Sean, bocah 11 tahun yang berlayar sendirian menuju sebuah negara yang diamanahkan sang kakek. 11 tahun telah berlalu sejak ia dan kakeknya terpaksa meninggalkan sebuah negara, tempat Sean lahir. Di negara inilah, dia akan bertemu dengan orang-orang baru yang menemani kerja kerasnya. Namun kisahnya tidak semenyenangkan itu. Bersamaan dengan pengaruh baik, ada banyak tantangan gila menantinya di depan. Dia hanya bocah 11 tahun!
Apakah Sean dan teman-temannya bisa menghadapi setiap masalah demi masalah yang tak kunjung pergi? Simak dan ikuti perjalanannya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LIMS OFFICIAL, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia
"Eh? Jadi kau ditempatkan di kelas militer murni?" tanya James setelah ia mendengar penjelasan Marito.
"Keren sekali! Selamat Sean, sebentar lagi kau akan menjadi siswa resmi" Jiali tampak sangat antusias. Sean tersenyum semangat.
"Tapi ingat! Kau tidak boleh langsung berkencan! Kau harus rajin belajar, tahu!" pesan Jiali tampak serius. "Benar sekali, jangan contoh Jiali yang langsung mengungkapkan perasaannya pada seseorang" ledek Marito baru saja selesai membuat teh.
Gadis itu menatapnya tajam. "Dan orang itu sudah gugur di perang" kini ia menatap Daisuke.
"Jika kau menyukai seseorang, sembunyikan saja" pesan Zoe tertawa kecil. Sean terkekeh mendengarnya. "Sean, ayo latihan denganku" ajak Daisuke.
"Tidak mau, nanti kakak curang. Sekali aku terkena sihir matamu, aku tidak bisa bergerak" jawab Sean jual mahal. "Menyebalkan" gumam Daisuke dengan senyum penuh keterpaksaan.
"Denganku saja" tawar Chloe tiba-tiba. Mereka menatap Chloe serentak. "Chloe... mengajak, berduel?" gumam Daisuke dengan wajah ketakutan.
"Aku benci situasi ini" gumam Chloe menghela nafas malas. "Ayo, kak! Aku ingin sekali mencoba bertarung denganmu sejak kemarin" ujar Sean antusias.
Daisuke berjongkok di sudut rumah. "Masih bocah saja sudah pilih kasih, bagaimana jika dia memiliki anak?" gerutu Daisuke putus asa.
"Pemikiran bodoh" gumam Marito memaklumi.
"Hiraukan saja, cobalah bertarung dengannya" Zoe tertawa kecil menyudahi percakapan itu.
Beberapa saat,
"Tampaknya ini juga berkaitan dengan harga dirimu" ujar Daisuke berdiri di samping Marito. Sean tampak meregangkan tubuhnya sebelum memulai duel.
"Jika dia terjatuh saja, sama dengan mempermalukanku sebaga gurunya" jawab Marito menghela nafas. Chloe tampak santai dan hanya meregangkan bagian tubuhnya yang ia anggap lebih penting.
"Baiklah, duel akan dimulai" ujar Daisuke menjadi wasit di antara mereka. "1... 2...3..." keduanya tampak bersiap. "Mulai!" dan mereka sama-sama maju.
"Astaga! Dibanding guru... kak Chloe lebih, beringas !" batin Sean terkejut dan selalu mencoba menghindari setiap serangan dari Chloe.
"Sihir miliknya memang tidak sekuat yang lain, tapi soal pertarungan tangan kosong... kak Chloe ini sangat merepotkan" gumam Zoe tersenyum simpul.
Sean terus berusaha menyerang balik dan ia menangkis setiap serangan yang diluncurkan. "Kalau kau dan Chloe bertarung, siapa yang menang?" tanya James penasaran. "Dia" jawab Marito memperhatikan dengan seksama pertarungan itu.
