begitu berat, dipenuhi sorakan penonton yang menambah ketegangan di udara. Lampu merah samar menghiasi ruangan, membiaskan cahaya di sudut-sudut gelap, menambah kesan angker tempat itu. Keringat dan darah bercampur dengan debu yang menggantung di udara, menciptakan aroma yang membuat Amina merasa mual.
Michael bergerak cepat, tubuh kekarnya menghantam lawannya dengan pukulan yang mematikan. Tiap serangan bukan sekadar untuk mengalahkan, dia bertarung untuk menghancurkan. Amina mengamati dengan seksama, mencoba menghubungkan petunjuk yang ada. Tapi, semakin ia melihat, semakin Amina merasa bahwa Michael bukan hanya petarung biasa. Dia bukan hanya menggunakan fisik; dia menggunakan kekuatan gelap yang menguasai setiap gerakan.
“Dia... pasti terlatih di luar pertarungan ini,” gumam Amina dalam hati, tak bisa mengabaikan perasaan bahwa ada sesuatu yang lebih di balik kekuatan fisiknya.
Tiba-tiba, Michael berhenti, matanya menyipit, mencari sesuatu di kerumunan penonton. Amina merasakan pandangannya tertuju padanya, seolah ada radar yang tak terlihat mengarah tepat ke arahnya.
Jantung Amina berdegup lebih cepat. Dia tahu.
Michael seolah bisa mencium kehadirannya, dan dalam sekejap, ia menatap lurus ke arah Amina dengan tatapan tajam yang hampir bisa menembusnya. Ada kilatan amarah di matanya. "Siapa kamu?" suara kasar Michael terdengar rendah, menantang.
Amina menegakkan punggungnya. Dia tahu, ini bukan lagi tentang sekadar pengamatan. Ini adalah pertarungan antara kecerdasan dan kekuatan, antara strategi dan brutalitas. Tapi bukan waktunya untuk mundur.
Dengan gerakan cepat, Michael melompat ke arahnya, tubuhnya seolah meluncur seperti mesin tempur. Amina refleks menghindar, berputar ke samping, tubuhnya hampir terhempas oleh hembusan angin dari serangan Michael yang melesat. Terlalu cepat.
"Aku tak datang untuk bertarung," Amina berbisik pada dirinya sendiri, berusaha tetap tenang meskipun ketegangan makin memuncak.
Namun, Michael tidak memberi ruang untuk menjelaskan. Serangannya terus mengalir seperti badai, tanpa henti, menghujamkan tinjunya yang keras ke udara, lalu ke tubuh lawan, membuang semua energi dalam satu serangan penuh kemarahan. Amina melompat ke samping, namun kali ini lebih dekat—Michael berhasil menepis bahunya, hampir menjatuhkannya ke lantai keras.
Demi Tuhan, dia kuat sekali. Amina mengerang pelan, namun tidak menyerah. Setiap serangan yang datang, ia tangkis dengan cepat, menghindar dengan kelincahan yang sudah diasah selama bertahun-tahun.
"Sedikit lagi..." pikir Amina, matanya tertuju pada celah kecil dalam pola serangan Michael. Michael terlihat kuat, tapi dia tidak tak terkalahkan.
Amina berlari maju, seolah hendak terjatuh, tetapi itu hanyalah tipuan. Dengan gerakan mendalam, ia memutar tubuh, melemparkan dirinya ke belakang dan menggunakan momentum untuk melompat ke sisi lain dari arena. Michael terhuyung, tubuhnya tertahan sesaat. Itulah celah yang ku tunggu.
Amina dengan cekatan berdiri tegak. Napasnya terengah-engah, namun matanya tetap tajam, penuh keputusan. Michael berdiri di tengah ring, menatapnya dengan wajah penuh kebingungan dan ketegangan. Ada jeda antara mereka, seperti ruang hampa yang menggantung. Apa yang akan dia lakukan selanjutnya?
"Jangan kira kamu bisa keluar dari sini begitu saja," suara Michael menggelegar, penuh ancaman. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Kali ini, dia tak menyerang. Matanya tertuju pada Amina, seolah mempertimbangkan sesuatu.
Amina menelan ludah. Dia tidak bisa terlihat takut. Aku harus berbicara.
"Michael, aku tidak datang untuk melawanmu," katanya dengan suara tenang, meski tubuhnya masih sedikit gemetar. "Aku butuh jawaban. Untuk apa yang telah terjadi, dan siapa yang ada di balik ini semua."
romantisnya tipis karena mungkin sesuai genrenya, tapi aku suka baca yang seperti ini.