NovelToon NovelToon
Sunday 22.22

Sunday 22.22

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Balas Dendam / Cinta Karena Taruhan
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: sun. flower. fav

Di tengah keindahan Jogja, proyek seni yang seharusnya menggembirakan berubah menjadi teka-teki penuh bahaya. Bersama teman-temanku, aku terjebak dalam misteri yang melibatkan Roats, sosok misterius, dan gadis bergaun indah yang tiba- tiba muncul meminta tolong.
Setiap sudut kota ini menyimpan rahasia, menguji keberanian dan persahabatan kami. Saat ketegangan memuncak dan pesan-pesan tak terjawab, kami harus menemukan jalan keluar dari labirin emosi dan ketegangan yang mengancam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sun. flower. fav, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pohon Beringin Kembar

Pohon beringin kembar

Sore ini cukup menarik perhatian sampai membuatku terpaku di ambang jendela, memandang keindahan senja yang begitu memukau. Langit memancarkan gradasi warna yang memikat, mulai dari oranye cerah yang bercampur dengan merah muda lembut hingga ungu tua yang berbaur dengan bayangan malam yang mulai merayap. Sinar matahari yang mulai meredup menciptakan siluet pepohonan dan bangunan di kejauhan, menambah kesan magis pada sore itu. Burung-burung berterbangan kembali ke sarang, menambah harmoni pada pemandangan yang menenangkan.

Dengan cepat, aku mengambil kameraku dan mengabadikan keindahan ini sebelum memudar. Setelah puas, aku berjalan mendekati kaca, lalu menatap mukaku sebentar, memastikan lebam di pipiku sedikit mereda. Bekas pukulan itu masih terlihat, namun sudah tidak semenyakitkan sebelumnya. Aku menghela napas, berusaha mengabaikan rasa perih yang masih tersisa.

Selanjutnya, Aku membuka lemari, menatap lama beberapa bajuku. Pikiran tentang pesan Evan tadi siang kembali terlintas di benakku. Dia mengingatkanku lagi bahwa ajakannya keluar mencari angin malam ini benar-benar bersungguh-sungguh. Aku berpikir sejenak, lalu memutuskan untuk menerima ajakan itu. Mungkin udara malam bisa membantu menenangkan pikiranku yang penuh dengan kekhawatiran dan ketidakpastian.

Aku mengambil jaket Levi's oversize-ku. Jaket ini mungkin cocok untuk jalan-jalan menerjang angin malam. Setelah lama duduk di depan kaca mencoba menutupi luka di pipi, Evan tiba-tiba datang membuka pintu tanpa mengetuk. Spontan aku berlari menutup kembali pintu dengan kencang. Lama-lama, Evan, Ebra, maupun Baskara hobi sekali masuk ke kamar tanpa mengetuk pintu. Para pria itu kalau dibiarkan semakin melunjak.

"Aku di depan, turun aja," ujar Evan terkekeh. Aku tidak menjawab, sudah telanjur geram. Rasanya privasi di rumah ini semakin hilang.

Ting. Notifikasi muncul berkedip di ujung handphone. Saat kubaca, nama Anindya terpasang dengan pesan menumpuk. Lantas kubaca cepat-cepat.

Anindya Ballerina : Elija?

Anindya Ballerina : Elija?

Anindya Ballerina : Elija?

Anindya Ballerina : Elija?

Anindya Ballerina : Elija?

Anindya Ballerina : Elija?

Anindya Ballerina : Elija?

Anindya Ballerina : Elija?

Anindya Ballerina : Elija?

^^^Kenapa Anin?:me^^^

Ternyata dia hanya memanggil namaku berkali-kali tanpa menyelipkan kalimat lain. Tanganku menggaruk rambut yang tidak gatal. Baru tahu gadis seanggun Anindya bisa mengirim pesan spam seperti ini.

