Xavier, dokter obgyn yang dingin, dan Luna, pelukis dengan sifat cerianya. Terjebak dalam hubungan sahabat dengan kesepakatan tanpa ikatan. Namun, ketika batas-batas itu mulai memudar, keduanya harus menghadapi pertanyaan besar: apakah mereka akan tetap nyaman dalam zona abu-abu atau berani melangkah ke arah yang penuh risiko?
Tinggal dibawah atap yang sama, keduanya tak punya batasan dalam segala hal. Bagi Xavier, Luna adalah tempat untuk dia pulang. Lalu, sampai kapan Xavier bisa menyembunyikan hubungan persahabatannya yang tak wajar dari kekasihnya, Zora!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 : Between Us
Xavier berdiri di samping ranjang pasien, mengenakan jas dokter berwarna putih bersih, dengan stetoskop melingkar santai di lehernya. Tangannya cekatan memeriksa hasil USG pasiennya—seorang ibu hamil muda yang tersenyum malu-malu saat Xavier menjelaskan kondisi bayinya.
"Selamat ya, semuanya normal. Bayimu sangat sehat," ucap Xavier sambil mengarahkan senyum tipis.
Mata sang pasien berbinar, suaminya yang berdiri di samping tempat tidur memegang tangannya erat-erat, berterima kasih berkali-kali pada Xavier.
Karena setelah sekian lama menikah, dan berkonsultasi dengan Xavier selama beberapa bulan, akhirnya istrinya hamil juga.
Xavier hanya mengangguk sopan, terbiasa dengan momen-momen haru semacam ini.
Begitu keluar dari ruangan, Xavier bertemu dengan rekannya, dokter Aaron—teman seperjuangannya sejak masa koas.
"Wih, dokter favorit para ibu-ibu!" goda Aaron sambil menepuk bahu Xavier.
Xavier mendengus pelan. "Fokus kerja, Aaron, bukan cari sensasi."
Mereka berjalan berdampingan menuju lounge dokter, berbincang ringan tentang jadwal operasi dan pasien-pasien unik hari ini.
Sampai sebuah suara nyaring menghentikan langkah mereka.
"Dokter Xavier!" panggil seorang wanita paruh baya, mengenakan gaun bermotif bunga cerah, wajahnya penuh senyum semangat.
Xavier menoleh, sedikit kaget. "Ibu Livia? Ada yang bisa saya bantu?"
Ibu Livia adalah salah satu pasien senior rumah sakit itu, sering kali mengunjungi klinik hanya untuk sekadar 'cek kesehatan' walau sebenarnya sehat-sehat saja.
Dengan mata berbinar, Ibu Livia mendekat, menggenggam tangan Xavier dengan akrab.
"Dok, saya punya keponakan. Cantik, muda, pintar! Saya yakin cocok untuk dokter tampan seperti anda!" katanya, tanpa basa-basi.
Aaron di sebelah Xavier hampir terbahak.
Xavier, di sisi lain, hanya mengerutkan kening, mencoba tetap sopan. "Ibu, saya rasa saya belum berpikir ke arah sana."
"Tidak apa-apa! Namanya Regina. Nanti saya kenalkan. Sekali lihat, pasti dokter langsung suka!"
Sebelum Xavier sempat menolak lagi, Ibu Livia sudah berbalik dengan puas, sambil menelepon seseorang entah siapa.
Aaron menahan tawanya sepanjang jalan menuju ruang staf.
"Kalau kau mau, aku siap jadi pengiring pernikahanmu."
Xavier menatap Aaron malas.
"Kau benar-benar tidak berguna."
*
Sore menjelang malam
Xavier menatap arlojinya. Satu jam lagi gathering di galeri Luna.
Ia menuntaskan laporan terakhir dengan lebih cepat dari biasanya, lalu bersiap-siap, mengenakan kemeja biru tua dan jas hitam yang pas di tubuhnya.
Saat melangkah keluar rumah sakit, pikirannya tidak lagi dipenuhi tentang pasien, atau bahkan 'Regina' yang ingin dijodohkan padanya.
Yang ada hanya Luna.
Dan entah kenapa, itu cukup untuk membuat langkahnya terasa lebih ringan malam ini.
Suasana galeri malam itu hangat dan eksklusif. Lampu-lampu temaram menggantung dari langit-langit tinggi, menciptakan nuansa intim yang cocok untuk para kolektor seni berbicara sambil menikmati anggur dan canapé.
Xavier datang tepat waktu. Begitu memasuki ruangan, matanya langsung mencari sosok Luna. Ia menemukan Luna di dekat salah satu lukisan besar, tersenyum lebar sambil berbicara dengan seorang pria berjas gelap yang berdiri sangat dekat dengannya.
Pria itu—Vincent.
Xavier menahan langkahnya sejenak. Jantungnya berdegup keras tanpa alasan logis. Ia menyaksikan bagaimana Luna tertawa begitu lepas. Pria itu juga tertawa, sesekali membungkuk untuk mendengar bisikan Luna.
"Kenapa mereka terlihat begitu dekat?" gumam Xavier pelan.
Sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, Zora muncul dari kerumunan, melambai manis.
"Xavier, akhirnya kau datang," sapa Zora sambil mendekat.