Matanya menangkap sesuatu yang tidak biasa. "Gaya bertarung ini... mirip sekali dengan..." gumam Daisuke yang memperhatikan duel itu dengan serius.
"Gaya bertarungnya" Marito melanjutkan dan tahu siapa yang dimaksud Daisuke. Sean terus menyerang walaupun ia mulai merasa lelah.
"Sial!" ketus Sean melakukan serangan terakhir. Mata birunya tiba-tiba menyala. Chloe tentu menahan serangan terakhir itu, namun ia juga terkejut.
"Matanya?!" gumam Daisuke terkejut. Namun bocah itu tiba-tiba kehilangan keseimbangannya dan, "Mata itu..." gumam Chloe meraih Sean yang kini tidak sadarkan diri.
Marito tentu langsung menghampiri mereka. Ia mengusap kening bocah itu. "Ini... sihir mata" gumam Marito mengetahui ada sesuatu yang dimiliki Sean.
"Sihir mata?" tanya Chloe terheran. "Dan ini, murni" Marito melanjutkan. Mereka menatap Sean yang tidak sadarkan diri. "Masih banyak yang belum ia tunjukkan ternyata" batin Marito dengan tatapan serius.
Beberapa hari sejak kejadian itu, Marito semakin sering melatih bocah itu. Apalagi setelah ia mengetahui Sean akan menjadi siswa militer murni, dia semakin disiplin untuk melatih bocah itu.
"Marito, ada sebuah surat untukmu" panggil Jiali menerima sebuah amplop. Marito menghampirinya dan menerima amplop coklat berisi surat itu.
"Tampaknya kau semakin sibuk menjelang peresmiannya menjadi siswa" tutur Jiali kembali melanjutkkan kegiatannya.
"Begitulah" gumam Marito menuju kamarnya. Ia mengunci pintu kamarnya, dan membuka amplop itu. Keningnya segera berkerut ketika memperhatikan inisial di amplop itu.
"B? Siapa B ini?" gumam Marito terheran.
Halo, Leon !
Apa kabar? Sudah sangat lama aku tidak mendengar kabarmu. Aku tidak akan menyebutkan identitasku. Yang kusampaikan dalam surat ini jauh lebih penting. Ada sebuah dokumen rahasia yang ditinggalkan komandan di rumah dinas yang ada di barat. Rumah dinas lamamu. Segera ambil dokumen itu. Komandan menyimpannya dalam kotak di ruang bawah tanah. Kunci dari pintu dan kotak itu berwarna emas, komandan menyembunyikannya dalam buku diary kelima antara halaman 237-238 di rak buku rumah dinas lama komandan di ibu kota. Ada dua rumah dinas yang harus kau cek, karena buku tersebut sempat berpindah tempat beberapa kali. Kau harus segera mengambil dokumen itu. Jika bisa hari ini, maka lakukan hari ini.
Semua untuk menjawab rahasia gelap, dan menuntunmu pada kekuatan kejahatan kota bawah tanah yang sudah lama lenyap. Kuharap kau bertindak cepat. Aku menunggu laporanmu. Nanti malam seekor burung hantu berkalung logam akan menemanimu. Balasan surat ini cukup kau ikatkan pada kalungnya.
^^^Salamku,^^^
^^^B.A.F^^^
Marito mengerutkan keningnya. "Dugaanku benar. Kau masih hidup... Boulevard" gumam Marito dengan tatapan misterius.
Marito mulai menyiapkan peralatannya dan memasukkannya dalam tas. Malam ini, dia harus bergerak. Dia selalu melakukan sesuatu sesuai amanah.
Marito mengecek ruang tamu yang sudah sepi. Ini sudah tengah malam. Hanya Daisuke yang tertidur di sana. Marito menyelimuti Daisuke segera.
Ia akhirnya berada di luar rumah. Seekor burung hantu putih datang menghampirinya. Ya, burung hantu itu berkalung logam.
"Apa kabarmu, Ritter?"