Sebelum keluar, aku mengambil sebatang lip balm dari meja rias dan mengoleskannya ke bibir yang sedikit kering. Aku melirik sekilas ke cermin, memastikan penampilanku cukup rapi. Dengan hati-hati, aku melangkah keluar dari kamar, berharap malam ini akan memberikan sedikit kelegaan dari segala kekacauan yang kami alami belakangan ini.

***

Aku dan Evan menyusuri jalanan Jogja dengan santai menaiki sepeda motor milik teman Ebra. Entah pria ini mau membawaku ke mana, aku hanya menurut. Mungkin kepalanya sedang pening sampai ingin sekali keluar menghirup udara segar. Jalanan Jogja pada malam hari memang selalu memiliki pesona tersendiri.

Lampu-lampu jalan berderet rapi, memancarkan cahaya kuning keemasan yang membuat suasana semakin hangat. Di kiri dan kanan jalan, deretan warung angkringan dengan aroma khas sate dan nasi kucing menggoda hidung kami. Beberapa pengamen jalanan bernyanyi riang, menambah suasana malam yang terasa hidup dan penuh semangat.

Kami melewati Malioboro yang selalu ramai. Trotoar penuh dengan wisatawan yang berjalan-jalan, menikmati malam sambil sesekali berhenti untuk membeli cinderamata dari pedagang kaki lima. Cahaya lampu dari toko-toko dan kafe menghiasi jalanan, menciptakan pemandangan yang tak terlupakan.

Evan sesekali melirik ke arahku melalui kaca spion, memastikan aku baik-baik saja. Aku hanya tersenyum, menikmati angin malam yang menerpa wajahku dan membawa rasa tenang di tengah segala kekacauan yang kami hadapi belakangan ini.

Kami terus melaju hingga sampai di Alun-Alun Kidul. Pohon beringin kembar yang legendaris berdiri megah di tengah lapangan. Beberapa orang terlihat mencoba berjalan di antara pohon-pohon tersebut dengan mata tertutup, sebuah tradisi yang konon bisa mengabulkan permohonan.

Evan membawaku ke sebuah kafe besar di tengah Malioboro. Dari luar, kafe ini terlihat megah dengan lampu-lampu neon berwarna-warni yang menarik perhatian. Pintu kaca besar menyambut kami, menampilkan interior yang modern dan hangat. Di dalamnya, suasana begitu hidup, penuh dengan orang-orang yang menikmati malam mereka.

Kafe ini memiliki beberapa area yang berbeda, menciptakan nuansa yang unik. Di sebelah kiri, terdapat area pool bar dengan beberapa meja biliar yang dikelilingi oleh orang-orang yang antusias bermain. Suara bola biliar yang bertabrakan terdengar di antara tawa dan sorakan. Di sebelah kanan, terdapat area kafe dengan meja-meja kecil dan sofa-sofa empuk, tempat orang-orang duduk sambil menikmati minuman dan makanan ringan. Di sudut lain, terdapat sebuah bar kecil yang menyajikan berbagai jenis minuman dari kopi hingga koktail, dengan bartender yang cekatan meracik minuman di balik meja bar yang berkilauan.

Kami memasuki kafe dan memilih duduk di kursi paling depan dekat meja bar. Tempat ini menawarkan pemandangan langsung ke area biliar dan bar, memberikan kami kesempatan untuk mengamati segala aktivitas di sekitar. Evan segera memesan minuman dan camilan, sementara aku memandangi beberapa orang yang sibuk berbincang dan bersenda gurau.

Di meja sebelah, sekelompok teman tertawa lepas sambil berbagi cerita. Seorang wanita dengan gaun merah mencolok terlihat serius berbicara dengan pria di depannya, namun sesekali senyum lebar menghiasi wajahnya. Di meja biliar, dua pria sedang serius bermain, mencoba memenangkan permainan mereka dengan penuh semangat.

"Senang melihat tempat yang ramai seperti ini," kata Evan sambil menatap sekeliling. "Agak hidup,kan?"

Aku mengangguk, merasakan energi positif dari orang-orang di sekitar kami. "Benar. Rasanya seperti kita bisa melupakan semua masalah sejenak."

