Bagaimana jika kamu yang seharusnya berada di ambang kematian justru terbangun di tubuh orang lain?
Hal itulah yang terjadi pada seorang gadis bernama Alisa Seraphina. Ia mengalami kecelakaan dan terbangun di tubuh gadis lain. Alisa menjalani sisa hidupnya sebagai seorang gadis bernama Renata Anelis Airlangga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caca Lavender, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16
Leo meringis melihat adik bungsunya yang sejak satu jam lalu berlari mengelilingi halaman rumah. Jangan salah, halaman rumah keluarga Airlangga itu seluas lapangan. Meskipun hanya berlari kecil, tapi Rena merasa sangat kelelahan. Keringat yang membasahi seluruh tubuh serta nafasnya yang seperti hampir habis itu menjadi bukti betapa kerasnya ia berolah raga.
“Rena! sudah cukup larinya, Sayang!” teriak Yohana dari pintu rumah.
Rena sama sekali tidak menghiraukan ucapan sang mama. Gadis itu terus berlari tidak peduli dengan tubuhnya yang mulai terasa lemas.
“Adikmu kenapa, sih?” tanya Yohana dengan cemas.
Leo tidak menjawab pertanyaan sang mama. Ia sendiri tidak yakin apa yang membuat Rena bertindak seperti ini. Walaupun kemarin ia mendengar sendiri hinaan tidak langsung yang dilontarkan Kevin kepada Rena, tapi setahunya, Rena bukanlah gadis yang terlalu memasukkan ucapan seseorang ke dalam hatinya. Setidaknya setelah hilang ingatan, adiknya itu tampak lebih tegar.
Bruk!
“Rena!”
Leo dan Yohana langsung berlari menghampiri Rena yang tiba-tiba jatuh tak sadarkan diri. Dengan gerakan cepat, Leo menggendong Rena di punggungnya dan membawa tubuh adiknya itu masuk ke dalam rumah. Meskipun tubuh adiknya sangat berat, Leo tetap membawa Rena ke kamar adiknya itu di lantai atas.
...----------------...
Rena mengerjapkan matanya pelan, kepalanya terasa sangat pusing sekarang. Hal terakhir yang ia ingat adalah tubuhnya ambruk di halaman rumah. Melihat langit-langit kamar yang begitu familiar, ia yakin seseorang telah memindahkannya ke dalam kamar.
“Rena, kamu sudah bangun?” suara lembut mamanya terdengar di telinga Rena.
“Pusing…,” gumam Rena lemas.
“Siapa suruh kamu lari-lari satu jam tanpa sarapan?!” bentak sang papa yang entah bagaimana bisa ada di kamar Rena.
“Pa, jangan marah-marah, Rena baru saja bangun,” ucap Yohana.
“Tck! Minggu depan kamu ikut ujian seleksi perguruan tinggi. Bagaimana kalau kamu sampai jatuh sakit?! Usaha keras papa untuk membuatmu belajar akan sia-sia!” imbuh Hendra dengan nada tinggi.
Rena hanya diam mendengar omelan dari papanya. Selain karena terlalu lemas, ia juga sadar bahwa semua ini salahnya sendiri. Ia terlalu keras memforsir tubuhnya supaya berat badannya segera turun. Mau tidak mau, ia harus mengakui bahwa ucapan kekasih Flo dan manajer Arial itu sedikit banyak mempengaruhi pola pikirnya.
“Ayo, Ma! Kita ada rapat penting di rumah sakit,” ajak Hendra kepada Yohana.
Nyonya besar keluarga Airlangga itu mengangguk, lalu menoleh ke arah putri bungsunya yang masih terbaring lemas.
“Sayang, mama berangkat dulu, ya. Ada Bibi Eli yang akan menemani kamu. Buku belajarmu sudah mama siapkan di nakas. Jadi kalau kamu nanti sudah merasa lebih baik nanti, kamu bisa belajar di tempat tidur saja,” ucap Yohana.
Lagi-lagi orang tua Rena hanya mengkhawatirkan tentang ujian seleksi masuk perguruan tinggi. Rena rasanya ingin menangis saja. Dulu, ibu Alisa pasti akan merawat Alisa dengan sepenuh hati jika gadis itu sakit. Tapi sekarang, seseorang yang berperan sebagai mamanya itu hanya peduli dengan prestasinya saja.
Ketika pintu kamarnya tertutup, Rena langsung meneteskan air mata. Ia sangat merindukan orang tua aslinya, yaitu ayah dan ibu Alisa. Bibi Eli yang masih ada di kamar itu pun merasa terenyuh melihat nona mud aitu menangis.
“Nona, tolong jangan menangis. Tuan dan Nyonya sebenarnya sayang dengan Nona Rena,” ucap Bibi Eli menenangkan Rena.
Rena yang mendengar itu pun tertawa sinis, “sayang? Cih, omong kosong.”
“Tuan Hendra sampai meninggalkan pekerjaannya di rumah sakit setelah mendengar kabar kalau Nona Rena jatuh pingsan,” imbuh asisten rumah tangga itu.
“Papa bergegas pulang karena ia kesal padaku!” sahut Rena, “dia pasti sangat marah karena aku hampir mengacaukan ujian minggu depan.”
Bibi Eli tidak bisa menjawab perkataan Rena lagi. Sebenarnya, asisten itu sendiri tidak tahu apa yang ada di dalam lubuk hati kepala keluarga Airlangga. Apakah Hendra masih memiliki rasa sayang kepada putri bungsunya atau tidak? Hanya pria arogan itu sendiri dan Tuhan yang tahu.