Di sisi lain,
"Komandan, apa yang sedang kau lamunkan?" tanya Arie pada Earnest yang memperhatikan langit malam melalui jendela.
"Aku penasaran apa surat itu sudah sampai" jawab Earnest tertawa kecil. "Satu hari ini pasti sudah sampai. Ritter sudah terbang sejak tadi pagi" ujar Arie meyakinkan pria tua itu.
"Untung saja aku membongkar kotak berkas itu. Dia menulis setiap rahasia yang berhasil ia temukan. Tapi apa kau tidak takut dia mengetahui identitas kita?" tanya Earnest ragu.
"Jika dia mengetahui identitas kita, rasanya tidak masalah. Aku sangat percaya padanya" jawab Arie tersenyum sambil menatap lurus.
"Jika kita tidak segera menghentikan sumbernya, perang lama akan kembali terjadi. Apalagi sekarang, Sean sudah jauh dari jangkauan" ujar Arie dengan serius. "Seharusnya aku tidak menyetujui permintaan putriku agar ia kembali ke sana" gumam Earnest tampak sangat khawatir.
"Apa karena komandan mendengar di radio berita mengenai para raksasa yang kembali muncul ke permukaan?" tanya Arie memastikan. Earnest tidak segera menjawab.
"Dia mewarisi kekuatan itu, Arie. Aku masih belum tahu kekuatan itu datang dari mana. Inilah alasan mengapa aku berusaha bertahan hidup, agar aku dapat menemukan apa kekuatan sebenarnya dari mahluk itu"
Arie menghela nafas memaklumi. "Energi asli itu, tersimpan di mata muridmu, komandan" Earnest menatap Arie terkejut.
"Apa... maksudmu?" tanya Earnest tidak percaya.
"Malam itu, tuan harus menggunakan sihir segel dengan energinya dan energi nona. Namun, kekuatan mahluk itu sangat besar. Sehingga tuan menggunakan sihir segel yang dipelajarinya untuk menyerap kekuatan itu. Tuan dan nona menyegel kembali mahluk itu pada tubuh tuan muda dan dari apa yang kulihat, kekuatan mahluk itu terbagi menjadi 4 bagian"
"Jiwa mahluk itu dibagi menjadi dua, dan separuhnya berada di tubuh tuan dan nona. Setengahnya di tubuh Sean, dan kekuatan mahluk itu tersimpan di tubuh muridmu. Sehingga besar kemungkinan, jika Sean tiba-tiba saja lepas kendali, maka dialah yang akan mengendalikannya. Karena seluruh kekuatan mahluk itu ada di dalam tubuhnya"
Earnest memejamkan matanya. Wajah seorang gadis tergambar di benaknya. "Sejujurnya, aku jadi sangat membebaninya" gumam Earnest teringat muridnya.
"Kau tidak perlu khawatir, komandan. Kedepannya, Ritter akan sering menemani perjalannya. Kuharap dia bisa menjaga burung hantu itu" tutur Arie menikmati teh tawar hangat malam itu.
"Untung saja dia bisa diandalkan"
Malam itu, di sisi lain,
"Kosong?" gumam Marito menyadari rumah dinas lama yang ia datangi tampaknya tidak terurus setelah beberapa tahun ditinggalkan.
Suasana sangat gelap. Marito segera menyalakan obor. Tidak ada yang ditakuti olehnya. Marito perlahan menaiki tangga rumah menuju lantai dua.
"Bau, apa ini?" gumam Marito menangkap sebuah bau aneh di hidungnya. Namun Marito menghiraukannya dan lanjut berjalan dan ia menemukan sebuah rak buku.
"Kosong? Berarti tidak di dalam ini" gumamnya terkejut. Ritter si burung hantu tiba-tiba saja berbunyi. "Untung saja" gumam Marito menghindari sebuah serangan besar dan keluar dari jendela.
Ia menunggu di atas pohon. "Apa yang kau lihat, Ritter?" gumam Marito menggunakan mata birunya. Burung hantu itu berdiri di pundak kanan Marito.