Seorang pelayan datang membawa pesanan kami—dua gelas kopi susu dingin dan sepiring kentang goreng. Evan mengangkat gelasnya, mengajak bersulang. "Untuk malam yang tenang di tengah kekacauan," katanya.

Aku tersenyum dan mengangkat gelasku, "Untuk malam yang tenang."

Kami menikmati minuman kami sambil terus mengamati keriuhan di sekitar. Meski hanya sejenak, momen ini memberikan ketenangan dan kebahagiaan sederhana yang sangat kami butuhkan.

Evan menarik tempat dudukku, memutarnya sehingga menghadap ke arah yang berlawanan dari meja.

"Dia adalah alasan aku bawa kamu ke sini," kata Evan sambil mengulurkan tangannya, menunjuk ke arah sudut ruang pool bar. Di sana, aku melihat seorang pria mengenakan jaket hitam dan bertopi hitam, duduk sendirian dengan lamunan yang dalam.

"Eja?" tanyaku, mengerutkan kening untuk memastikan itu benar-benar dia. Aku fokus pada sosok itu, mencari tanda-tanda yang familiar.

Evan mengangguk. "Aku sudah dua kali menghampiri tempat ini, dan dia terus-terusan duduk seperti itu.”

Evan menepuk bahuku. "Samperin, ajak bicara."

Aku mengangguk dan perlahan berdiri, melangkah mendekati Eja yang masih tenggelam dalam pikirannya. Setiap langkah terasa berat, namun dorongan untuk mengetahui apa yang sedang terjadi padanya menguatkan langkahku. Sesampainya di dekat meja tempat Eja duduk, aku mengambil napas dalam-dalam sebelum memanggil namanya.

"Eja?" suaraku terdengar pelan, namun cukup untuk menarik perhatiannya.

Eja mengangkat wajahnya, dan matanya yang sendu bertemu dengan pandanganku. Sejenak dia terlihat terkejut, lalu perlahan senyumnya yang hangat mulai terbentuk. "Elija? Apa yang kamu lakukan di sini?"

"Aku bisa tanya hal yang sama padamu," jawabku sambil tersenyum kecil.

Eja menghela napas panjang, kemudian mengisyaratkan agar aku duduk.

Aku duduk di depannya, merasakan keheningan yang aneh namun nyaman di antara kami. “Mau ke tempat penuh kebohongan, nggak?” Eja menatap mataku dalam-dalam dan aku hanya mengangguk.

Eja mengulurkan tangannya padaku, mengajakku keluar dari kafe yang ramai ini. Tatapannya penuh dengan kesungguhan. Tanpa ragu, aku meraih tangannya, merasakan kehangatan yang familiar. Bersama-sama, kami melangkah melewati kerumunan, meninggalkan kebisingan di dalam kafe untuk mencari ketenangan di luar, di bawah langit malam Jogja yang dipenuhi bintang.

Ini kelemahanku sejak dulu. Walau sedang kesal dengan Eja, aku tetap mau melakukan apapun dan menerima ajakannya. Dulu, aku tetap mau menjaganya walau pernah dipermalukan, aku juga tetap mau membalaskan lukanya walau sudah ditinggalkannya, Itu sudah cukup menjadi bukti bahwa Eja adalah titik kelemahanku. Dan kini, aku tetap mau tersenyum dihadapannya walau sedang merasakan patah hati setelah tidak bertemu delapan tahun.

***

Kami berdua menaiki sepeda Brompton yang dibawa Eja, kembali ke jalan yang tadi aku lewati dengan Evan. Jalanan Jogja malam itu masih ramai dengan kehidupan, namun rasanya berbeda saat aku bersama Eja. Udara malam yang sejuk menyapu wajah kami, membawa aroma khas kota yang penuh sejarah ini.

