Leon Harrington seorang hakim yang tegas dan adil, Namun, ia berselingkuh sehingga membuat tunangannya, Jade Valencia merasa kecewa dan pergi meninggalkan kota kelahirannya.
Setelah berpisah selama lima tahun, Mereka dipertemukan kembali. Namun, situasi mereka berbeda. Leon sebagai Hakim dan Jade sebagai pembunuh yang akan dijatuhkan hukuman mati oleh Leon sendiri.
Akankah hubungan mereka mengalami perubahan setelah pertemuan kembali? Keputusan apa yang akan dilakukan oleh Leon? Apakah ia akan membantu mantan tunangannya atau memilih lepas tangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Mereka menyerbu Leon secara bersamaan—sepuluh orang dengan niat membunuh yang jelas tergambar di mata mereka. Tapi Leon tetap teguh. Tanpa senjata, hanya dengan tangan kosong, ia menghadapi mereka dengan keberanian dingin.
Satu orang menyerang dari kanan—Leon menahan lengan pria itu dan dengan gerakan cepat menendang keras ke perutnya. Tubuh lawan terlempar ke belakang. Dalam sepersekian detik, Leon meraih senjata tajam milik pria itu dan berbalik, menghadapi yang lainnya.
Tubuhnya bergerak lincah, seperti mesin tempur yang terlatih. Setiap tebasan dan tendangan dilayangkan dengan presisi. Ia tidak hanya bertahan, tapi melawan—dan mengalahkan.
Sementara itu, Jade menggigit bibir menahan rasa sakit. Darah terus mengalir dari luka di tubuhnya. Napasnya terengah, tubuhnya mulai kehilangan kekuatan, tapi hatinya... tetap kuat.
"Leon, kau harus bertahan dan hidup..." batinnya lirih, air mata menyusup di sudut matanya. "Sepertinya aku tak sanggup lagi... sakit sekali..."
Peluh membasahi wajahnya. Tapi ketakutannya bukan pada kematian—melainkan pada kemungkinan kehilangan Leon. Ia mencintai pria itu lebih dari dirinya sendiri.
Di tengah pertempuran, Leon menyayat pergelangan tangan salah satu lawan hingga senjatanya terlepas. Dengan sigap, Leon menendang lawan lain, membanting mereka satu per satu ke lantai beton yang dingin dan keras. Napasnya mulai berat, tubuhnya pun mulai terasa sakit, tapi ia tidak menyerah.
Sayatan pisau membekas di pipinya. Lengan bajunya compang-camping, sobek akibat sabetan senjata tajam. Tapi matanya tetap tajam. Fokus. Teguh.
Damien, yang berdiri tak jauh dari situ, menyaksikan semua itu dengan ekspresi mengeras. Melihat anak buahnya jatuh satu per satu, ia kehilangan kesabaran. Ia mengangkat pistol dan mengarahkannya ke Leon. Matanya menyipit, mencari celah sempurna untuk menembak.
“Leon Harrington, tempat ini akan menjadi kuburanmu,” gumam Damien dingin.
Namun sebelum ia sempat menarik pelatuk, suara lemah namun penuh tantangan terdengar.
“Tidak berguna... kau pengecut...” ujar Jade dengan suara serak.
Damien melirik ke arahnya. Tatapan Jade walau lemah, tetap menusuk.
“Urus saja dirimu,” ketus Damien, berusaha tetap tenang, meski emosinya mulai goyah.
“Jane tidak pernah menyebut namamu di depanku. Aku penasaran... bagaimana rasanya ditolak oleh wanita yang kau cintai?” sindir Jade dengan senyum lemah tapi menusuk hati.
Wajah Damien berubah. Rahangnya mengeras. Luka batin yang lama dikubur kembali menganga.
“Diam!” teriak Damien, marah, mengarahkan pistol ke arah Jade.
Namun Jade tetap menatapnya dengan mata berani, meski tubuhnya gemetar menahan sakit.
“Tembak saja aku! Wajahku ini... mirip dengan wanita yang kau cintai, bukan? Tapi jangan lupa, wajah itu palsu. Sama seperti perasaan kalian—kau mencintainya, tapi ditolak mentah-mentah.”
Kalimat itu seperti racun. Damien terpaku. Tangannya gemetar. Luka emosional yang selama ini dia pendam meledak dalam satu momen.
