Suami terbangsat adalah suami yang berusaha menjadi pahlawan untuk perempuan lain namun menjadi penjahat untuk istrinya sendiri. Berusaha menjadi teman terbaik untuk perempuan lain, dan menjadi musuh untuk istrinya sendiri.
Selama dua tahun menikah, Amora Juliansany tidak pernah mendapatkan perhatian sedikitpun dari sang suami yang selalu bersikap dingin. Menjadi pengganti mempelai wanita yang merupakan adiknya sendiri, membuat hidup Amora berada dalam kekangan pernikahan.
Apalagi setelah adiknya yang telah ia gantikan sadar dari komanya. Kedekatan sang suami dan adiknya hari demi hari membuat Amora tersiksa. Mertuanya juga ingin agar Amora mengembalikan suaminya pada adiknya, dan menegaskan jika dia hanya seorang pengganti.
Setelah tekanan demi tekanan yang Amora alami, wanita itu mulai tak sanggup. Tubuhnya mulai sakit-sakitan karena tekanan batin yang bertubi-tubi. Amora menyerah dan memilih pergi meninggalkan kesakitan yang tiada akhir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Yunus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengembalikan hati pada pemiliknya.
Sebuah pesan dari rumah sakit, teman kuliah Megan tampak di layar telepon genggam Amora. Wanita itu terpaku saat membaca jadwal MRI rutinnya, Senin sore ini. Suara Megan yang keluar dari kamar mandi membuyarkan lamunan Amora. Saat ia menoleh, suaminya baru saja keluar dengan handuk kimono putih membalut tubuh bagian bawahnya. Laki-laki itu tampak begitu segar di pagi hari.
Amora hanya menatap sejenak, sementara Megan berjalan ke arah walk in closet di kamar mereka.
Amora buru-buru keluar setelah meletakkan gawainya di tote bag hitam yang dibawanya hari ini, tak menunggu suaminya yang sedang siap-siap. Wanita itu mengenakan dress putih gading sepanjang lutut. Rambutnya di cepol tinggi. Saat turun, Amora disambut pelayan yang menyapanya.
"Pagi Nyonya." sapaan itu di balas ramah oleh Amora.
Megan turun setelah siap dengan pakaian kerjanya, laki-laki itu duduk di samping istrinya dan mulai menikmati sarapan, tanpa ada percakapan didalamnya, hanya denting sendok yang sesekali terdengar.
Hari ini. Megan akan berangkat ke bandara. Dia akan menghabiskan satu minggu di Singapura untuk keperluan bisnis. Laki-laki itu bahkan tak sempat memberi tahu Amora semalam, karena istrinya tampak kelelahan. Amora hampir berdiri, saat tangannya di tarik oleh Megan.
"Ada apa?" tanya wanita itu, dengan roman muka bingung yang kentara.
Megan tak menjawab, tapi juga tak melepaskan tangan istrinya begitu saja. Laki-laki itu hanya menatap Amora, bimbang dengan apa yang ingin dia katakan.
"Aku akan pergi ke luar negeri selama satu minggu kedepan." Amora tertegun, kebetulan sekali hari ini dia akan kembali ke rumah sakit dan suaminya pergi ke luar negeri. Tapi yang membuat Amora tak mengerti karena tidak biasanya Megan pamit dengannya.
Semalam, Amora menemukan Megan kembali tidur di sampingnya. Terbangun di pagi hari dan menemukan suaminya tidur dengan memeluk erat tubuhnya dari belakang. Kepala laki-laki itu bersandar pada bahunya, Megan tidur dengan damai. Amora tak melewatkan kesempatan, dengan pelan dia membalikkan badannya. Lama dia terjaga, menekuri wajah Megan, berharap dia tidak melupakan lelaki dihadapannya. Amora menelusup dalam pelukan dan menghirup dalam-dalam tubuh Megan. Mencuri kesempatan saat pria itu tak menyadarinya, dan bergegas menjauh ketika cukup puas, karena takut Megan akan semakin membencinya.