Eja mengajakku menuju pohon beringin kembar di Alun-Alun Kidul. Sesampainya di sana, aku merasa kagum dengan keindahan dan keagungan pohon-pohon tersebut. Pohon beringin kembar ini berdiri megah di tengah lapangan, batangnya yang besar dan kokoh terlihat begitu kuat, sementara dedaunan yang rimbun melambai lembut tertiup angin malam. Lampu-lampu kecil menghiasi area sekitar, menciptakan bayangan yang indah dan menambah suasana magis di tempat ini.

Kami turun dari sepeda dan berjalan mendekati pohon beringin kembar. Aku bisa melihat beberapa orang yang mencoba berjalan di antara kedua pohon dengan mata tertutup, sebuah tradisi yang konon bisa mengabulkan permohonan. Di sekeliling kami, suara tawa dan canda para pengunjung bercampur dengan musik jalanan yang merdu, menciptakan suasana yang hangat dan akrab.

Saat aku mulai duduk di rerumputan bawah pohon beringin, Eja tiba-tiba berdiri dan berlari menghampiri seorang pedagang kaki lima yang tidak jauh dari kami. Aku tersenyum melihatnya berinteraksi dengan si pedagang, terlihat sangat antusias. Beberapa menit kemudian, Eja kembali dengan tangan penuh membawa beberapa tusuk sate mini yang masih mengepul hangat.

Eja menatapku dengan senyum kecil, "Lama ya, gak begini."

Aku mengangguk, merasakan hal yang lebih tenang dari sebelumnya. Melihat Eja ada di sampingku rasanya semua beban sejak ditinggalkannya menghilang. Beban di mana semua kerinduan yang diselimuti sejuta gengsi terobati di sini, di Jogja.

Kami duduk di bawah salah satu pohon beringin, membiarkan keheningan malam dan keindahan sekitar meresap dalam diri kami.

“Aku pernah bilang ke diri aku dulu pas kamu pergi waktu itu, aku pengen banget bunuh kamu setelah nanti ketemu,”ujarku tenang. “Tapi ternyata, aku kembali dipertemukan sama kamu pas aku terancam terbunuh,”lanjutku.

Eja membalikkan tubuhku agar menghadap padanya. Tangannya merambat lembut menyentuh pipiku. “Masih sakit?”

Aku tersenyum tipis. “Sakit, tapi lebih sakit pas kamu mengabaikan lukaku dan milih nolong Anindya yang jelas-jelas gak terluka siang itu.”

Mendengar ucapanku yang terkesan cemburu Eja malah tertawa ringan. “Kalau aku ngebiarin kamu, aku gak bakal negur kamu mukul pria itu kemarin. Semakin terluka, dia akan membalasmu lebih parah nantinya. Aku bukan mengabaikan lukamu, tapi aku tahu kamu cewek yang kuat dibanding Anindya.”

Aku tertegun, sedikit kagum dengan penjelasnnya, tapi sayangnya tidak merubah apapun.

“Aku agak kaget pas tau kamu kenal Anindya. Jujur bahkan sebelum kamu menyadari keberadaanku di sekitarmu, aku sudah menyadari keberadaanmu. Aku tahu kamu sudah mengincar Roats sebelum masuk ke teater waktu itu.”

“Dan kamu gak nyapa aku karena memang gak mau ketemu aku, iya, kan?”

“Iya.”

Aku memutar bola mata. Otakku semakin berkecamuk. Eja mengajakku ke sini hanya untuk mengucapakan hal yang tidak ingin aku dengar? Dia benar-benar tidak mau bertemu aku waktu itu? Apa karena aku marah saat dia berpamitan pergi waktu dulu?

“Aku gak mau ketemu kamu Karena aku belum siap. Dari dulu kamu hanya jadi tempatku menyimpan kesusahan dan semua hal yang merepotkan. Keadaanku yang sekarang pasti bakal buat kamu lagi-lagi merasa direpotkan,” jelas Eja seolah baru mendengar yang ada di pikiranku. Aku hanya diam pura-pura menikmati angin padahal sekujur tubuhku sekarang dibuat merinding olehnya.