Penyerang akhirnya terlihat. Ya, raksasa. Marito mengerutkan keningnya. "Seseorang pasti sudah mempelajari sihir alam dan menggabungkannya dengan sihir kutukan" gumam Marito menganalisa.
Raksasa itu tampak mencari-cari sesuatu. Marito yang tidak mau membuang tenaga memilih kabur segera.
"Untung saja kau berbunyi, Ritter. Kalau tidak, kau juga jadi santapannya" ujar Marito pada burung hantu itu.
Setelah beberapa saat, Marito sampai di depan sebuah rumah. Ritter kembali berbunyi. Gadis itu menyadari sesuatu dan melompat segera.
Raksasa tadi, justru mengikuti mereka.
"Ini hal paling merepotkan untuk menghadapi mereka, energi mereka sama sekali tidak terdeteksi. Sulit untuk menghindari mereka yang tiba-tiba muncul. Bagaimana mungkin mereka bisa kembali bangkit? Siapa yang melakukan ini ?"
Berbeda dari raksasa biasanya, raksasa di hadapannya ini ukurannya tidak terlalu besar. "Ritter, cengkram erat pundakku. Kau aman bersamaku" pesan Marito tampak bersiap.
Marito mengeluarkan sebuah petir dari tangannya. Ketika tangan raksasa itu terulur untuk menangkapnya. Marito segera menghancurkan tangan itu dengan petir miliknya. Namun tentu saja, tangan raksasa itu kembali beregenerasi dan kembali meraih Marito.
Ia melompat segera. Gadis itu dengan berani meninju tangan raksasa itu. Raksasa itu terpukul mundur.
Ia menabrak rumah dinas yang hendak diperiksa Marito. Raksasa buku yang ia cari terlihat. "Itu dia" gumam Marito mengerutkan keningnya.
Ritter kembali mengeluarkan suara. "Di sana?" Marito paham maksud burung itu. Burung itu justru menggeleng. Ia terbang ke arah raksasa itu.
Tubuh raksasa itu hancur sebagian, namun ia tidak beregenerasi. Raksasa itu bahkan terkapar.
Ritter kembali ke pundak Marito. "Begitu ternyata" gumam Marito menyadari sesuatu. Ia tidak bisa langsung meraih rak buku itu, raksasa ini pasti belum sepenuhnya berhasil ia tumbangkan.
Benar saja, raksasa itu kembali bangkit. "Jadi menurutmu, dia akan mudah kukalahkan... jika aku menggunakan energi murni?" tanya Marito pada Ritter. Burung itu mengangguk.
Marito memejamkan matanya. Ia menyiapkan kuda-kudanya. "Sepertinya gerakanku akan sedikit cepat, kau harus mencengkramku lebih kuat" gumam Marito dengan mata biru menyalanya.
Ia mulai melawan raksasa itu dengan teknik bela diri yang dimilikinya. Raksasa itu perlahan mulai terjatuh, dan akhirnya ia berhasil dilumpuhkan.
Marito segera bergegas menuju rak buku itu. Matanya mencari keberadaan buku yang ia cari. "Mungkin lebih baik kelima buku ini kusimpan" gumam Marito memasukkan kelima buku itu ke dalam tasnya.
Marito kembali melompat tinggi menyadari sesuatu akan menghantamnya dari belakang.
"Lama tidak berjumpa, harimau biru" sapa seorang pria keluar dari asap bekas serangan. "Joe?!" gumam Marito mengenali suara pria itu.
"Hahaha. Kau pasti berpikir aku sudah mati bukan? Nyatanya itu hanyalah sel ku, yang kumasukkan pada tubuh salah satu pasukanmu yang malang"
Ya, dialah Joe. Pria yang tidak pernah sependapat dengan Marito sejak awal pertemuan mereka. Marito hidup dengan kejujuran, sementara Joe adalah mafia terkenal di negara itu.