Kini tiba-tiba Megan pamit pergi, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya.
"Kalau begitu hati-hati!" Amora tidak menemukan kata-kata yang tepat selain itu, tetapi bersyukur Megan segera melepaskan tangannya.
****
Amora tiba di rumah sakit sore hari, setelah hampir kelelahan karena ulah mama mertuanya yang tidak pernah melewatkan kesempatan untuk mengganggunya.
Wanita itu duduk lama didalam mobil setelah mendengar hasil MRI. Yang di takutinya terjadi, berapa kali pun ia membayangkan hal ini terjadi, nyatanya Amora tak akan pernah siap. Wanita itu hanya bisa tertegun, dengan pelayan yang berusaha menghiburnya.
"Nyonya harus segera memberi tahu Tuan Megan, lebih cepat lebih bagus karena nyonya harus segera melakukan pengobatan." suara pelayan mengalihkan perhatian Amora dari kertas di tangannya.
"Lebih baik suamiku tidak tahu, Bi." tutur Amora tersenyum sendu. Hatinya tak lagi memikirkan Megan, apalagi setelah Mama mertuanya memberi tahu jika Megan ke Singapura tidak hanya perihal pekerjaan, tetapi karena ingin membawa Sunny ke tempat terapi sendiri terbaik di sana.
Hari suaminya tak dirumah. Amora sedikit capek karena akhir-akhir ini kesehatannya memang naik turun tak menentu.
Selama Megan berada di Singapura untuk kepentingan bisnis dia juga membawa serta Sunny atas permintaan Mamanya, Melinda menemukan dokter terapi di sana dan meminta Megan menemani Sunny selama proses terapi yang hanya akan berlangsung satu setengah jam setiap kali pertemuan.
"Kak, kamu masih mengingat ini," Megan yang baru selesai menemani Sunny terapi di hari terakhirnya mengernyit menatap kotak beludru yang Sunny sodorkan.
Bagaimana ia bisa lupa dengan benda sepasang yang ia pesan secara khusus di hari bahagianya. Cincin beda ukuran yang terukir nama keduanya.
"Sini ku pakaikan." spontan Megan membawa tangannya kebelakang tubuh. Di jari manisnya telah melingkar satu cincin lainnya yang tak pernah di harapkan.
Sunny menatapnya penuh permohonan membuat Megan tidak tega dan melepaskan begitu saja cincin lainnya yang tersemat di jarinya. Memasukkan asal ke dalam kantong celananya.
Saat Megan mengulurkan tangannya, senyum kebahagiaan menghiasi wajah Sunny.
Terapi perempuan itu juga bejalan lancar, kini Sunny sudah bisa jalan tanpa kursi roda walau pelan.
Akhirnya seminggu berlalu dan Megan sudah berada di depan pintu rumahnya.
"Mama?" tanyanya sedikit kaget menemukan kehadiran wanita paruh baya di jam seperti ini.
"Megan? Kamu sudah pulang? Mama pikir kamu tiba di malam hari." Megan melihat gelagat Mamanya yang aneh. Lagi pula untuk apa mamanya di sini? Hubungannya dengan Amora juga tidak baik, tidak mungkin menghabiskan waktu bersama atau sekedar berbelanja kan?
Melinda juga tiba-tiba mengaku ada urusan dan pergi setelah Megan masuk ke dalam ruang tamu.
"Bi.." suara Megan memanggil pelayan.
Seorang pelayan mendekat sopan menemui Megan. "Apa Mama sering datang di saat aku tidak di rumah?" tanya Megan penuh ke curigaan.
"Ya, Tuan. Nyonya besar kerap kali datang saat Tuan sudah berangkat ke kantor." Megan tercenung mendengar pengakuan itu.
"Dimana istriku?" tanya Megan sadar ada yang tidak beres dengan prilaku mamanya selama ini.