“Nyatanya aku sekarang tidak merasa direpotkan setelah kita ketemu tadi, sekalipun Anindya yang jadi kesusahan yang merepotkan itu. Dia sudah jadi tanggung jawabku, aku sudah berjanji pada diriku sendiri bakal nolong dia dan jaga dia apapun itu konsekuensinya, untuk diriku sendiri, bukan untuk seorang Eja,” balasku tegas sembari menjulurkan kaki bermain rumput sambil menikmati sate jogja yang mulai dingin terkena angin buas. Aku tahu saat ini Eja sedang melihatku dalam-dalam.

“Di sini, pertama kali aku bertemu Anindya,” ujar Eja tiba-tiba membahas Anindya. Mukaku yang semula tersenyum sepanjang menit mendadak berubah. Oh, jadi ini alasan dia mengajakku ke tempat ini? Untuk pamer kalau ini adalah bukan hanya tempat bersejarah untuk semua orang, tapi juga untuk dia pribadi juga.

“Siang itu, aku dilanda penasaran. Teman-temanku ditongkrongan bilang katanya dua pohon kembar ini punya banyak sejarah,” ujar Eja mulai bercerita, tapi aku langsung menyelanya.”Tongkrongan?”

Eja mengangguk. “Semenjak ibu memutuskan pulang ke Semarang, aku jarang banget pulang ke rumah. Siapa lagi yang jadi harapan di rumah, ayah juga gak pernah di rumah, dia sibuk sama pekerjaannya.”

Aku terdiam menggangguk paham. Selalu seperti ini kisah yang keluar dari mulut Eja. Minim kebahagiaan.

“Konon kalau pohon ini bisa mengabulkan permintaan.” Eja melanjutkan ceritanya yang tadi kupenggal.

“Jadi aku berniat mencoba. Aku kesini sendirian, bawa kain hitam buat penutup mat, melangkah hati-hati mencoba merasakan arah dan berusaha tetap lurus. Di situlah permintaanku dikabulkan. Aku minta dikirim kebahagiaan yang sama tuhan didatangkan Anindya detik itu juga, cewek itu menabrakku dan malah marah-marah, bukan ikut marah tapi aku malah dibuat terpukau.” Eja mengungkapkan kisahnya padaku tanpa memikirkan perasaanku sebagai pendengar sedikitpun.

Aku tersenyum pahit sepanjang ceritanya. Mungkin dua pohon beringin kembar diantara kami pun juga mendengar suara hatiku.

“Tapi kebahagiaanku datang hanya sebentar. Setelah pertemuan itu, memang tuhan memberi banyak isi berbobot dalam hidupku lewat kedatangan Anindya. Seluruh pandangan, suara, dan pengorbananku jatuh pada Anindya. Aku mencintainya penuh, apapun yang dia katakan kuusahakan ada dalam sekejap. Aku juga berjanji di depan dua pohon ini akan selalu melindunginya sampai aku akhirnya jatuh di lubang kegagalan. Aku kira dia orang yang jujur, ternyata banyak kebohongan yang tidak dia lontarkan padaku.” Eja terdiam sebentar tidak melanjutkan ceritanya.

“Apa ini ada kaitannya dengan Roats?” Aku bertanya serius. Dijawab Eja dengan anggukan penuh arti.

“Tiba-tiba saja dia memutuskan pergi tanpa ngasih alasan, sampai akhirnya aku tahu sendiri kalu dia sedang dalam sandera Roats.” Eja merenung sebentar. Wajah kecewanya sama seperti saat dia melihat Septia mengabaikannya dulu. Sekelibat aku berpikir, apa mungkin Eja belum tahu detail yang terjadi pada Anindya?

“Aku mengikutinya sampai saat ini, berusaha sendiri untuk mengamankan Anindya, walau susah melepaskannya dari cekaman Roats, setidaknya dia tidak diapa-apakan selagi disisinya ada aku yang tidak trelihat.” Eja menatap langit yang kini ditaburi banyak bintang. “Aku menyesal, dan akan jadi penyesalan yang tidak bisa dimaafkan, kalau aku tidak bisa menjaga Anindya, rasanya lebih baik mati dari pada hidup bersama penyesalan terbesarku.”