Pemerintah justru menyukai keberadaan pria lajang tua kaya raya itu, karena kontribusi keuangan yang meningkat berkat setoran dan suap menyuap.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Marito dengan tenang. "Kau tidak sadar? Aku lah raksasa itu. Yang sedari tadi kau hajar. Tubuhku hampir remuk karena ulahmu" jawab Joe dengan tatapan sinis.
Marito memasang wajah datarnya. Ia melemparkan sebuah suriken milik Daisuke yang ia curi. "Sialan!" ketus Joe menghindarinya.
"Ternyata kau bukan kloning" gumam Marito dengan nada dingin. "Cih! Kau benar-benar hama yang selalu menghalangi jalanku. Hari ini kau akan mati di tanganku!" Joe bergerak secepat kilat.
Pertarungan di antara mereka terjadi. Marito terus menerus memberikan serangan balik.
"Pria tua ini sama seperti Daisuke. Halusinasi yang kuciptakan tidak akan berpengaruh banyak pastinya. Jadi apa yang harus kulakukan ?" batin Marito menyerang dan mengelak setiap serangan dari Joe.
"Ritter!" Marito tentu terkejut ketika Joe berhasil menangkap burung hantu di pundaknya. "Serahkan tas ransel itu, maka peliharaanmu akan kembali"
Marito menghela nafas malas. Ia membuang tas di pundaknya. "Angkat tanganmu!" perintah Joe menodongkan pistol padanya.
Marito menurut. Joe tersenyum sinis. Ia mencampakkan burung itu. Pria tua serakah itu meraih tas berisikan buku-buku tadi.
Joe memucat ketika melihat kepalanya sendiri di dalam tas itu. "Yang seharusnya hama adalah kau" tutur Marito tersenyum sinis padanya.
Joe akhirnya tersadar. Kini kepala pria itu terpisah dari tubuhnya. "Nikmatilah dunia akhirat" pesan Marito menyalakan api dan ia membakar pria itu.
Ritter kembali ke pundaknya. "Sepertinya kita harus melanjutkan pencarian besok pagi" ujar Marito memperhatikan Joe yang terbakar.
Marito meraih tas itu. "Kuharap tidak ada yang mencurigai kejahatanku ini. Tapi sepertinya aku tidak bisa dikatakan sepenuhnya jahat, aku membereskan sampah masyrakat" gumam Marito mulai berjalan meninggalkan tempat itu.
Ritter terbang menuju sebuah raksasa yang sudah membeku. Marito menatapnya sejenak.
"Ini akan sangat merepotkan"
......................
"Ritter?" tanya Sean antusias ketika pagi ini dia mendapati seekor burung hantu berukuran cukup besar bergabung dengan mereka dalam sarapan pagi.
"Dari mana kau mendapatkannya?" tanya Chloe terheran. "Tadi malam dia hinggap di jendela kamarku" jawab Marito menikmati rotinya.
"Kau yakin bisa bekerja pagi ini?" tanya Jiali meragukan raut wajah Marito. Ya, Marito tidak tidur sama sekali.
Ia sibuk memilah buku-buku diary yang ia dapatkan. "Ya. Aku hanya butuh kopi" jawab Marito dengan santai.
Berbeda dengan yang lain, Daisuke memberikan tatapan berbeda. "Sean, hari ini akhir pekan. Apa kau ingin ikut denganku ke pasar?" tanya Jiali menyelesaikan kegiatan paginya.
"Tentu! Aku akan bersiap" jawab Sean antusias dan ia sudah menyelesaikan sarapannya. "Aku akan ke rumah kak Jane lagi. Aku sudah berjanji pada keponakanku" ujar James bangkit berdiri.
"Zoe, pagi ini kita menghadap ke kantor. Sepertinya misi tingkat tinggi akan diberikan pada kita" Chloe juga bangkit berdiri.