“Sepertinya aku harus membunuhmu dulu, biar hakim ini melihat sendiri kematian wanita yang dia cintai," kata Damien dengan suara dingin, penuh kebencian. Ujung pistolnya terarah tepat ke kepala Jade.
Jade tersenyum lemah, darah membasahi bibirnya yang mulai membiru. Wajahnya pucat, tubuhnya nyaris tak bertenaga, namun matanya tetap menatap Damien dengan sorot menantang.
“Kau masih bisa tersenyum?” Damien menyipitkan mata, seolah tak percaya.
“Kau... adalah pria paling bodoh di dunia,” ucap Jade pelan, nadanya menusuk, seolah tak ada lagi yang perlu ditakutinya.
Leon yang masih bertarung sengit di sisi lain ruangan menoleh cepat, menyadari pistol Damien kini mengarah ke Jade. Dengan satu tendangan telak, ia menjatuhkan lawan terakhirnya lalu meneriakkan tantangan penuh amarah.
“Damien Lennox! Hanya ini kemampuanmu? Kalau kau laki-laki, hadapilah aku langsung!” teriak Leon, darah dan keringat bercampur di wajahnya. Ia sengaja memancing perhatian Damien, mengalihkan sasarannya dari Jade.
Damien menoleh. Matanya membara saat melihat hampir semua anak buahnya terkapar. Dengan gerakan cepat, tanpa berpikir panjang, dia menarik pelatuk.
Dor!
Timah panas melesat dan—“Ugh!”—menembus perut kiri Leon. Tubuh Leon limbung. Ia terdiam, menunduk, menatap darah yang mulai membanjiri bajunya.
“Leon!!” seru Jade, Ia tak sanggup menahan air mata yang mengalir deras.
Leon masih berdiri, meski lututnya mulai goyah. Tangannya menekan luka di perutnya, tapi pandangannya tetap tajam menatap Damien.
“Leon Harrington...” Damien tertawa kecil, puas. “Bagaimana rasanya? Bisa mati bersama wanita yang kau cintai… seharusnya itu membahagiakan, bukan?”
“Lepaskan dia... bunuh saja aku.” Leon bernafas berat, menahan nyeri luar biasa. “Jane menolakmu... karena aku. Dan selama aku masih hidup, aku akan selalu jadi penghalangmu. Karena aku... adalah hakim.”
“Leon, cepat pergi!!” teriak Jade, suara itu penuh kepanikan dan air mata.
Leon menoleh padanya dan tersenyum. Senyum yang hangat meski tubuhnya terasa seperti terbakar dari dalam.
“Jangan khawatir… semuanya akan baik-baik saja,” bisiknya, dengan napas tertahan.
Damien mengangkat pistolnya lagi, dengan tatapan sinis. “Dalam kondisi kritis, kalian masih bisa begitu romantis. Menjijikkan.”
Dor!
Tembakan itu menembus punggung Jade. Tubuhnya terhuyung, kemudian tidak sadarkan diri, darah mulai mengalir deras dari lukanya.
“JADE!!” jerit Leon. Dunia seolah membeku. Suara detak jantungnya terdengar begitu keras di telinga, sementara matanya tak lepas dari tubuh Jade yang bergelantung di atas sana.
Damien mendekat, senyumnya kejam. “Pada akhirnya kau gagal, Hakim Leon. Betapa sakitnya? Melihat wanita yang kau cintai disiksa... dan mati.”
Leon menggertakkan gigi. Matanya merah, bukan hanya karena darah, tapi karena amarah dan kehilangan.
“Kalau Jade meninggal... kau juga tidak akan keluar hidup-hidup dari sini...” bisiknya dengan penuh dendam.
Dalam satu gerakan cepat, Leon melemparkan pisau ke arah Damien.
Srak! Pisau itu menancap tepat di dada Damien, menghujam jantungnya. Di saat bersamaan, suara tembakan terdengar lagi—Dor!—peluru menembus perut kanan Leon.
“Aaagh!” Damien terhuyung, memegang pisau yang menusuk jantungnya. Matanya membelalak, tak percaya.
Leon pun jatuh berlutut, kedua kakinya lemas. Tubuhnya bersandar pada dinding dingin, namun matanya tetap memandang ke arah Jade—gadis yang kini tak bergerak.
novel the best