...----------------...
Setelah kejadian pingsannya Rena, gadis itu jarang sekali keluar dari kamarnya. Bukan apa-apa, tapi ia memilih untuk fokus belajar. Selain itu, ia juga ingin fokus menurunkan berat badannya dengan olahraga di dalam kamarnya, seperti lompat tali dan senam kardio. Rena juga selalu melewatkan makan bersama dengan keluarganya, ia memilih memakan makanan untuk diet sendirian di kamar.
Cklek
Rena yang sedang fokus belajar pun menoleh ketika pintu kamarnya dibuka.
“Bisakah kakak mengetuk pintu sebelum masuk ke kamar orang lain?” kesal Rena ketika melihat Leo memasuki kamarnya begitu saja.
“Kamu bukan orang lain, kamu ini adikku,” ucap Leo santai sembari duduk di ranjang adiknya.
Rena hanya menggelengkan kepala lelah, lalu kembali berkutat dengan bukunya.
“Jam berapa ujianmu besok?” tanya Leo.
“Jam 10,” jawab Rena tanpa menoleh.
“Biar aku yang mengantarmu.”
Ucapan sang kakak berhasil menarik perhatiannya, “kenapa?”
Dahi Leo mengernyit bingung, “kenapa apanya?”
“Kenapa kakak tiba-tiba ingin mengantarku? Aku bisa pergi sendiri,” ujar Rena.
“Memangnya tidak boleh?”
Rena menghela nafas panjang, “akhir-akhir ini kamu terlalu peduli kepadaku, Kak. Bersikaplah seperti dulu. Kamu membuatku bingung.”
“Apa maksudmu? Aku ini kakakmu, wajar jika aku peduli kepadamu,” ucap Leo.
Rena berdecih kesal, “kakak diam saja ketika papa menampar dan melempar gelas ke kepalaku. Sekarang kakak bilang kalau kakak peduli padaku? Cih, lucu sekali.”
Leo terdiam mendengar ucapan sang adik yang begitu menusuk. Semua itu benar, ia dulu terlalu pengecut untuk melindungi adiknya yang masih sangat muda. Leo sadar jika sikapnya juga tidak beda jauh dengan sang papa, sama-sama brengsek.
“Cepatlah tidur. Jangan terlalu banyak belajar. Simpan energimu untuk besok.”
Setelah berucap seperti itu, Leo langsung pergi dari kamar sang adik. Rena yang melihat kedua bahu sang kakak yang tampak merosot itu pun lantas merasa bersalah. Leo terlihat begitu tersakiti dengan ucapan Rena.
‘Kenapa harus aku yang merasa bersalah? Ucapanku benar, dia sendiri yang membuatku benci kepadanya,’ batin Rena membela diri.
...----------------...
Sesuai dengan ucapannya, Leo benar-benar mengantar Rena pergi ke tempat ujian. Bahkan Flo juga ikut mengantarnya. Rena hanya duduk diam di kursi belakang sambil sesekali membaca buku catatan.
“Apa kamu gugup?” tanya Flo dari kursi depan.
“Sedikit,” jawab Rena singkat.
“Tenang saja. Kalau kamu tidak lolos tes, papa akan mengirimmu ke sekolah kedokteran di luar negeri,” celetuk Flo.
“Siapa bilang aku tidak akan lolos? Lihat saja nanti,” ucap Rena percaya diri.
Flo hanya menggeleng-gelengkan kepala mendengar ucapan sang adik yang kelewat percaya diri. Dokter spesialis mata itu tidak terlalu yakin kalau adiknya bisa lolos seleksi masuk kedokteran. Meskipun nilai ujian kelulusan Rena sangat memuaskan, tapi riwayat prestasi gadis itu selama ini selalu mengecewakan.
“Yang penting jangan sampai kamu terlalu tertekan, bisa-bisa kamu tidak fokus mengerjakan soal,” ucap Leo mencoba memberi nasihat.
“Sudah kubilang kan, aku hanya sedikit gugup,” sungut Rena, “lagipula kalian sendiri yang selalu menekanku."
Leo hanya diam mendengar gerutuan Rena. Adik bungsunya itu selalu saja punya jawaban untuk segala ucapannya.
Ting!
Rena membuka ponselnya yang baru saja berbunyi menandakan ada pesan masuk.
...Manajer Andrea...
/Bagaimana kamu bisa kenal dengan Nathan?
/Dia terus menerus mencarimu.
“Astaga!” teriak Rena setelah membaca pesan dari Andrea.
“Ada apa?!” tanya Leo dan Flo yang terkejut mendengar teriakan adik mereka.
“Eh, tidak ada apa-apa,” jawab Rena.
Jantung gadis itu berdebar semakin kencang setelah mengetahui bahwa Nathan terus menanyakan tentang dirinya kepada Andrea. Rena tidak mengira jika Nathan akan tertarik dengan eksistensinya, mengingat mereka berdua hanya pernah bertemu sekali dalam waktu yang sangat singkat.
‘Astaga, kenapa dia mencariku?’ jerit Rena dalam hati.
Berbeda dengan isi hatinya yang tengah berbunga-bunga, Rena mengetikkan sesuatu yang terkesan dingin.
...Manajer Andrea...
^^^Aku tidak tahu.\^^^
^^^Abaikan saja dia, Kak.\^^^
...----------------...
Jangan lupa like dan komen yaaa ♥♥