"Baiklah semuanya sibuk" gumam Daisuke memaklumi. Beberapa saat berlalu, dan di rumah hanya menyisakan Daisuke dengan Marito.
"Leon" panggil Daisuke segera. "Ada apa?" tanya Marito yang asik membaca buku. "Ritter ini, dikirim siapa?" tanya Daisuke berhasil membuat Marito terdiam menatapnya terkejut.
"Dia hanya hinggap, Dai" jawab Marito dengan tenang. "Kalung logam dengan ukiran arah mata angin itu tidak mungkin kau yang membuatnya" Daisuke menekan.
Marito menghela nafas. "Boulevard" Daisuke tentu tampak terkejut.
"Dia masih hidup?"
"Ritter adalah peliharaan kakak. Boulevard mungkin membawanya kabur 11 tahun lalu"
Daisuke tentu semakin terkejut. "Lalu tadi malam kau pergi ke mana?" tanya Daisuke lagi lebih serius.
Marito kali ini terdiam seribu bahasa. Ia yang tadinya sibuk membaca kini menatap Daisuke. "Jangan kau pikir aku tidak mendengar pintu yang kau buka lalu kau tutup" tutur Daisuke dengan tenang.
Marito masih diam tidak bisa menjawab. "Semalaman kau juga tidak tidur bukan? Apa yang kau kerjakan tadi? Aku bangun selalu subuh, Leon"
Gadis itu kini menatap lurus dengan kening berkerut. "Kakak sudah berhasil menemukan sumber kekuatan gelap itu. Hanya saja dia gugur lebih dulu, sebelum sempat menghancurkan sumbernya"
Daisuke menghela nafas. "Kau tidak bisa melakukannya sendiri, Leon. Orang sehebat dan sekuat guru saja dibunuh setelah ia berhasil menemukan sumbernya, sebelum ia menghancurkannya"
Marito kini menatap keluar jendela. "Wasiat kematian mereka seolah menunjukku untuk menyelesaikannya" gumam Marito. Tatapannya tampak lelah.
"Jika kau ingin menyelesaikannya, katakan saja padaku. Guru lebih tidak suka kau mati muda" Daisuke bangkit berdiri berjalan menuju kamarnya.
"Dai, kenapa kau selalu mau aku repotkan?" tanya Marito tanpa menatap Daisuke. Pemuda itu diam sejenak. Ia memejamkan matanya.
"Karena hanya kau yang kumiliki, Leon"
Beberapa saat,
"Kami pulang" gumam Jiali menutup pintu. "Eh? Kosong?" Sean mendapati tidak ada orang di rumah.
"Daisuke dan Marito pasti sudah berangkat ke kantor" jawab Jiali meletakkan belanjaan di atas meja. Wajah Sean tampak murung.
"Kenapa?" tanya Jiali terheran. "Tadi oniisan sudah berjanji mau latihan denganku" jawab Sean murung.
Di sisi lain, "Astaga!" gumam Daisuke menepuk jidatnya teringat sesuatu. "Ada apa?" tanya Marito yang sibuk mengisi berkas. "Aku punya janji dengan Sean" Marito menghela nafas memaklumi.
Jiali mengusap pelan rambut Sean. "Mungkin nanti malam. Dai tidak pernah mengingkari janjinya" ujar Jiali tersenyum lembut.
Sean tertegun menatap Jiali. "Kakak cantik sekali, bagaimana mungkin kakak tidak punya kekasih?" tanya Sean mulai penasaran.
"Astaga, kau masih terlalu kecil untuk mengetahui hal semacam itu" jawab Jiali terkekeh. "Oh ayolah, ceritakan padaku" Sean semakin antusias.
"Aku bahkan sudah bertunangan dulu. Sayangnya kami tidak jadi menikah" Jiali mulai bercerita. "Ehh? Kenapa?" tanya Sean terheran.
"Dia gugur dalam misi 6 tahun lalu, jadi mautlah yang memisahkan kami" jawab Jiali terkekeh. "Maaf, aku tidak tahu..." gumam Sean terkejut.