"Nyonya...dia...sedang...,"
"Katakan!!" tegasnya marah.
"Dibelakang, Nyonya besar meminta nyonya membersihkan kolam ikan di samping paviliun."
"Apa??" kaget lelaki itu yang menghempas begitu saja koper di tangannya untuk memastikan apakah yang dikatakan pelayan itu benar.
Dan ternyata....
Megan tidak kuasa menahan amarahnya saat menemukan Amora basah kuyup dengan ember ditangannya.
"Mandi, aku ingin bicara!" Amora sendiri kaget menemukan kehadiran Megan, selama ini ia tidak pernah menceritakan bagaimana kejamnya mama mertuanya selama dua tahun pernikahannya bersama Megan.
Amora tidak berani sekedar mengeluh dengan sikap Melinda yang semena-mena memperlakukan nya.
Tetapi Amora juga tidak tahu alasan apa yang membuat Megan semarah ini.
Seminggu tak berjumpa dengan suaminya, pulang-pulang Amora malah mendapat cacian dan kemarahan pria itu, walaupun disini yang disulitkan adalah Amora sendiri.
"Mulutmu bisa bicara padaku!" tekan Megan yang masih berkacak pinggang dihadapannya.
"Apa kamu akan percaya pada ku Megan?" tutur Amora mendongak menatap mata gelap suaminya.
Megan mendengus karena tak mampu menjawab, laki-laki itu berlalu marah membanting pintu kamar mandi.
Amora menghela nafas. Dia lelah tapi tak ingin di lihat oleh Megan, perempuan itu meraih koper suaminya untuk mengeluarkan baju kotor, saat memindahkan celana ke keranjang pakaian sesuatu terjatuh dari celah kantong celana itu. Amora memungut nya, tertegun saat menemukan benda yang begitu familiar baginya. Sebuah benda dengan ukuran berbeda yang serupa dengan miliknya, melingkar di jari manis selama 2 tahun terakhir. Wanita memungut benda itu dan menggenggamnya. Amora tahu kalau benda itu tak lagi tersemat dijari laki-laki yang dinikahinya, karena tadi tempat melihat cincin lain yang dia kira sepasang dengan Sunny. Menggantikan miliknya. Dimasukkannya cincin pernikahan milik Megan dengan perasaan terluka ke dalam tas. Ia akan menyimpannya sebagai kenang-kenangan. Tak apa, sejak awal cincin itu hanya benda tanpa arti dan hanya formalitas saja dalam pernikahan mereka.
"Sepertinya aku harus segera berkemas " Amora buru-buru berdiri saat mendengar pintu kamar mandi terbuka.
Kini tekadnya semakin bulat. Amora juga masih berharap umur panjang, ia tak bisa terus menunda, besok akhir pekan dan dia harus serius menjalani pengobatannya. Amora tersenyum pedih, tak banyak lagi waktu tersisa dengan Megan. Dia harus mengalah pada pemilik hati pria itu.
Amora memutar cincin pernikahan di jari manisnya. Benar, dia tak boleh berberat hati. Megan akan bahagia dengan Sunny dan dia harus tetap hidup. Meskipun ia mungkin tak bisa lagi menjadi Amora yang pernah mengenal putra pertama keluarga Dramana. Mungkin ini cara Tuhan menghiburnya, agar tak terlalu merasa kehilangan.
Perlahan wanita itu melepas cincin di tangannya, menyimpan dalam laci meja rias. Diam-diam selama Megan pergi, Amora memindahkan sedikit uang ke Atm-nya, Amora ingin berobat dimanapun, tanpa ditemani siapapun. Dia akan mencari hidupnya sendiri, jikapun Tuhan berkehendak lain, biarlah dia pergi tanpa seorangpun tahu, membawa lukanya sampai tiada.
kamu bermain dengan ikatan pernikahan sama aja bermain dengan takdir Tuhan