Xavier menoleh dengan senyum kaku. "Tentu, aku sudah janji dengan Luna."
Zora mengaitkan tangannya ke lengan Xavier dengan gerakan yang sangat natural, seolah itu sudah biasa mereka lakukan. Ia kemudian menarik Xavier ke sudut ruangan, sedikit menjauh dari Luna dan Vincent.
"Aku ingin bicara banyak denganmu malam ini," kata Zora, nadanya setengah memohon.
Xavier mengangguk sekilas, pikirannya masih setengah di tempat lain. Ia sesekali melirik ke arah Luna, yang tampak nyaman dengan Vincent.
Pertemuan Xavier dan Zora kali ini bukanlah tanpa disengaja. Itu semua adalah rencana kecil Luna—yang ingin memberinya kesempatan untuk memperbaiki hubungannya dengan Xavier.
Tetapi, kenyataannya malah jadi lebih rumit.
Karena Xavier, tanpa ia sadari, sudah jauh lebih peduli pada Luna daripada yang ia akui.
Sementara itu, di sisi lain ruangan, Luna tanpa sengaja melirik ke arah Xavier dan Zora. Ia mendapati tangan Zora yang melingkar manja di lengan Xavier — dan Xavier tidak menepisnya.
Alih-alih merasa cemburu, senyum kecil terbit di sudut bibir Luna.
"Bagus," pikirnya dalam hati. "Rencanaku berjalan lancar."
Ia menghela napas lega, lalu mengalihkan pandangannya pada Vincent.
Vincent mencondongkan tubuh sedikit, berbicara dengan suara rendah, "Kau baik-baik saja, Lun?"
Luna cepat-cepat mengangguk. "Tentu saja."
Vincent tersenyum lebar. "Aku senang karena akhirnya bertemu denganmu lagi, setelah sekian lama."
Percakapan mereka pun mengalir begitu saja, dipenuhi tawa kecil dan cerita-cerita masa kecil yang menghangatkan hati.
Namun tanpa Luna sadari, dari kejauhan, sepasang mata tajam memperhatikannya.
Xavier.
Meskipun Xavier tampak sibuk mendengarkan Zora, pikirannya tak lepas dari sosok Luna yang tertawa akrab di samping pria lain.
Xavier menggenggam gelas wine-nya lebih erat.
Zora memperhatikan ekspresi Xavier yang semakin sulit disembunyikan. Ia tersenyum tipis, lalu mengikuti arah pandangan pria itu — tepat ke arah Luna dan Vincent yang tertawa kecil di sudut ruangan.
"Bukankah mereka terlihat cocok?" ujar Zora ringan, namun sarat makna.
Xavier menoleh sekilas, membalas dengan senyum miring yang sama sekali tak menyentuh matanya. Tanpa sepatah kata, ia meneguk habis wine di tangannya, seakan mencoba menelan bulat-bulat rasa tak nyaman yang mengganjal di dadanya.
"Pria itu, Vincent," lanjut Zora dengan nada santai, seolah ingin menambahkan luka pada luka. "Teman masa kecil Luna. Makanya mereka terlihat akrab. Dan... sepertinya, pria itu sangat menyukai Luna. Kau lihat sendiri, kan? Dia memborong semua lukisan Luna."
Xavier memejamkan matanya sejenak, mencoba menahan letupan emosinya. Rahangnya mengeras, urat di lehernya menegang, menandakan betapa ia kesal mendengar kalimat itu.
Ada bara di dadanya — perasaan tak nyaman yang membakar lebih cepat dari alkohol yang baru saja ia teguk.
Ia mengalihkan pandangannya, kini sepenuhnya menatap Luna yang tersenyum cerah pada Vincent. Senyuman yang biasanya hanya ia lihat saat Luna bersamanya.
Ada rasa posesif yang perlahan bangkit di dalam dirinya.
Luna. Gadis itu miliknya. Entah sejak kapan, entah tanpa perjanjian apa pun, tapi ia merasa Luna... adalah miliknya.
"Sepertinya aku butuh udara," gumam Xavier dingin, lalu meletakkan gelas kosongnya di meja dengan suara kecil berdenting.
Zora hanya menatap punggung Xavier yang menjauh. Matanya menyipit, menyimpan beragam pertanyaan yang kini memenuhi pikirannya.
Ia tahu, perasaan Xavier pada Luna jauh lebih dalam daripada sekadar 'teman biasa'.
Dan Luna... mungkin selama ini memang lebih berarti untuk Xavier daripada yang pria itu sendiri sadari.
Xavier melangkah ke balkon, membiarkan angin malam mendinginkan wajahnya yang panas oleh emosi.
Tangannya menyelip ke saku, matanya tetap mengawasi Luna dari jauh.
Sekilas, ia melihat Vincent menyentuh punggung Luna sambil tertawa.
Darah Xavier mendidih.
Tanpa berpikir panjang, Xavier berbalik, berjalan cepat kembali ke dalam.
Ia tidak peduli lagi pada acara ini.
Yang ia tahu, ia harus memberi jarak antara Luna dan pria itu.
To Be Continued >>>
semangaaattt ya thor
Aku dukung 🥰