"Tidak apa. Aku sudah terbiasa menceritakannya" jawab Jiali terkekeh. "Kau mau apa untuk makan siang?" tanya Jiali mengalihkan pembicaraan.
"Emm, ramen! Oniisan bilang rasa kuah kaldu ramen sangat gurih!" ujar Sean menghampiri Jiali. "Baiklah, kita masak ramen" gumam Jiali dengan senang hati.
"Jika kak Jiali pensiun, kak Jiali buka restoran saja! Kakak sangat pandai memasak" ujar Sean seraya memuji gadis itu. "Baiklah, aku akan melakukannya sesuai saranmu" jawab Jiali terkekeh.
"Nanti aku akan jadi pelanggan tetap. Aku akan jadi orang yang selalu membeli makanan di restoranmu" ujar Sean dengan semangat.
"Benarkah? Apa kau bisa memegang perkataanmu?" tanya Jiali tertawa kecil. "Tentu saja! Aku bisa menepati janji!" ketus Sean segera.
"Baiklah, kau harus selalu menepati janjimu!"
Di sisi lain,
"Chloe! Ayo beristirahat, apa kau tidak lelah?" tanya seseorang memanggil Chloe. "Pergilah lebih dulu" jawab Chloe masih sibuk menganalisa sebuah kasus yang harus ia selesaikan besok.
"Apa ini?" gumam Chloe mendapati seseorang meletakkan sebuah kotak bekal. "Kesehatanmu lebih penting, kak" Zoe memgingatkan kepalanya.
"Jadi kau makan apa?" tanya Chloe terheran. "Aku meminta Ziw memasak lebih. Dia baru saja menitipnya padaku" jawab Zoe menunjukkan bekalnya.
Ia duduk di samping Chloe. "Selamat makan!" gumamnya membuka kotak bekal. Chloe akhirnya tergiur dan melakukan hal yang sama.
"Aromanya mirip masakan Jiali" gumam Chloe tanpa sadar. "Mengejutkan sekali, kakak ternyata mengingat aroma masakan kak Jiali" ujar Zoe terkejut.
"Mudah saja. Jiali menggunakan bumbu yang sedikit berlebih, sementara jika Marito yang memasak rasa asinnya tidak menyengat" jawab Chloe segera.
"Begitu ternyata. Menurut kakak, lebih enak masakan siapa?" tanya Zoe seraya menikmati makanan siangnya. "Jiali. Sayang sekali dia masih belum melupakan tunangannya, mungkin aku sudah mengajaknya berkencan"
Zoe terbelalak menatap Chloe. Pemuda itu tersadar segera. "Kak Chloe... menyukai, kak Jiali?!" tanya Zoe dengan ekspresi tidak percaya.
"L-Lupakan saja!" jawab Chloe segera menyantap makanannya. "Aku akan bocorkan informasi ini pada satu rumah" ujar Zoe dengan sombong.
"H-Hey, kau justru akan membuat kegaduhan di rumah!" gumam Chloe melemah. "Kenapa kakak tidak beritahu saja? Siapa tahu itu bisa mengobati hatinya" ujar Zoe terheran dan ekspresinya berubah.
Chloe menatap makan siangnya. Lalu setelahnya, ia memejamkan mata dan tersenyum tenang.
"Suatu saat aku akan mengatakannya, aku hanya menunggu waktu yang tepat" gumam Chloe tersenyum.
"Jika tiba-tiba seseorang merebut hatinya, bagaimana perasaanmu?" tanya Zoe menatapnya jahil.
"Tidak masalah. Jika seseorang berhasil menaklukkan hatinya dan ia bahagia, itu turut membuatku merasakan kebahagiaan yang sama"
"Melihatnya saja tersenyum, sudah membuatku lebih baik. Menurutku, mencintai itu tidak harus memiliki"
"Senyum tulus yang ia tunjukkan, adalah hal yang paling berharga"