Gigiku menggigit bibir, sesekali aku tersenyum asam. Bersama Eja, hanya aku yang mendapat luka tanpa ada obat. Walau belum meyakini perasaanku, mendengarnya berbicara seolah Anindya yang paling penting di hidupnya membuatku cukup tahu, ternyata manusia bisa juga terbunuh kana perasaanya tidak terungkapkan sehingga siapapun tidak akan mampu membacanya.

“Ah.” Aku meringis, entah kenapa kibasan angina malam kini berubah sangat perih menerjang lebam di pipiku.

“Kenapa?” Eja memandangiku penuh khawatir.

Aku menggelengkan kepala. “Mungkin anginnya terlalu lebat, perih di pipi.”

“Aku antar pulang, ya?” Eja membereskan sampah bekas sate mini yang tadi kita santap. Aku menggelengkan kepala lagi. “Nggak usah, bentar lagi Evan juga pasti datang ngejemput.”

Eja merapatkan alis heran, “Evan?”

“Iya, dia temanku, aku ke Jogja bareng empat temanku, Evan, Bakara, dan Ebra,” jawabku menjelaskan. Eja langsung mengangguk paham.

***

Kurang lebih setengah jam aku dan Eja memandangi langit, sempat juga kita menghitung berlomba menghitung bintang. Senang melihatnya bisa tersenyum seperti itu, hanya saja beberapa kali terasa perih saat dia selalu mendapat apapun yang membuat dia ingat pada Anindya, dengan spontan dia selalu menceritakannya padaku yang sama sekali tidak ingin mendengar hal itu.

Lalu dari kejauhan aku melihat Evan berjalan dengan gagahnya menghampiriku. Aku melambaikan tangan ke arahnya.

“Itu Evan?” tanya Eja.

“Iya, sepertinya aku harus berterimakasih padanya malam ini,” ujarku lantas berdiri lalu diikuti Eja.

Sudah hampir dekat, Evan melepas jaketnya kemudian memasangkan ke tubuhku. “Ke mana jaket levismu?”

Aku lupa tadi sempat melepas jaket di café saat menemui Eja tadi.

“Kalau gitu aku yang pergi dulu. Nitip dia, ya, bro.” Eja menepuk bahu Evan. Sebelum pergi dia menyempatkan menggosok kepalaku sebentar.

Setelah Eja jauh, Evan menarikku dengan hati-hati pergi ke sepeda. Dia memilih memasangakan helm juga penuh dengan hati-hati. Saat helmnya hendak masuk, aku langsung melepasnya. Air mataku terjun sangat deras di hadapan Evan. Aku menunjukkan muka rapuhku dan ketidak tahu-anku tentang apa yang akan ku lakukan setelah ini.

“Aku menyesal menurutimu untuk menghampirinya tadi,” ujarku terisak. Pipiku semakin terasa lebam. Seolah bisa membaca dan memahami perasaanku, Evan memelukku erat, sanggat erat, dengan pelukan penuh rasa bersalah.

“Kalau begitu, jangan berterima kasih, biar aku saja yang minta maaf untuk hal ini. Maafkan aku.” Evan mengeratkan pelukannya, dan aku hanya bisa menangis sekeras-kerasnya.

***

1
pausberkuda
semangattt🫶👏👏
Azzah Nabilah: weeehhhhh🥲
total 1 replies
ׅ꯱ƙׁׅᨮׁׅ֮ᥣׁׅ֪ꪱׁׁׁׅׅׅꭈׁׅɑׁׅ ηα
kerja bagus ija
Azzah Nabilah
jangan lupa ikuti kisan Eliza dan eja ya
Ohara Shinosuke
Semangat terus thor, aku yakin ceritamu akan menjadi luar biasa!
boing fortificado
Yang bikin author sebisanya aja ya, pengen lanjutin ceritanya.
Min meow
Tidak ada yang kurang.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!